- Beranda
- The Lounge
Hoegeng dan kisah pemerkosaan Sum Kuning
...
TS
Jabrix666666
Hoegeng dan kisah pemerkosaan Sum Kuning
Selamat siang agan dan sista di sini ane mau share "menolak lupa" mengenai kapolri hoegeng dan misteri pemerkosaan sum kuning yang terjadi ditahun 70an tepat nya di era orde baru. Kenapa ane buat trid ini karena ane udah enek sama netizen yang posting di jaman soeharto hidup lebih enak dari pada jaman sekarang... So ane buat deh trit ini supaya para netizen di luar sana bisa liat dan paham sejarah.
Cekibrot aja deh gk usah panjang lebar...!!!
Hoegeng dan kisah pemerkosaan Sum Kuning
Merdeka.com - Salah satu kasus pelik yang ditangani Kapolri Jenderal Hoegeng adalah kasus rudapaksaan seorang wanita bernama Sumarijem atau yang biasa disebut Sum Kuning. Kasus ini cukup pelik karena diduga melibatkan anak-anak pejabat dan putra salah seorang pahlawan revolusi. Sampai hari ini, setelah 42 tahun berlalu, pemerkosa Sum masih gelap.
Sumarijem adalah seorang wanita penjual telur ayam berusia 18 tahun. Tanggal 21 September 1970, Sumarijem yang sedang menunggu bus di pinggir jalan, tiba-tiba diseret masuk ke dalam mobil oleh beberapa orang pria. Di dalam mobil, Sum diberi eter hingga tak sadarkan diri. Dia dibawa ke sebuah rumah di Klaten dan dirudapaksa bergiliran oleh para penculiknya.
Setelah puas menjalankan aksi biadab mereka, Sum ditinggal begitu saja di pinggir jalan. Gadis malang ini pun melapor ke polisi. Bukannya dibantu, Sum malah dijadikan tersangka dengan tuduhan membuat laporan palsu. Demikian ditulis dalam buku 'Hoegeng-Oase menyejukkan di tengah perilaku koruptif para pemimpin bangsa-' terbitan Bentang.
Dalam pengakuannya kepada wartawan, Sum mengaku disuruh mengakui cerita yang berbeda dari versi sebelumnya. Dia diancam akan disetrum jika tidak mau menurut. Sum pun disuruh membuka pakaiannya, dengan alasan polisi mencari tanda palu arit di tubuh wanita malang itu.
Karena melibatkan anak-anak pejabat yang berpengaruh, Sum malah dituding anggota Gerwani. Saat itu memang masa-masanya pemerintah Soeharto gencar menangkapi anggota PKI dan underbouw-nya, termasuk Gerwani.
Kasus Sum disidangkan di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Sidang perdana yang ganjil ini tertutup untuk wartawan. Belakangan polisi menghadirkan penjual bakso bernama Trimo. Trimo disebut sebagai pemerkosa Sum. Dalam persidangan Trimo menolak mentah-mentah.
Jaksa menuntut Sum penjara tiga bulan dan satu tahun percobaan. Tapi majelis hakim menolak tuntutan itu. Dalam putusan, Hakim Ketua Lamijah Moeljarto menyatakan Sum tak terbukti memberikan keterangan palsu. Karena itu Sum harus dibebaskan.
Dalam putusan hakim dibeberkan pula nestapa Sum selama ditahan polisi. Dianiaya, tak diberi obat saat sakit dan dipaksa mengakui berhubungan badan dengan Trimo, sang penjual bakso. Hakim juga membeberkan Trimo dianiaya saat diperiksa polisi.
Hoegeng terus memantau perkembangan kasus ini. Sehari setelah vonis bebas Sum, Hoegeng memanggil Komandan Polisi Yogyakarta AKBP Indrajoto dan Kapolda Jawa Tengah Kombes Suswono. Hoegeng lalu memerintahkan Komandan Jenderal Komando Reserse Katik Suroso mencari siapa saja yang memiliki fakta soal pemerkosaan Sum Kuning.
"Perlu diketahui bahwa kita tidak gentar menghadapi orang-orang gede siapa pun. Kita hanya takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jadi kalau salah tetap kita tindak," tegas Hoegeng.
Hoegeng membentuk tim khusus untuk menangani kasus ini. Namanya 'Tim Pemeriksa Sum Kuning', dibentuk Januari 1971. Kasus Sum Kuning terus membesar seperti bola salju. Sejumlah pejabat polisi dan Yogyakarta yang anaknya disebut terlibat, membantah lewat media massa.
Belakangan Presiden Soeharto sampai turun tangan menghentikan kasus Sum Kuning. Dalam pertemuan di istana, Soeharto memerintahkan kasus ini ditangani oleh Team pemeriksa Pusat Kopkamtib. Hal ini dinilai luar biasa. Kopkamtib adalah lembaga negara yang menangani masalah politik luar biasa. Masalah keamanan yang dianggap membahayakan negara. Kenapa kasus rudapaksaan ini sampai ditangani Kopkamtib?
Dalam kasus persidangan rudapaksaan Sum, polisi kemudian mengumumkan pemerkosa Sum berjumlah 10 orang. Semuanya anak orang biasa, bukan anak penggede alias pejabat negara. Para terdakwa pemerkosa Sum membantah keras melakukan pemerkosaan ini. Mereka bersumpah rela mati jika benar memerkosa.
Kapolri Hoegeng sadar. Ada kekuatan besar untuk membuat kasus ini menjadi bias.
Tanggal 2 Oktober 1971, Hoegeng dipensiunkan sebagai Kapolri. Beberapa pihak menilai Hoegeng sengaja dipensiunkan untuk menutup kasus ini.
Sum sendiri kemudian bekerja di Rumah Sakit Tentara di Semarang. Dia kemudian menikah dengan seorang pria yang sudah dikenalnya saat masih dirawat.
Sutradara Frank Rorompandey mengangkat cerita ini dengan judul 'Perawan Desa'. Film yang dibintangi Yatti Surrachman ini sukses menyabet empat piala Citra tahun 1980.
Tapi siapa pemerkosa Sum masih jadi tanda tanya. Sampai kini.
Sumber: https://m.merdeka.com/peristiwa/hoeg...um-kuning.html
Misteri Pemerkosaan Sum Kuning
Kasus rudapaksaan yang menggegerkan publik muncul di awal Orde Baru, pelakunya diduga anak pejabat.
tirto.id - Bis kota sudah tak lewat Ngampilan selepas pukul 17.00. Malam itu, 21 September 1970, urusan dagang membuat Sumaridjem terlambat. Terpaksa dia berjalan ke arah utara. Lalu belok kanan lewat Jalan Patuk menuju Jalan Ngupasan. Bis menuju angkutan ke Godean tak juga muncul. Pinggiran Yogyakarta di tahun 1970 itu masih sepi. Sumaridjem berjalan dengan rasa was-was di hari menjelang gelap itu. Ketika melintas di timur Asrama Polisi Patuk, tiba-tiba sebuah mobil hampir menyerempet dan berhenti di dekatnya.
“Tampak olehnya pemuda-pemuda gondrong turun dari mobil itu dan dengan paksa menarik Sumaridjem untuk masuk ke mobil. Ia berusaha dengan sekuat tenaga menolak paksaan brandal-brandal itu, namun tak berhasil,” tulis Kamadjaja dan kawan-kawan dalam Sum Kuning: Korban Penculikan pemerkosaan (1971).
Mobil itu lalu bergerak lagi dan mengitari Jalan Diponegoro menuju Bumidjo. Seingat Sumaridjem, mobil melintasi Jalan Magelang dan tergoncang ketika menyeberangi rel (yang kini sudah tidak ada lagi). Di dalam mobil bahkan ada yang mengancamnya dengan menempelkan pisau belati di lehernya.
Setelahnya, Sumaridjem dibius dan nyaris tak sadarkan diri. Apa yang lamat-lamat diingatnya adalah “kain panjangnya disingkap sampai pada pusatnya dan terdengarlah pemuda-pemuda itu ramai-ramai menyanyi mengiringi rasa sakit Sumaridjem pada kelaminnya sebagai dimasuki benda keras. Sakit dan rasa nyeri luar biasa terasa pada kelamin Sumaridjem sampai tiga kali.”
Tak hanya dirudapaksa ramai-ramai, uang Rp4.650 hasil dagangan telornya juga disikat pemuda-pemuda tadi. Setelah urusan syahwat mereka beres, gerombolan pemuda membuang Sumaridjem yang tak berdaya di tepi Jalan Wates-Purworejo, daerah Gamping.
Seingatnya, ketika dibuang hari masih gelap. Sumaridjem yang tak berdaya itu berjuang keras berjalan menuju ke arah kota Yogyakarta. Ketika hari agak terang, terlihat segelintir orang berlalu lalang. Dengan sisa uang Rp100 dan tubuh tak berdaya, Sumaridjem menyetop becak. Si pengayuh becak lalu mengantarkannya ke rumah salah seorang langganannya di Bumijo, Nyonya Sulardi.
Sumaridjem menangis. Pagi itu, “keadaan Sumaridjem sangat menyedihkan, kaki dan kainnya berlumuran darah”. Isak tangisnya sampai ke telinga tetangga Nyonya Sulardi. Kebetulan, Nyonya Sulardi bertetangga dekat dengan Tut Sugijarto, wartawan Minggu Pagi. Pada pukul 06.00 tanggal 22 September 1970, Tut segera menghubungi rekannya, Imam Sutrisno, wartawan Kedaulatan Rakyat.
Imam segera melapor ke unit Polisi Militer, Denpom VII/2. Begitu anggota PM datang dan menyaksikan derita Sumaridjem, tak menunggu lama mereka membawanya ke Rumah Sakit Bethesda. Ketika dibawa ke rumah sakit, karena melewati Jalan Patuk, Sumaridjem menunjukan tempatnya diculik para pemuda gondrong malam sebelumnya.
Lalu, gegerlah apa yang menimpa Sumaridjem. Orang kemudian mengenalnya sebagai Sum Kuning. Koran-koran di Yogyakarta, bahkan di luar Yogyakarta, ramai membicarakannya. Bahkan pada 1980, muncul sebuah film berjudul Perawan Desa yang disutradarai Frank Rorimpandey. Si perawan desa yang jadi korban itu dinamai Sumirah. Dalam film itu dikisahkan, nasibnya sebelas-duabelas dengan Sum Kuning.
Korban pemerkosaan Sekaligus Korban Ketidakadilan
Apa yang menimpa Sumaridjem, yang saat itu baru berumur 17 tahun, rupanya bukan pertama kali terjadi di awal Orde Baru berkuasa. Tiga bulan sebelumnya, seorang guru muda di Stella Duce, biasa disebut dengan inisial "Gadis N", juga jadi korban pemerkosaan pada 26 Juni 1970. Apa yang menimpa Gadis N dan Sumaridjem pun jadi kegelisahan masyarakat, terutama yang punya anak gadis. Mereka takut anak gadis mereka dimangsa.
Sumaridjem dan Gadis N juga dianggap korban ketidakadilan. Janda Ki Hadjar Dewantara bahkan ikut gelisah. Dia bertanya, “kenapa penculik Gadis N lama tidak tertangkap?”
“Dan dugaan-dugaan timbul bahwa pelaku-pelaku peristiwa Sum Kuning tidaklah lain daripada penculik Gadis N,” tulis Kamadjaja.
Seminggu setelah Sumaridjem jadi korban, pada 28 September 1970, tersiar kabar bahwa para penculik dan pemerkosa Sum dan Gadis N akan diarak. Ribuan orang pun memadati kantor polisi di selatan Malioboro. Namun, tak ada yang diarak hari itu. Semua pelaku ternyata belum tertangkap.
Masyarakat sudah menduga-duga siapakah para pelaku sebenarnya. “Dugaan masyarakat jatuh kepada anak-anak orang terkemuka di Jogja. Dugaan itu didasarkan pada kenyataan bahwa penculik-penculik itu menggunakan mobil. [Di tahun 1970-an] Hanya orang-orang terkemuka dan orang-orang kayalah yang memiliki mobil,” tulis Kamadjaja.
Kemudian, para penculik dan pemerkosa malah terlupakan. Apa yang terjadi setelahnya, tak ada penangkapan para pelaku, justru Sumaridjem yang ditahan polisi setelah keluar dari rumah sakit. Masyarakat pun protes, dan terpaksa Sumaridjem dibebaskan dari tahanan. Kasusnya jadi semakin rumit. Hasil visum dokter menyebut adanya pendarahan alat kelamin, selaput dara sobek, dan luka di paha kanan-kiri, seolah tak lagi penting.
Dalam posisi yang tersudut, Sumaridjem bercerita kepada Slamet Djabarudi, wartawan Pelopor di Yogyakarta. Ia mengisahkan, ruang geraknya dibatasi dan diancam akan disetrum. Bahkan, muncul tuduhan konyol Sumaridjem adalah anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani, yang identik dengan PKI).
Diungkap dalam Hoegeng: Oase Menyejukkan Di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa (2009) yang ditulis Aris Santoso dan kawan-kawan, “Pada suatu malam polisi mendatangi Sum. Mereka menyuruh dia menanggalkan pakaian. Alasannya, mereka akan mencari kalau-kalau di tubuhnya ada tanda palu-arit.”
Polisi dengan sigap memunculkan seseorang bernama Trimo sebagai pelaku pemerkosaan. Dibumbui pula bahwa keduanya menjalin hubungan gelap. Trimo membantah keras tuduhan itu. Ia tak kenal Sum.
Menurut catatan Aris Santoso, masyarakat dianggap terlanjur percaya versi Budidono. Orang ini adalah makelar mobil yang ditangkap polisi setelah Sumaridjem melapor. Budidono mengaku ikut merudapaksa. Pengakuan mengejutkan Budidono: Tiga pemerkosa lainnya adalah anak penggede. Pengakuan kepada polisi itu bocor, lalu beredar di masyarakat.
Siapa pelaku penyebab penderitaan Sumaridjem tak pernah jelas. Sumaridjem bahkan nyaris dipenjara. Ia kena tuduh “memberikan laporan palsu dan telah menyiarkan kabar bohong”.
Tergambar di awal film Perawan Desa, Sum menangis sambil mengaku dia telah berbohong. Katanya, Sum yang anak desa itu hanya kejar popularitas. Namun lebih banyak masyarakat yang gelisah, juga tidak percaya Sum berbohong atas apa yang dialami.
Semula jaksa menuntut Sumaridjem atas tuduhan memberi keterangan palsu dengan sanksi tiga bulan penjara. Tuntutan itu ditolak Hakim Nyonya Lamijah Moeljarto karena Sumaridjem tidak terbukti memberi keterangan palsu dan Sumaridjem dibebaskan dari tuduhan.
Ketika kasus Sum Kuning terjadi, Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) dijabat Hoegeng Imam Santoso. Hoegeng berusaha dengan serius membongkar kasus ini. Pada Januari 1971 ia bahkan membuat tim khusus yang dinamai "Tim Pemeriksa Sum Kuning". Ketua tim itu adalah Kadapol IX/Jateng, Suwardjiono.
Kasus Sum Kuning terus membesar seperti bola salju. Sejumlah pejabat polisi dan Yogyakarta yang anaknya disebut terlibat, membantah lewat media massa. Salah satunya Paku Alam VIII, yang juga menjabat sebagai Wakil Gubernur DIY.
"Berita itu sama sekali tidak nyata. Itu overbodig (berlebihan), sama sekali overbodig," bantahnya seraya mempersilakan anaknya ditindak jika bersalah.
Masih menurut catatan Aris Santoso, dkk., Hoegeng sampai melaporkan perkembangan pengungkapan kasus Sum Kuning kepada Soeharto. Alih-alih memberikan dukungan, Soeharto malah meminta kasus itu diambilalih oleh Team Pemeriksa Pusat/Kopkamtib. Pendeknya, kasus Sum Kuning dianggap berdimensi politik yang luas, sehingga rezim merasa perlu mengambilalih sepenuhnya.
Kendali Hoegeng pun hilang dalam pengungkapan kasus Sum Kuning. Di kemudian hari, dia menyayangkan penanganan yang seharusnya hanya dilakukan aparat hukum seperti polisi menjadi dicampuri pihak lain.
“Harapan saya agar urusan Polri tidak dicampurtangani pihak lain, menjadi memprihatinkan,” katanya dalam Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1993) yang ditulis Abrar Yusra dan Ramadhan KH.
Hingga kini, siapa para pemerkosa itu tidak pernah terungkap dengan terang benderang.
Sumber: https://tirto.id/misteri-pemerkosaan...um-kuning-cAa9
Jenderal Polisi (Purn.) Drs. Hoegeng Imam Santoso (lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, 14 Oktober 1921 – meninggal di Jakarta, 14 Juli 2004 pada umur 82 tahun) adalah salah satu tokoh kepolisian Indonesia yang pernah menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia ke-5 yang bertugas dari tahun 1968 - 1971. Hoegeng juga merupakan salah satu penandatangan Petisi 50. Nama diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Bahayangkara di Mamuju dengan nama Rumah Sakit Bhayangkara Hoegeng Imam Santoso.
Cekibrot aja deh gk usah panjang lebar...!!!
Quote:
Hoegeng dan kisah pemerkosaan Sum Kuning
Merdeka.com - Salah satu kasus pelik yang ditangani Kapolri Jenderal Hoegeng adalah kasus rudapaksaan seorang wanita bernama Sumarijem atau yang biasa disebut Sum Kuning. Kasus ini cukup pelik karena diduga melibatkan anak-anak pejabat dan putra salah seorang pahlawan revolusi. Sampai hari ini, setelah 42 tahun berlalu, pemerkosa Sum masih gelap.
Sumarijem adalah seorang wanita penjual telur ayam berusia 18 tahun. Tanggal 21 September 1970, Sumarijem yang sedang menunggu bus di pinggir jalan, tiba-tiba diseret masuk ke dalam mobil oleh beberapa orang pria. Di dalam mobil, Sum diberi eter hingga tak sadarkan diri. Dia dibawa ke sebuah rumah di Klaten dan dirudapaksa bergiliran oleh para penculiknya.
Setelah puas menjalankan aksi biadab mereka, Sum ditinggal begitu saja di pinggir jalan. Gadis malang ini pun melapor ke polisi. Bukannya dibantu, Sum malah dijadikan tersangka dengan tuduhan membuat laporan palsu. Demikian ditulis dalam buku 'Hoegeng-Oase menyejukkan di tengah perilaku koruptif para pemimpin bangsa-' terbitan Bentang.
Dalam pengakuannya kepada wartawan, Sum mengaku disuruh mengakui cerita yang berbeda dari versi sebelumnya. Dia diancam akan disetrum jika tidak mau menurut. Sum pun disuruh membuka pakaiannya, dengan alasan polisi mencari tanda palu arit di tubuh wanita malang itu.
Karena melibatkan anak-anak pejabat yang berpengaruh, Sum malah dituding anggota Gerwani. Saat itu memang masa-masanya pemerintah Soeharto gencar menangkapi anggota PKI dan underbouw-nya, termasuk Gerwani.
Kasus Sum disidangkan di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Sidang perdana yang ganjil ini tertutup untuk wartawan. Belakangan polisi menghadirkan penjual bakso bernama Trimo. Trimo disebut sebagai pemerkosa Sum. Dalam persidangan Trimo menolak mentah-mentah.
Jaksa menuntut Sum penjara tiga bulan dan satu tahun percobaan. Tapi majelis hakim menolak tuntutan itu. Dalam putusan, Hakim Ketua Lamijah Moeljarto menyatakan Sum tak terbukti memberikan keterangan palsu. Karena itu Sum harus dibebaskan.
Dalam putusan hakim dibeberkan pula nestapa Sum selama ditahan polisi. Dianiaya, tak diberi obat saat sakit dan dipaksa mengakui berhubungan badan dengan Trimo, sang penjual bakso. Hakim juga membeberkan Trimo dianiaya saat diperiksa polisi.
Hoegeng terus memantau perkembangan kasus ini. Sehari setelah vonis bebas Sum, Hoegeng memanggil Komandan Polisi Yogyakarta AKBP Indrajoto dan Kapolda Jawa Tengah Kombes Suswono. Hoegeng lalu memerintahkan Komandan Jenderal Komando Reserse Katik Suroso mencari siapa saja yang memiliki fakta soal pemerkosaan Sum Kuning.
"Perlu diketahui bahwa kita tidak gentar menghadapi orang-orang gede siapa pun. Kita hanya takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jadi kalau salah tetap kita tindak," tegas Hoegeng.
Hoegeng membentuk tim khusus untuk menangani kasus ini. Namanya 'Tim Pemeriksa Sum Kuning', dibentuk Januari 1971. Kasus Sum Kuning terus membesar seperti bola salju. Sejumlah pejabat polisi dan Yogyakarta yang anaknya disebut terlibat, membantah lewat media massa.
Belakangan Presiden Soeharto sampai turun tangan menghentikan kasus Sum Kuning. Dalam pertemuan di istana, Soeharto memerintahkan kasus ini ditangani oleh Team pemeriksa Pusat Kopkamtib. Hal ini dinilai luar biasa. Kopkamtib adalah lembaga negara yang menangani masalah politik luar biasa. Masalah keamanan yang dianggap membahayakan negara. Kenapa kasus rudapaksaan ini sampai ditangani Kopkamtib?
Dalam kasus persidangan rudapaksaan Sum, polisi kemudian mengumumkan pemerkosa Sum berjumlah 10 orang. Semuanya anak orang biasa, bukan anak penggede alias pejabat negara. Para terdakwa pemerkosa Sum membantah keras melakukan pemerkosaan ini. Mereka bersumpah rela mati jika benar memerkosa.
Kapolri Hoegeng sadar. Ada kekuatan besar untuk membuat kasus ini menjadi bias.
Tanggal 2 Oktober 1971, Hoegeng dipensiunkan sebagai Kapolri. Beberapa pihak menilai Hoegeng sengaja dipensiunkan untuk menutup kasus ini.
Sum sendiri kemudian bekerja di Rumah Sakit Tentara di Semarang. Dia kemudian menikah dengan seorang pria yang sudah dikenalnya saat masih dirawat.
Sutradara Frank Rorompandey mengangkat cerita ini dengan judul 'Perawan Desa'. Film yang dibintangi Yatti Surrachman ini sukses menyabet empat piala Citra tahun 1980.
Tapi siapa pemerkosa Sum masih jadi tanda tanya. Sampai kini.
Sumber: https://m.merdeka.com/peristiwa/hoeg...um-kuning.html
Quote:
Misteri Pemerkosaan Sum Kuning
Kasus rudapaksaan yang menggegerkan publik muncul di awal Orde Baru, pelakunya diduga anak pejabat.
tirto.id - Bis kota sudah tak lewat Ngampilan selepas pukul 17.00. Malam itu, 21 September 1970, urusan dagang membuat Sumaridjem terlambat. Terpaksa dia berjalan ke arah utara. Lalu belok kanan lewat Jalan Patuk menuju Jalan Ngupasan. Bis menuju angkutan ke Godean tak juga muncul. Pinggiran Yogyakarta di tahun 1970 itu masih sepi. Sumaridjem berjalan dengan rasa was-was di hari menjelang gelap itu. Ketika melintas di timur Asrama Polisi Patuk, tiba-tiba sebuah mobil hampir menyerempet dan berhenti di dekatnya.
“Tampak olehnya pemuda-pemuda gondrong turun dari mobil itu dan dengan paksa menarik Sumaridjem untuk masuk ke mobil. Ia berusaha dengan sekuat tenaga menolak paksaan brandal-brandal itu, namun tak berhasil,” tulis Kamadjaja dan kawan-kawan dalam Sum Kuning: Korban Penculikan pemerkosaan (1971).
Mobil itu lalu bergerak lagi dan mengitari Jalan Diponegoro menuju Bumidjo. Seingat Sumaridjem, mobil melintasi Jalan Magelang dan tergoncang ketika menyeberangi rel (yang kini sudah tidak ada lagi). Di dalam mobil bahkan ada yang mengancamnya dengan menempelkan pisau belati di lehernya.
Setelahnya, Sumaridjem dibius dan nyaris tak sadarkan diri. Apa yang lamat-lamat diingatnya adalah “kain panjangnya disingkap sampai pada pusatnya dan terdengarlah pemuda-pemuda itu ramai-ramai menyanyi mengiringi rasa sakit Sumaridjem pada kelaminnya sebagai dimasuki benda keras. Sakit dan rasa nyeri luar biasa terasa pada kelamin Sumaridjem sampai tiga kali.”
Tak hanya dirudapaksa ramai-ramai, uang Rp4.650 hasil dagangan telornya juga disikat pemuda-pemuda tadi. Setelah urusan syahwat mereka beres, gerombolan pemuda membuang Sumaridjem yang tak berdaya di tepi Jalan Wates-Purworejo, daerah Gamping.
Seingatnya, ketika dibuang hari masih gelap. Sumaridjem yang tak berdaya itu berjuang keras berjalan menuju ke arah kota Yogyakarta. Ketika hari agak terang, terlihat segelintir orang berlalu lalang. Dengan sisa uang Rp100 dan tubuh tak berdaya, Sumaridjem menyetop becak. Si pengayuh becak lalu mengantarkannya ke rumah salah seorang langganannya di Bumijo, Nyonya Sulardi.
Sumaridjem menangis. Pagi itu, “keadaan Sumaridjem sangat menyedihkan, kaki dan kainnya berlumuran darah”. Isak tangisnya sampai ke telinga tetangga Nyonya Sulardi. Kebetulan, Nyonya Sulardi bertetangga dekat dengan Tut Sugijarto, wartawan Minggu Pagi. Pada pukul 06.00 tanggal 22 September 1970, Tut segera menghubungi rekannya, Imam Sutrisno, wartawan Kedaulatan Rakyat.
Imam segera melapor ke unit Polisi Militer, Denpom VII/2. Begitu anggota PM datang dan menyaksikan derita Sumaridjem, tak menunggu lama mereka membawanya ke Rumah Sakit Bethesda. Ketika dibawa ke rumah sakit, karena melewati Jalan Patuk, Sumaridjem menunjukan tempatnya diculik para pemuda gondrong malam sebelumnya.
Lalu, gegerlah apa yang menimpa Sumaridjem. Orang kemudian mengenalnya sebagai Sum Kuning. Koran-koran di Yogyakarta, bahkan di luar Yogyakarta, ramai membicarakannya. Bahkan pada 1980, muncul sebuah film berjudul Perawan Desa yang disutradarai Frank Rorimpandey. Si perawan desa yang jadi korban itu dinamai Sumirah. Dalam film itu dikisahkan, nasibnya sebelas-duabelas dengan Sum Kuning.
Korban pemerkosaan Sekaligus Korban Ketidakadilan
Apa yang menimpa Sumaridjem, yang saat itu baru berumur 17 tahun, rupanya bukan pertama kali terjadi di awal Orde Baru berkuasa. Tiga bulan sebelumnya, seorang guru muda di Stella Duce, biasa disebut dengan inisial "Gadis N", juga jadi korban pemerkosaan pada 26 Juni 1970. Apa yang menimpa Gadis N dan Sumaridjem pun jadi kegelisahan masyarakat, terutama yang punya anak gadis. Mereka takut anak gadis mereka dimangsa.
Sumaridjem dan Gadis N juga dianggap korban ketidakadilan. Janda Ki Hadjar Dewantara bahkan ikut gelisah. Dia bertanya, “kenapa penculik Gadis N lama tidak tertangkap?”
“Dan dugaan-dugaan timbul bahwa pelaku-pelaku peristiwa Sum Kuning tidaklah lain daripada penculik Gadis N,” tulis Kamadjaja.
Seminggu setelah Sumaridjem jadi korban, pada 28 September 1970, tersiar kabar bahwa para penculik dan pemerkosa Sum dan Gadis N akan diarak. Ribuan orang pun memadati kantor polisi di selatan Malioboro. Namun, tak ada yang diarak hari itu. Semua pelaku ternyata belum tertangkap.
Masyarakat sudah menduga-duga siapakah para pelaku sebenarnya. “Dugaan masyarakat jatuh kepada anak-anak orang terkemuka di Jogja. Dugaan itu didasarkan pada kenyataan bahwa penculik-penculik itu menggunakan mobil. [Di tahun 1970-an] Hanya orang-orang terkemuka dan orang-orang kayalah yang memiliki mobil,” tulis Kamadjaja.
Kemudian, para penculik dan pemerkosa malah terlupakan. Apa yang terjadi setelahnya, tak ada penangkapan para pelaku, justru Sumaridjem yang ditahan polisi setelah keluar dari rumah sakit. Masyarakat pun protes, dan terpaksa Sumaridjem dibebaskan dari tahanan. Kasusnya jadi semakin rumit. Hasil visum dokter menyebut adanya pendarahan alat kelamin, selaput dara sobek, dan luka di paha kanan-kiri, seolah tak lagi penting.
Dalam posisi yang tersudut, Sumaridjem bercerita kepada Slamet Djabarudi, wartawan Pelopor di Yogyakarta. Ia mengisahkan, ruang geraknya dibatasi dan diancam akan disetrum. Bahkan, muncul tuduhan konyol Sumaridjem adalah anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani, yang identik dengan PKI).
Diungkap dalam Hoegeng: Oase Menyejukkan Di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa (2009) yang ditulis Aris Santoso dan kawan-kawan, “Pada suatu malam polisi mendatangi Sum. Mereka menyuruh dia menanggalkan pakaian. Alasannya, mereka akan mencari kalau-kalau di tubuhnya ada tanda palu-arit.”
Polisi dengan sigap memunculkan seseorang bernama Trimo sebagai pelaku pemerkosaan. Dibumbui pula bahwa keduanya menjalin hubungan gelap. Trimo membantah keras tuduhan itu. Ia tak kenal Sum.
Menurut catatan Aris Santoso, masyarakat dianggap terlanjur percaya versi Budidono. Orang ini adalah makelar mobil yang ditangkap polisi setelah Sumaridjem melapor. Budidono mengaku ikut merudapaksa. Pengakuan mengejutkan Budidono: Tiga pemerkosa lainnya adalah anak penggede. Pengakuan kepada polisi itu bocor, lalu beredar di masyarakat.
Siapa pelaku penyebab penderitaan Sumaridjem tak pernah jelas. Sumaridjem bahkan nyaris dipenjara. Ia kena tuduh “memberikan laporan palsu dan telah menyiarkan kabar bohong”.
Tergambar di awal film Perawan Desa, Sum menangis sambil mengaku dia telah berbohong. Katanya, Sum yang anak desa itu hanya kejar popularitas. Namun lebih banyak masyarakat yang gelisah, juga tidak percaya Sum berbohong atas apa yang dialami.
Semula jaksa menuntut Sumaridjem atas tuduhan memberi keterangan palsu dengan sanksi tiga bulan penjara. Tuntutan itu ditolak Hakim Nyonya Lamijah Moeljarto karena Sumaridjem tidak terbukti memberi keterangan palsu dan Sumaridjem dibebaskan dari tuduhan.
Ketika kasus Sum Kuning terjadi, Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) dijabat Hoegeng Imam Santoso. Hoegeng berusaha dengan serius membongkar kasus ini. Pada Januari 1971 ia bahkan membuat tim khusus yang dinamai "Tim Pemeriksa Sum Kuning". Ketua tim itu adalah Kadapol IX/Jateng, Suwardjiono.
Kasus Sum Kuning terus membesar seperti bola salju. Sejumlah pejabat polisi dan Yogyakarta yang anaknya disebut terlibat, membantah lewat media massa. Salah satunya Paku Alam VIII, yang juga menjabat sebagai Wakil Gubernur DIY.
"Berita itu sama sekali tidak nyata. Itu overbodig (berlebihan), sama sekali overbodig," bantahnya seraya mempersilakan anaknya ditindak jika bersalah.
Masih menurut catatan Aris Santoso, dkk., Hoegeng sampai melaporkan perkembangan pengungkapan kasus Sum Kuning kepada Soeharto. Alih-alih memberikan dukungan, Soeharto malah meminta kasus itu diambilalih oleh Team Pemeriksa Pusat/Kopkamtib. Pendeknya, kasus Sum Kuning dianggap berdimensi politik yang luas, sehingga rezim merasa perlu mengambilalih sepenuhnya.
Kendali Hoegeng pun hilang dalam pengungkapan kasus Sum Kuning. Di kemudian hari, dia menyayangkan penanganan yang seharusnya hanya dilakukan aparat hukum seperti polisi menjadi dicampuri pihak lain.
“Harapan saya agar urusan Polri tidak dicampurtangani pihak lain, menjadi memprihatinkan,” katanya dalam Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1993) yang ditulis Abrar Yusra dan Ramadhan KH.
Hingga kini, siapa para pemerkosa itu tidak pernah terungkap dengan terang benderang.
Sumber: https://tirto.id/misteri-pemerkosaan...um-kuning-cAa9
Quote:
Jenderal Polisi (Purn.) Drs. Hoegeng Imam Santoso (lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, 14 Oktober 1921 – meninggal di Jakarta, 14 Juli 2004 pada umur 82 tahun) adalah salah satu tokoh kepolisian Indonesia yang pernah menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia ke-5 yang bertugas dari tahun 1968 - 1971. Hoegeng juga merupakan salah satu penandatangan Petisi 50. Nama diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Bahayangkara di Mamuju dengan nama Rumah Sakit Bhayangkara Hoegeng Imam Santoso.
Diubah oleh Jabrix666666 29-09-2019 04:34
pakolihakbar dan 8 lainnya memberi reputasi
9
6.4K
Kutip
6
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
923.1KThread•83.2KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru