Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

riekartiekaAvatar border
TS
riekartieka
LANGIT SORE (CERBUNG)
LANGIT SORE
_Part 1_
Oleh : Rieka Kartieka



Pic. From : Pixabay


"Aku sudah tak punya rasa cinta lagi sama kamu."

Suara lelaki di seberang sana menusuk tepat di hati. Ia yang sudah menjadi kekasihku selama tiga tahun menelpon di sore hari hanya untuk mengatakan hal yang paling menyakitkan. Padahal, di malam sebelumnya kami masih bercerita melalui videocall WhatsApp. Seperti biasa, penuh canda dan rindu.

Hanya itu. Hanya satu kalimat itu ... dan ia mematikan sambungan teleponnya.

Sakit. Saat itu, rasanya seperti terjatuh ke dasar jurang terdalam setelah melayang tinggi di atas awan. Seperti wanita bodoh, selalu berprinsip jika hubungan jarak jauh cukup bermodal 'percaya'.

Sejak itu, aku tak suka langit sore. Padahal, namaku ... Senja.

*** ***

"Senja! Kamu pulang cepat?"

Aku mengacak poniku yang sedikit panjang dan menepiskannya ke samping. Akhirnya ketemu sesuatu yang mengganjal sejak perjalanan keluar dari kantor sejam lalu. Belum pamitan dengan Elisa.

"Maaf, Lis. Aku buru-buru," jawabku sembari melihat keluar jendela bus Transkota.

Langit tampak mulai kemerahan.

"Kamu beneran mau ketemu dia?" Suara Elisa sedikit berbisik.

"Iya ...."

"Gila!" Teriakan Elisa membuatku sedikit menjauhkan telepon genggam dari telinga. Setelah itu aku meminta maaf pada ibu yang duduk di sebelah bersama bayi mungilnya. Sepertinya, Elisa juga sedang meminta maaf kepada seseorang di kantor.

"Sial! Gara-gara kamu aku dipelototin Pak Harjuna. Ternyata dia ada di belakangku tadi. Hahaha ...." Elisa terbahak di seberang sana.

Aku pun sedikit tertawa membayangkan kumis tebal Pak Harjuna naik ke atas melihat kelakuan bawahannya yang teriak tiba-tiba. Juga membayangkan Elisa yang mungil berkacamata bulat besar terlihat semakin kecil dan menciut. "Sekarang kamu di mana, Lis?" tanyaku penasaran, ada suara angin yang mendominasi.

"Atap gedung. Senja ... kamu nggak serius, kan? Jangan bilang sekarang kamu lagi di jalan ke tempat janjian ketemu sama dia." Elisa menebak sangat tepat. Ah ... bukan menebak, tapi memang dia pasti tahu aku mau kemana.

"Kumohon, Senja. Sudah setahun lebih dan kamu masih berada dalam genggaman bayangannya."

"Aku hanya penasaran, Lis."

Laju bus Transkota terasa begitu halus. Perjalanan ini bagai melayang di atas awan. Atau mungkin karena aku terlalu terpaku pada langit yang semakin memerah.

Melalui kaca jendela, gedung bertingkat saling bergerak silih berganti. Menyamarkan keberadaan langit sore yang sedikit tertutup awan. Mereka semua seperti bergerak ke belakang. Namun, kenyataannya aku lah yang sedang melaju ke depan.

Ah, betulkah aku sedang berjalan ke depan?

*** ***

Bus sudah sampai di terminal terakhir.

Berdasarkan petunjuk GPS aku harus berjalan menelusuri beberapa gedung tinggi. Kemudian tiba di salah satu mall terbesar di pusat kota. Tempat pertemuan kami adalah cafe yang berada di samping mall. Sebuah cafe taman dengan tatanan tanaman yang menyatu dengan lampu juga beberapa kolam ikan kecil. Sesuai WhatsApp yang ia berikan beberapa jam lalu, tempat kami ada di lantai dua.

Pernah merasakan keringat dingin, perut mulas, dan jantung berdebar semakin keras? Itulah aku, ketika melihatnya berdiri di pinggir balkon cafe dan hanya menatap ke arahku. Rasanya ingin berlari dan menghindar, tapi bukan waktu yang tepat.

"Hai. Lama tak jumpa." Ia masih sama seperti yang dulu. Dengan garis muka tegas dan mata hitam yang tajam. Hanya saja, rambut gondrong itu berubah menjadi cepak.

Aku tak menyahut salamnya. Sesegera mungkin duduk untuk menghilangkan gemetar di kaki. Ia pun ikut duduk di kursi satunya, tepat berhadapan. Dari sudut mata, aku tahu pandangannya tak lepas dariku. Jantungku semakin berdebar. Menyebalkan! Bisakah palu godam datang dan menghantam agar tak lagi berdetak?

"Tolong pesankan aku jus alpukat saja," pintaku seraya menutup menu berwarna biru. Sesegera mungkin, ia memesan segelas jus alpukat dan secangkir latte untuknya.

"Kamu terlihat dewasa sekarang, Senja." Matanya menatap tajam padaku. Tentu saja, aku balas menatapnya. Tak ingin menunjukkan rasa malu-malu kucing seperti dulu.

"Masih pandai merayu rupanya, kau, Langit." Kubuat nada suara sedatar mungkin.

"Hahaha! Tambah galak rupanya sekarang." Langit terbahak puas rupanya. Mukanya sedikit memerah. Kuperhatikan, kulitnya agak cokelat. Seperti sering terpapar matahari. Ah, peduli apa aku?

"Rambutmu, panjang sekali. Kamu tak pernah merapikannya?" Langit memang tak pandai basa-basi.

Aku pun membelai rambutku yang sepanjang punggung dan mengikatnya penuh dibelakang. Sehingga memperlihatkan sedikit gelombang tepat di ujung rambut. "Masih belum niat motong aja," ujarku.

Bukan ... bukan belum niat. Namun, tak berani memotongnya. Karena, di setiap helai ada rasa rindu yang diam-diam tumbuh hanya untukmu.

Langit.

"Aku masih merindukanmu, Senja." Sekali lagi, sebuah kata tanpa beban meluncur begitu saja dari mulutnya. Membuat waktu seakan berhenti dan hanya berputar diantara kami berdua. Bersama langit biru kemerahan.

Untung saja pelayan datang membawakan minuman kami berdua. Membuatku punya alasan untuk menghindar dari tatapannya yang tajam. Sekaligus kembali ke dunia nyata.

--- bersambung ---

Yogyakarta, 4 Maret 2020
#ceritarieka


Part 2 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...7e9308a557b25e
Diubah oleh riekartieka 07-03-2020 09:24
Gimi96
NadarNadz
nona212
nona212 dan 19 lainnya memberi reputasi
20
4.7K
72
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.