athfahdwAvatar border
TS
athfahdw
Satu Kata Yang Tertinggal




"Kamu tahu, ketika akang berbalik saat itu? Tangan ini memegang dada, berusaha meredam perih yang tak terperi. Hati menangis karena harus mengikhlaskanmu pergi," ucapnya dari seberang sana. Suaranya terdengar bergetar.


"Kalau begitu ... kenapa Akang tidak melarangku pergi?" tanyaku sambil terisak.


Beberapa saat dia terdiam, dan aku terus saja terisak diiringi bulir kesedihan yang berkejaran di pipi. Merasakan sesak di dada ini. Kenapa, semuanya harus terungkap setelah sekian lama?


"Itulah kesalahan akang. Tidak berani menjanjikan apa-apa. Mungkin, karena usia yang masih terlalu muda. Jangankan menjanjikan sesuatu pada anak gadis orang." Dia menghentikan ucapannya.


"Andai Akang ucapkan satu patah kata saja. Memintaku untuk tetap tinggal. Pasti, akan kulakukan apapun untuk tetap tinggal," ucapku lirih.


"Akang minta maaf." Dia menghentikan lagi ucapannya. "Dan harus kamu tahu, rasa itu ... tidak pernah berubah hingga saat ini," lanjutnya setengah berbisik.


Ibarat belati, perkataannya itu menamcap tepat di ulu hati. Nyeri sekali. Membuat bulir kesedihan semakin membanjiri wajah. Namun, hal itu tidak cukup mengungkapkan semua rasa sakit di dada ini.




***


Delapan tahun yang lalu.


Tidak pernah terucap satu kata cintapun dari bibirnya. Namun, perlakuan dan perhatiannya kurasakan lebih dari sekadar seorang teman biasa.


Dia, kakak senior di sebuah organisasi sekolah yang kami ikuti. Kedekatan kami awalnya biasa saja. Setidaknya, itu yang kurasa.


Namun, entah kenapa teman-teman mengira hubungan kami istimewa. Ekspresiku ketika hal itu mereka katakan? Aku tertawa ....


Dia lulus sekolah lebih dulu (kami beda satu angkatan), dan melanjutkan kuliah di kota lain. Tidak ada kontak dengannya sekitar satu tahun, membuatku sedikit merasa kehilangan. Ya, hanya sedikit.


Lulus sekolah, aku bekerja di sebuah supermarket. Hingga suatu hari, tiba-tiba dia sudah berada di depanku. Entah kenapa, hati ini merasa begitu bahagia.


Sejak saat itu. Ketika pulang ke kota kami, dia akan mengunjungiku, menunggu hingga jam kerjaku selesai. Sekadar untuk mengobrol di sepanjang jalan pusat kota. Kami menyusurinya, tanpa merasa lelah.


Bercanda dan bercerita, tanpa mempedulikan orang-orang yang melihatnya. Aku hanya merasakan satu hal, itu adalah masa-masa yang indah. Mengukir kenangan, yang kelak akan kususuri setiap kembali ke sana.


Hingga kesalahpahaman itu terjadi. Tanpa bertanya lebih detail apa yang kuucapkan suatu saat. Tiba-tiba dia memutuskan sesuatu yang sama sekali tidak kumengerti.


Dia bertanya, "Apa yang membuatmu terlihat begitu bahagia?"


"Aku baru saja menemukan sesuatu," jawabku sambil tersenyum. Aku memang baru menemukan sesuatu yang sempat hilang.


"Apakah calon suami?" tanyanya lagi.


Aku menggeleng cepat. " Bukaaan ...," jawabku sambil tertawa.


Jika saja, percakapan itu memang benar penyebabnya. Harusnya dia tanyakan apa sebenarnya yang kumaksud. Aku siap bercerita, apapun. Namun, dia terlanjur menghilang dan entah apa yang dia pikirkan sebenarnya.


Aku yang sudah terbiasa dengan kehadirannya, merasakan sepi dan sakit meremukkan hati ini. Tidak ada lagi keceriaan dalam hidupku. Setiap hari, yang kurasakan hanya penyesalan dan rasa rindu.


Untuk sedikit meredakan rasa itu, kususuri jalanan yang biasa kami lalui sebelumnya. Berharap, tiba-tiba dia memanggilku dengan rasa rindu yang sama. Namun, itu hanya angan belaka.


Berbulan-bulan kemudian, keluargaku pindah ke kota lain. Membuat harapan untuk bisa bertemu dengannya lagi, perlahan sirna. Meski rasa rindu justru sebaliknya. Semakin mencengkeram hati.


Tiba-tiba, kuingat sesuatu. Tanggal 14 Agustus. Aku harus berada di kota asalku di tanggak itu. Kebetulan, beberapa hari sebelum tanggal itu ada saudara di kampung yang akan melangsungkan pernikahan, dan aku diutus orang tua, mewakili keluarga untuk menghadirinya.


Dengan senang hati, aku pun pergi ke kota asal kami. Menghadiri pesta pernikahan saudara dan mencari dia di tanggal 14 Agustus.


Hari itu, pagi-pagi aku sudah bersiap. Pergi ke alun-alun kota. Sampai di sana, sudah banyak orang berkerumun untuk melaksanakan upacara peringatan Hari Pramuka. Aku menunggunya hingga upacara itu selesai di luar pagar.


Setelah selesai, aku berjalan perlahan. Menuju salah satu pintu masuk ke dalam alun-alun. Dalam hati berdoa, untuk diberi kesempatan bisa bertemu dengannya lagi. Aku yakin, di antara ratusan atau mungkin ribuan peserta upacara itu, ada dirinya.


"Hamba mohon, ya Allah ... pertemukan dengannya. Mohon dengan sangat ... Hamba mohon dengan sangat," gumamku dengan bibir bergetar dan setitik bulir bening terjatuh di pipi. Aku terus melangkah dengan menunduk.


Setelah beberapa langkah, kuangkat kepalaku. Sejenak aku tertegun, dengan bulir-bulir di pipi semakin deras berkejaran. Kutatap seseorang yang kurindu, berdiri beberapa meter di depanku. Dia pun menatapku, sepertinya tidak percaya.


Aku menepi karena menghalangi orang yang masih hilir mudik dan dia pun mendekat.


"Kamu ...," ucapnya pelan.


Aku mengangguk dan tangan sibuk mengusap basah di wajah. Sambil terisak, aku berusaha tersenyum. Tidak peduli, beberapa orang menatapku keheranan.


Hari itu, menjadi awal kedekatan kami lagi. Hingga aku pulang ke perantauan, kami masih saling berkirim kabar. Hubungan itu kembali terjalin, erat dan hangat. Meski, lagi-lagi tanpa ada kata cinta yang terucap.


Perhatian dan candanya, membuatku semakin merasa nyaman dan terbiasa. Dia memanggilku honey ... dan aku tetap memanggilnya akang.




Beberapa bulan berlalu, dan aku mulai menginginkan kepastian. Hanya satu kata saja yang kuharapkan darinya, maka akan kuperjuangkan rasa itu hingga bisa bersatu. Meski ada orang lain yang berniat akan melamarku.


Suatu hari kami bertemu. Sikapnya pun masih sama. Dia berikan beberapa bait puisi yang indah. Namun, bukan hanya itu yang kuharapkan.


"Kang, aku mau dilamar," ucapku ragu.


Dia terdiam beberapa saat. Kemudian, menatapku sekilas. "Selamat, ya .... Untuk seorang gadis seumuranmu, memang sudah cukup untuk menikah. Tapi, untuk laki-laki, belum waktunya. Masih banyak yang harus dipersiapkan," ucapnya.


Aku terhenyak. Bukan itu jawaban yang kuinginkan. Namun, ternyata itulah yang dia ucapkan. Luka yang sempat mengering, seketika terasa berdenyut lagi.


Sejenak sebelum kami berpisah. Dia masih menggenggam tanganku. Mengalirkan getaran hingga ke dada. Kubalas genggamannya, berharap rasaku pun sampai hingga ke dasar hatinya.


Namun, nyatanya, dia membiarkanku pergi. Sambil kutatap punggungnya yang menjauh dan sedikit terhalang orang-orang, kukirimkan sebuah pesan. [Setidaknya, aku tahu sesuatu hari ini].


Tidak ada balasan, hanya dibaca saja.


Ya, aku berusaha meyakinkan diri sendiri, bahwa tidak pernah ada cinta di hatinya untukku. Meski hal itu pun disanggah oleh sisi lain hatiku.


Perjalan pulang saat itu, kurasakan sebuah kegagalan yang teramat sangat. Namun, aku tidak pernah menyangka sedikit pun, jika itu adalah pertemuan terakhir kami.


Sampai di rumah, kukirimkan sebuah pesan, dan pesan itu tidak pernah terkirim. Nomornya sudah tidak aktif.




Sekarang, delapan tahun sudah berlalu. Tiba-tiba, kami bertemu di media sosial. Masih ada yang mengganjal di hati, dan aku sangat ingin mengetahuinya. Untuk apa? Entahlah ....


Ternyata, pengakuannya cukup membuat hati ini teriris. Kata cinta yang dulu sangat diharapkan, ternyata kini tidak lagi indah kurasa. Hanya menambah luka yang sudah mengering, kembali berdarah.


Keadaan sudah berbeda. Kenyataan sudah tidak lagi bisa diperjuangkan. Kubiarkan kata cinta itu menguap, bersama kenangan yang perlahan sirna dari ingatan.


Sumber, Pribadi
Gambar, pixabay

ButetKeren
abellacitra
nona212
nona212 dan 31 lainnya memberi reputasi
32
734
18
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread41.7KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.