Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

sylviafizzhiadhAvatar border
TS
sylviafizzhiadh
Bias Luka



Bias Luka



Perlahan genggaman tangannya di jemari, kulepaskan. Laki-laki itu terisak. Untuk pertama kalinya, selama hampir lima tahun mengenalnya, aku tahu dia bisa menangis. Dan penyebabnya adalah aku.

Sebenarnya sebongkah daging berwarna merah dalam dada, juga merasakan pedihnya seakan teriris. Rasa cinta di hati ini tulus. Aku menyayangi, mengagumi, juga menyemai harapan yang besar untuk berlayar bersamanya di biduk tanpa layar yang bernama rumah tangga.

Namun, apa mau dikata. Rasa cinta padanya tidak lebih besar dari harapan yang ditanam Bunda pada anak semata wayangnya ini. Di tangan ini tergenggam harap itu. Di pundak ini terbeban sebias kasih dari orang tua yang sanggup mengorbankan apa saja demi sang buah hati.

Di rumah sakit yang dinding-dindingnya dingin, membiaskan sedih dan harap tak berujung, Bunda terbaring tak berdaya. Gagal ginjal telah merenggut satu demi satu bahagia yang dulu sekokoh batu karang, tegar melingkupi kami. Cuci darah tak lagi banyak guna untuk mengukirkan senyum di wajahnya, pun begitu dengan wajah Ayah.

Kini, satu-satunya jalan yang masih membayangkan kesembuhan untuk Bunda, adalah cangkok ginjal. Om Pandu, satu-satunya saudara yang Bunda miliki, sudah setuju merelakan satu ginjalnya, agar nyawa masih bertahan di tubuh sang kakak. Namun, soal uang ....

"Mas bisa melarangku untuk menerima laki-laki itu! Sangat bisa. Tapi ... dua ratus juta harus bisa Mas sediakan saat ini juga. Bunda gak bisa menunggu lama. Nyawanya tergantung pada keputusanku."

Aku mengutarakan kalimat itu tanpa menatap Mas Elang. Pasti ia terluka karena tajamnya sembilu yang tertancap di setiap kata yang terucap. Namun, apalah daya. Biarlah dia marah dan juga murka, daripada pilu yang terselip di ujung rindunya sepanjang waktu.

Mas Elang kembali meraih lenganku, tapi seketika kutepis.

"Tidakkah dirimu mencintaiku lagi, Dik? Kemana kau buang janji berlandas cinta yanh pernah kita ukir bersama dulu?" Ia masih saja terisak pilu. "Pasti ada jalan lain yang bisa diusahakan untuk Bundamu, Dik. Selain dari menikahi laki-laki itu. Kita ... kita akan mengusahakannya." Binar harapan masih belum padam sepenuhnya di diri Mas Elang.

"Tapi apa, Mas? Apa yang bisa diusahakan, selain segepok uang untuk Bunda berbaring di meja operasi?" Aku menggeleng emosi. "Bunda gak punya waktu yang banyak, Mas! Bisa jadi hari ini, besok, atau lusa maut akan menjemputnya. Nyawa Bunda rapuh, Mas! Sangat rapuh ...."

Dan kali ini, kristal bening dari mataku yang bercucuran. Ini tidak mudah. Ini terlalu berat untukku yang terombang-ambing dihempas badai yang nyaris menenggelamkan. Bak memakan buah simalakama, diri ini serba salah. Di satu sisi, ada cinta yang sedang kukorbankan, di sisi lain cinta pada sang Bunda yang tengah dipertaruhkan.

Tuhan, berikan aku kekuatan.

Kami masih bergeming, berdiri bersisihan di sisi bangku taman yang dicat keperakan. Angin sore bertiup sepoi, mengalirkan berjuta ketenangan, tapi bagiku sama gersangnya.

"Lupakan saja aku, Mas. Suatu saat akan ada wanita yang lebih pantas untuk kau cintai. Aku ...."

Sebelum kalimatku berlanjut sampai ke ujungnya, ponsel di dalam tas coklat tua yang tersampir di bahu berdering cukup kencang.

Darah di dada berdesir kuat.

Bunda.

"Segera kembali, Zakia. Bunda kritis ...." Kalimat singkat Ayah mengiriskan perih sampai relung terdalam. Aku menahan ludah, menahan keremukan.

Aku tak berkata apa-apa lagi, langsung berlari menelusuri taman kota. Sebelum akhirnya tubuh menghilang dalam badan angkot, aku masih menoleh sekilas ke sana. Dia masih ada di bangku itu, duduk menunduk dengan kedua tangan di kepala.

Dadaku sesak lagi. Tumpukan perih di seluruh rongga dada mendesak keluar menjadi genangan paling jernih. Namun, kutahankan titik-titik itu tidak bercucuran meski setetes. Sakit ini cukup kutelan dalam-dalam.

***

Ayah berdiri tergugu di sisi pintu ruang rawat Bunda. Om Pandu berjalan mondar mandir dengan gelisah. Dan dia ada di sana. Laki-laki berjas mentereng yang bernama Teguh itu.

Menyadari kedatanganku, ketiganya bergerak bersamaan. Tatapku beradu dengan mata Teguh, ia menunduk sekejap lalu beralih pandang.

"Bagaimana Bunda, Ayah?" Hanya kalimat itu yang bisa kukatakan. Rasanya waktu perpisahan dengan Bunda sedang terbentang di depan mata. Diri ini tak berdaya.

"Dokter sedang memeriksanya. Berdoalah." Ayah tampak lebih tegar dari sebelumnya. Mungkin beliau sudah pasrah.

Tidak, Zakia. Tidak ada yang namanya pasrah. Aku menghardik batin yang bergelora.

Dokter keluar. Kami berempat berkumpul di hadapan dokter berkacamata itu.

"Kita harus segera ambil tindakan. Sebelum terlambat ...."

Tulang-tulangku rasanya lolos dari setiap persendian. Aku tergugu, ambruk di lantai dengan tangis tak bersuara.

"Siapkan operasinya segera, Dok. Saya akan mengurus administrasinya."

Teguh bersuara dengan sangat yakin. Tanpa memandangku, ataupun Ayah, ia berlalu meninggalkan derit sepatu pantofelnya beradu lantai granit rumah sakit.

***

Operasi cangkok ginjal Bunda sedang dipersiapkan. Pemeriksaan demi pemeriksaan yang awalnya masih terbengkalai sekarang dikejarkan seakan berlomba dengan waktu.

Teguh sudah menyelesaikan semua biaya operasi Bunda. Ayah tampak bersemangat. Ada kegembiraan yang tidak bisa dijelaskan, yang tergambar di wajah teduh itu. Namun, itu Ayah. Beda dengan apa yang terasa di hati. Diri ini sudah tergadai, di tangan laki-laki konglomerat yang bernama Teguh.

Apa daya hati ini?

Harapan untuk menuai benih cinta bersama Mas Elang, sudah hancur remuk, seremuk-remuknya. Tidak ada yang bisa diperbaiki lagi.

[Aku ingin bicara berdua saja, empat mata. Temui aku di taman rumah sakit, sekarang juga]

Pesan WA itu dicentang dua. Kulirik Teguh yang masih duduk bersisian dengan Ayah di depan ruang rawat Bunda.

Laki-laki itu memeriksa ponselnya, membacanya sejenak, lalu sekilas menatap ke arahku.

Aku seolah tak peduli, mulai melangkahkan kaki menyusuri koridor. Langkah demi langkah, meski santai, akhirnya sampai juga di taman tepat di sayap kiri rumah sakit.

Tidak menunggu cukup lama, Teguh pun datang. Tanpa basa-basi, ia langsung duduk di ujung kiri bangku taman.

"Ada apa? Kenapa gak bicara di sana saja? Bentar lagi, operasi akan dimulai," ujarnya.

Aku melirik arloji. "Masih ada waktu sejam lagi. Aku hanya butuh waktu lima belas menit, bicara denganmu." Aku menghela napas sekilas. "Sebelum Bunda dioperasi, aku ingin memberi kejelasan."

"Kejelasan apa?"

"Uang yang sudah kau keluarkan untuk Bunda, seperti janji kita dari awal, aku menyanggupinya," ujarku kemudian.

Dia tampak terkejut. Sebelah matanya menyipit, tak percaya. "Maksudmu?"

"Aku mau menikah denganmu."

Teguh menghela napas, kasar.

"Aku bukan membeli dirimu, Zakia. Aku gak mau kau menikah denganku karena terpaksa. Hutang uang, hutang budi, apapun itu."

"Gak ada keterpaksaan. Ini karena cintaku pada Bunda. Juga ... juga untuk rasa terima kasihku padamu." Aku tidak paham lagi apa yang akan kukatakan. "Intinya, pegang saja janjiku ... kita akan menikah, setelah Bunda keluar dari rumah sakit ini."

"Gimana dengan laki-laki itu?"

Aku berhenti dari langkah yang mulai bergerak menjauhinya.

"Itu urusanku dengan dia. Gak ada hubungannya denganmu ...." Aku melangkah mantap, meninggalkan Teguh, tanpa menoleh lagi ke belakang.

***

Operasi cangkok hati Bunda berjalan sukses. Beruntung, Allah masih memberikan kesempatan untuk lebih lama menikmati dunia ini.

Semua itu karena Teguh.

Tidak salah, segala kebaikannya kubalas dengan satu-satunya hal yang masih bisa kuberikan. Cinta memang tak ada, karena sesungguhnya hati ini masih milik Mas Elang. Namun, waktu yang nantinya akan menjawab.

Seminggu setelah Bunda kembali ke rumah, sebuah pertemuan digelar. Sang Papa, satu-satunya orang tua yang masih dimiliki Teguh, datang bersamanya. Saat itulah, aku tahu kalau Teguh sudah kehilangan sang mama, karena sebuah penyakit yang tidak bisa disembuhkan, meski segudang uang sanggup dipersembahkan.

Satu bulan lagi, sebuah pernikahan akan terlaksana. Aku dan Teguh, seorang laki-laki yang bahkan tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Laki-laki dari belahan dunia lain, datang sebagai jodoh.

Dan Mas Elang. Ternyata cinta hanya tinggal sebagai satu bagian di sudut hati. Janji akan tertinggal sebagai janji. Pun begitu dengan kenangan, yang lambat laun akan pupus dihapus oleh yang namanya waktu.

Sengaja aku tidak memberitahunya, atau hanya sekadar mengantarkan undangan pemutus cinta. Cukuplah perih yang tertinggal sebagai baret luka, yang tak perlu dibuat berdarah lagi.

Kita hanya bisa berencana, Mas. Janji yang disemai, nyatanya hancur dimakan hama. Kita tidak bisa menuainya lagi, meski hanya sebentuk asa.

Lupakan cinta itu, Mas. Muarakanlah rasa yang tertinggal di dalam dada, pada wanita yang lain, yang pasti akan datang padamu.

Maafkan aku yang tak bisa berpegang pada janji. Yang cinta di dadanya tidak lebih besar dari kasihnya pada sang Bunda. Ini bukan inginku, Mas. Tuhanlah yang menentukan segalanya.


The end


Cerpen by SILVIA BASRI
21 April 2020







ukhtyfit81
NadarNadz
nona212
nona212 dan 34 lainnya memberi reputasi
35
582
7
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.