Aku siswa seperti kebanyakan, yaitu siswa yang suka dengan bel pulang dan jam kosong. Waktu menginjak kelas sepuluh SMA aku masih tidak terlalu peduli dengan namanya cinta, siapa yang peduli. Aku bahkan tidak memiliki kegiatan ekstrakulikuler di sekolah, aku termasuk siswa yang pendiam dan suka banyak bicara ketika ada temannya. Pada waktu kelas XI barulah aku menyadari bahwa sebuah pendidikan itu penting memilih jatuh cinta bukanlah hal yang tabu, meskipun usiaku baru beranjak enambelas tahun. Ingat ya cuma sekedar jatuh cinta bukan pacaran, kalau terdengar kata pacaran, entah mengapa pikiranku dipenuhi dengan kata negatif.

Hari pertama masuk kelas XI dipenuhi dengan tawa dan ria karena ternyata kita masih satu kelas sama di kelas IPA yang awalnya kita satu kelas di kelas X. Ditambah lagi, ternyata kelas IPA asik juga anaknya, kirain cuma anak IPS saja yang bisa gokil-gokilan. Masa sekolah dipenuhi dengan kegiatan PR yang jarang dikerjakan dan memilih untuk mengerjakan di kelas daripada di rumah, dan pada waktu itu aku langsung paham arti cinta sesungguhnya. Setiap pagi aku selalu menyalin PR dari teman sekelas, dia seorang perempuan, meskipun pintar dia termasuk suka membagi-bagikan hasil pekerjaan PRnya dan tidak sombong.

“Ra, boleh pinjem PR matematika kamu nggak, seperti biasa Ra”, Tanyaku kepada Rara seorang jenius matematika di kelasku.
“Jangan hari ini Rend, aku hanya ingin tidak terus-terusan memanjakanmu dengan menyalin PRku”, jawab Rara dengan nada rendah seakan takut kalau marah kepadaku.

“Lah, kenapa sih kan matematika juga nggak akan keluar di ujian kehidupanku nanti, karena nanti aku bekerja juga tidak menggunakan hitung-hitungan matematika”, Kataku dengan nada membela diri.

“Jangan begitu Rend, kamu nggak punya cita-cita untuk kuliah?, kuliah nanti lebih sulit lagi belajarnya, karena pada waktu itu kita dituntut untuk bekerja sendiri dan kita tidak bisa bertanya dengan dosennya, bisa bertanya tapi enggak seleluasa ketika kita berada di bangku sekolah”, Rara berkata lagi mantap dengan jawabannya karena Rara bercita-cita ingin menjadi seorang guru matematika di desanya.

“Hemmm, kalau begitu ajari saya gimana?”, Entah mengapa pernyataan seperti keluar begitu saya dari mulutku tanpa melihat diriku ini siapa di mata Rara.

“Boleh”, Jawab Rara yang membuat jantungku semakin terpacu karena sama sekali tidak menduga akan jawaban perempuan cantik di depannya.

Hari demi hari aku semakin tumben-tumbenan sering bertanya ke guru dan juga ke Rara kalau ada kesulitan tentang mata pelajaran yang sulit. Tidak hanya matematika yang sulit menurutku, masih ada kimia yang menurutku sebuah pelajaran entah mengapa levelnya jauh lebih sulit daripada matematika dan fisika.

Aku dan Rara duduknya tidak bersebelahan tapi berada satu garis depan dan belakang, jadi kalau ingin berkomunikasi dengan dia aku tinggal ketuk aja pakai bulpoin pundaknya. Semakin hari komunikasiku semakin lancar saja dengan dia, baik dengan sms maupun berbagi cerita lewat beranda facebook. Aku rasa kenangan terbaikku menjadi seorang pelajar SMA adalah ketika satu kelas dengan Rara. Rara cukup kompetitif orangnya, dia pernah mendapatkan juara olimpiade matematika dan juga memiliki misi harus menyelesaikan semua paket belajar selama tiga tahun diringkas menjadi dua tahun. Jadi nanti buat jaga-jaga kalau tidak diterima melalui jalur undangan dia bisa melanjutkan cita-citanya melalui jalur ujian.

Kedekatanku dengan Rara semakin terjalin, kita sudah biasa pergi ke kantin bersama buat makan dan mendiskusikan buku yang kita suka terkadang juga musik dan film yang baru hits. Aku sudah nyaman dengan Rara dan rasanya kelas XII nanti aku ingin satu kelas lagi dengan Rara, tapi itu hanya angan-angan, meskipun boleh kita ingin pindah kelas dengan mendiskusikannya ke guru tapi aku rasa perbuatan itu egois dan cenderung lebih mementingkan diri sendiri, karena lebih baik kita harus menambah kenalan baru di setiap tahunnya.
Tahun berikutnya aku tidak sekelas lagi dengan Rara, tapi aku masih berhubungan melalui sms seperti kelas XI yang lalu, mungkin aku lebih suka menyebutnya dengan kata sahabat. Tapi satu hal yang pasti dengan persahabatan antara laki-laki dan perempuan, yaitu tidak mungkin terjadi.

Aku bahkan bertanya kepadanya apakah dia nyaman dengan aku didekatnya dan bertanya apakah kalau aku dekat dengannya apakah ada yang marah. Sebuah pertanyaan kode, bahwa seorang jomblo mamastikan bahwa orang yang menjadi targetnya juga dalam kondisi sendirian tidak ada pasangannya.

Rara menjawab, bahwa selama ini dia tidak pernah terpikirkan untuk memiliki pasangan, karena menurutnya yang terbaik dari sebuah hubungan adalah komunikasi yang baik dan konsisten setiap harinya. Karena suatu hubungan yang baik harus dilandasi dengan kepastian gerak dan waktu yang selaras, maksudnya dia tidak suka bertele-tele menjalin hubungan kalau kandas nanti akhirnya. Dia suka seperti ini katanya, tidak banyak menyatakan cinta tapi saling membutuhkan dan mencari apabila tidak bertemu. Dan waktu ketika bertemu adalah waktu paling berharga, tanpa bumbu-bumbu pernyataan yang berlebihan.

Memang harusnya seperti ini, batinku berkata. Aku mungkin tidak akan bertemu lagi suatu hari nanti, tapi bersikeras untuk satu kampus dengannya, paling tidak apabila tidak satu kampus dengan Rara adalah satu kota dengan Rara.