bukhoriganAvatar border
TS
bukhorigan
[SFTH] Jalan Mistis menuju Situ Cibeureum Garut | Based on True Story
===
PRA-KATA
===
Sebuah cerita yang ditulis berdasarkan kisah nyata memang penuh dengan intrik dan tanda tanya, tentu disini Saya selaku penulis berharap apa yang dikisahkan tidak memunculkan perdebatan apapun, dan bisa mengambil hikmah dari secuil kisah ini.
Cibeureum secara harfiah artinya Air (yang) Merah, di Garut sendiri nama Cibeureum umum dijumpai di kaki gunung, untuk mengisyaratkan tanah di hutan belantara yang tercampur sedimen lumpur karena adanya aliran sungai. Bukan hanya itu saja, Sesepuh berbagai daerah di Garut menamai Cibeureum sebagai tanda "Merah" untuk tidak dilewati oleh siapapun, untuk itulah tiap pelosok di Garut mempunyai "daerah Cibeureum" sendiri.
Kisah ini ditulis berdasarkan pengalaman teman Saya, sehingga kisah ini-pun sebisa mungkin Saya tulis dengan akurat yang dibuat serta dinarasikan ulang sesuai urutan waktu kejadian, tentu tokoh dalam kisah ini Saya samarkan, dan demi kenyamanan bersama berbagai dokumentasi saya samarkan untuk menjaga privasi kesaksian.

kisah ini terdiri dari
Perjalanan Awaldi sini
Perjalanan Akhir & Epilog di Second Post
Trivia & Lore di Third Post

take a seat and a cup of coffee,
and enjoy because this is not Repost.



"Arwah dan Roh bersemayam menjaga alam dari pemilikNya."
Situ Cibeureum Garut.


===
a Sillent Road
===

"Se . . . lamat datang di Kawasan Hutan Lindung Ci . . . Beureum." ku membaca pelan sebuah tulisan yang samar tertera, terukir pada gapura yang sudah rapuh dan berlumut.

Aku berdiri cukup lama di teras sebuah post sederhana, tempat ini menjaga akses masuk menuju tempat keramat bagi warga Garut pada umumnya yaitu kawasan Cagar Alam Cibeureum, namun sepertinya post ini sudah ditinggalkan penjaganya sangat lama, terlihat jendela pengawas yang pecah sudah ditumbuhi rumput liar, bangunan ini terikat dan menyatu dengan alam.
Cagar Alam Cibeureum merupakan kawasan Hutan Lindung yang berada tepat di bawah kaki Gunung aktif di Garut, dan mengalir sungai yang masih jernih dari utara pegunungan, membuat daerah ini subur dipenuhi pepohonan lebat sampai satwa liar yang memikat, namun sampai sekarang akses menuju jalan ini masih belum tereksplorasi dari dunia luar karena pihak berwenang secara misterius masih enggan membuka lebar kawasan ini.
Menurut warga sekitar, tempat ini bukan hanya pintu menuju Cagar Alam, tapi gerbang awal menuju dunia para Arwah leluhur, memang ini sangat berkaitan karena Garut merupakan bagian dari tanah Priangan di Jawa Barat. Priangan atau Parahyangan sering diartikan sebagai tempat para Rahyangatau Hyang, Masyarakat Sunda kuno percaya bahwa roh leluhur atau para dewa menghuni tempat-tempat yang luhur dan tinggi, maka wilayah pegunungan dianggap sebagai tempat Hyang bersemayam, dan Cagar Alam Cibeureum dipercaya adalah salah satu tempat bersemayamnya para roh leluhur itu, sederhananya menurut tradisi warga sekitar kita harus menghormati tempat ini dengan layak dan santun, seperti menghormati orang tua kita sendiri.

"Guntur ? sampai kapan kita berdiri disini ?" tanyaku cemberut, berharap segera beranjak, karena jam menunjukan setengah empat sore.

"sampai si Aray selesai menunaikan hajatnya." Guntur tersenyum tenang, sambil memadamkan rokoknya di kaki.

Namanya Guntur sesuai dengan nama Gunung di Garut, sikapnya selalu tenang sejak dulu, perawakan dia tinggi dan tegap, tipikal pendaki profesional pada umumnya, rambutnya panjang diikat, karena pengalamannya maka dia selalu jadi andalan kami sebagai porter untuk pendakian atau sekedar tracking ke hutan.
lalu ada Aray, dia sedikit gempal namun otot yang besar menjaga bentuk idealnya, dia sedikit urakan namun itulah yang membuatnya sedikit unik, setidaknya ada yang menghibur kami selama perjalanan karena terkadang sikapnya yang ceroboh membuat Aku dan Guntur tertawa.

"gengs ! gue udah selesai nih, udah siap mengguncang langit." teriak Raja sambil berlari, muncul dari belakang post ini.

"iya iya, terserah ente panci kaleng." jawab Guntur menggelengkan kepala.

"Jihan kamu udah siap ?"

"si Jihan kenapa ? galau lu han mikirin Cowok ?" tanya Guntur dan Aray bersamaan, melihatku yang sejak tadi terpaku.

"tidak apa-apa, Aku merasa ada seseorang disana yang hendak kemari."  aku menunjuk pada Wanita pembawa kayu bakar, terlihat samar di sela-sela semak belukar.

Wanita itu perlahan mulai terlihat di mata kami yang sejak tadi menyimak, kami tertegun takjub sebab usianya yang mungkin sudah melebihi 60 tahun masih sanggup menggendong kayu dan ranting pepohonan, sangat umum bagi warga sekitar mengambil pepohonan yang mati dan memakainya menjadi kayu bakar, terlihat Nenek itu membawa batang kayu bakar yang melebihi betis Aray, mungkin saja beratnya hampir puluhan kilo, tentu melebihi berat carrier yang dibawa Guntur.
Guntur langsung memasang badan, sedikit menunduk tanda dia ingin menyapa Nenek itu di depan, Nenek itu mulai tersenyum dan perlahan menghampiri kami, Aku dan Arai mulai mengikuti postur Guntur.

"sampurasun, selamat sore nek ?" tanya Guntur ramah.

"rampes, hendak kemana kalian nak ?" balas Nenek itu berhenti, sambil menurunkan gendongannya yang terbuat dari kain bekas.

"maaf nek mengganggu waktunya sebentar, kami pertama kalinya datang ke Cagar Alam ini, dan hendak menuju Danau yang ada di puncak bukit, namun post ini tidak ada penjaganya sama sekali, jadi kami sedikit kekurangan petunjuk jalan, bisakah nenek membantu kami ?" tanya Guntur ramah, yang sesekali melirik bukit di ujung penglihatan kami.

"Tuhan adalah sebaik-baiknya pengawas nak, dibantu Alam yang setia menjaga dari pemiliknya, tentu Alam akan menuntun kalian saat di perjalanan, namun jika kalian hendak masuk tolong hargai tanah yang kalian pijak serta penghuninya, maka mereka akan senantiasa menjaga kalian." Nenek itu tersenyum sambil menggendong kembali bawaannya, tanda hendak pamit, sedangkan kami milirik satu sama lain berusaha memahami perkataannya.

"kalian harus mengikuti jalan ini, setelah melewati tempat kemah lanjutkan ke jalan yang lebih menanjak, hingga sampai pada hutan pinus, setelah beberapa jam jalan ini akan berakhir pada aliran air yang mengalir dari Danau, setelah itu melangkah kembali maka kalian akan sampai di Situ Cibeureum, berhati-hatilah." timpa Nenek itu kembali sambil menundukan kepalanya, lalu melangkah pergi meninggalkan kami yang masih berdiri terpatung, akhirnya dia menghilang di ujung tikungan jalan.

"eh lu pada nangkep omongannya ?" timpa Aray yang masih terheran.

"sudahlah, yang jelas kita bisa memahami satu hal, tetap ikuti track ini, seperti kata nenek tadi, mungkin benar bahwa perjalanan ini akan memakan waktu berjam-jam lamanya." lirik Guntur pada Aray dan Aku, sedangkan Aray mulai membuka GPSnya.

"ya sudah, kita berdoa semoga perjalanan ini lancar" timpaku yang mulai semangat.

"berjam-jam ? ah coba lihat, menurut GPS perjalanan kita tidak sampai dua jam, kalo nenek-nenek yang berjalan ya memang bakal berjam-jam." sorak Aray, mengangkat GPSnya ke langit dengan percaya diri, Aku dan Guntur hanya tertawa kecil melihatnya.

Jam menunjukan pukul empat pas, kami mulai melangkah, namun ketika kaki-kaki kami melewati batas gapura seketika itu pula kabut mulai turun berhembus perlahan diantara ranting pepohonan, lalu Matahari mulai tertutup, relung cahaya masih terlihat menembus gumpalan kabut yang bergerombol.
Guntur mengisyaratkan Aku untuk berjalan di tengah, sedangkan dia berjalan paling belakang untuk mengawasi, lalu Aray berjalan paling depan, berharap perjalanan kami akan lancar sampai tujuan.
Sesekali Aku melirik Guntur ke belakang, terkadang Aku merasa jika dia memang sosok pelindung bagiku, terlebih ketika Aray bertindak konyol padaku, jadi wajah Guntur yang rupawan membuat mood ku terobati untuk kembali naik.

"nak Jihan, bakal berjam-jam loh perjalanan ini, mau digendong ?" tanya Aray terkekeh-kekeh sambil membungkukkan badan seperti nenek tadi.

"Ray, lebih baik awasi langkahmu, jangan bertindak kekanakan." jawabku ringkas.

Aray tidak mendengarkanku, lalu ke belakang menuju Guntur yang sejak awal mengawasi.

"nak Guntur ya ? mau kemana nak ? bukit Cibeureum ? itu bukitnya di depan lagi berjalan, gila bray bongkahan batunya dibawah juga kece bener." Aku berhenti, melirik Guntur yang tersipu, lau melirik Aray dengan perasaan sebal, lalu menghampiri mereka.

"nyebelin sumpah !" Aku menarik telinga Aray kencang, Aray berusaha menghindar sambil tertawa melihatku, lalu Guntur hanya melebarkan senyumannya.

Langkah Kami diawali dengan teriakan di sana-sini, saling melempar candaan di ruas jalan yang sepi, terkadang tawa Aray bergema sampai ujung bukit. Kami adalah sahabat karib sejak SMP, orang tua kami pun saling mengenal, lelucon memang jadi santapan kami sehari-hari, saat ini kami sama-sama menempuh pendidikan ilmu Pertanian di salah satu Universitas Swasta di Garut, tentu perjalanan ini sangat berarti bagi kami, karena selain menjelajah tempat eksotis yang jarang terjamah, Kami juga ingin mempelajari ekosistem Hutan Lindung ini sebagai bahan penelitian.

. . .


Jam tanganku sudah menunjukan pukul lima sore, dan kami baru sampai di area perkemahan, terlihat padang rumput bergelombang yang diselangi beberapa pohon pinus menambah rasa takjub perjalanan kami.
Area perkemahan terlihat kosong dan sunyi, kami terheran-heran karena di akhir pekan tempat ini selalu menjadi tempat andalan warga Garut untuk berkemah, dari Komunitas sampai acara Universitas, bahkan sekaliber TNI-pun sesekali melakukan latihan di Cibeureum, tapi saat ini memang terlihat hening tanpa ada aktifitas apapun, sepertinya kami sendirian di tengah Cagar ini.
Kulihat angin lembah sudah menusuk tanda petang menjelang, kabut mulai menampakan sifat aslinya, menutup segala pandangan di depan, kami yang sempat terhenti dan minum sebentar mulai melanjutkan perjalanan menuju jalan aspal yang mengerucut jadi jalan tanah di depan, berharap bisa sampai di atas sebelum Matahari terbenam.
Dari kejauhan terlihat sorot cahaya sebuah kendaraan yang hendak turun dari arah puncak bukit, gemuruh kendaraan terdengar senyap, karena jalan ini hanya mampu dilewati satu kendaraan maka posisi kami mulai berjalan ke samping.
Sebuah mobil Jeep Hitam produksi tahun 80-an mulai terlihat, jalan yang bergelombang dan lumpur yang mengendap membuat badan Jeep 4x4 itu terlihat naik turun sempoyongan, tapi roda-roda besar yang tangguh itu melindas permukaan dengan mudah, terlihat seorang Pria mulai mengeluarkan tangannya dari jendela, melambai untuk menyapa.

"selamat sore . ." senyum Pria berkumis tebal dalam jok setir, dia memakai kacamata hitam.

"iya selamat sore Pak . ." jawab kami serempak, Aku hanya mampu melihat dia selintas, lalu kami meneruskan langkah kembali.

Jalan ini begitu sepi, kulihat hanya jejak Jeep yang tadi melewati kami, terkadang Aku juga merasa heran jika tempat ini nampak hening di akhir pekan, suara yang terdengar hanyalah angin yang berhembus pada dedaunan, menggesek satu sama lain sampai daun jatuh berguguran di kepalaku, bahkan burung yang terbang tak terdengar berkicau di sore hari, hanya suara alam menjelang petang menemani perjalanan kami saat ini.

. . .


Suara Adzan maghrib mulai terdengar, menggema dari kejauhan, sebuah tanda awal jika Matahari sudah tenggelam, cahaya tertelan perlahan menyisakan warna jingga di langit, gemerlap kota Garut mulai menampakan dirinya di ujung mata, layaknya kilau Intan yang memang menjadi simbol kota kami.

"gila bener, udah maghrib tapi kita masih tertahan, kita udah melangkah jauh tapi gue rasa perjalanan ini beneran jauh." ucap Aray mulai kelelahan yang tidak biasa mendaki.

"makannya jangan pernah menganggap sepele sebuah rintangan." timpa Guntur.

"Guntur ? sebenarnya posisi kita dimana ?" tanyaku sambil mengelap keringat, lalu melepas ranselku dari punggung.

"kita masih mengikuti jalur ini, tenang saja dan bersabar, dan konsisten dengan tujuan." jawab Guntur tersenyum, Aku mengangguk percaya padanya.

"pandangan kita mulai gelap nih bray, buka senter dong." pinta Aray, sambil menunduk memegang lututnya.

Guntur mulai membuka slingbag-nya di pinggul, mengeluarkan tiga senter untuk kepala kami, setelah menyala kami mulai tenang karena pandangan mulai terang benderang.
Lalu Aray berjalan ke samping jalan, terlihat dari belakang membuka resletingnya, menghadap hutan pinus yang senyap-senyap terdengar suara alam.

"Ray jika ingin buang air lebih baik gali tanah, setelah selesai baru kubur jadi aromanya tidak tercium orang, bukan di semak-semak seperti itu, ya itu pepatah orang tua kita." tegas Guntur.

"tenang aja Gun, tumbuhan kan butuh pupuk alami." jawab Aray asal-asalan, Aku tertawa kecil karena tidak kuasa melihat tingkahnya.

"dasar freaklu Aray, dibilangin malah ngeyel." Aku membalikan badan, terdengar air mulai terpancar.

"ha . . ha . . 'Air seni' gue bener-bener berseni, tugasmu bagus sekali Jon, bisa bikin seni." tawa Aray, lalu bergetar tanda selesai.

"Jihan ? minum dulu." Guntur memberikan botol air, menenangkan Aku yang mulai terkuras stamina.

"terimakasih Guntur." balasku dengan senyuman, dia memang selalu perhatian padaku.

Matahari tenggelam sepenuhnya di ufuk barat, langit-langit malam yang kelam mulai menyapa ditambah cahaya kemerahan di ujung khatulistiwa, kami meneruskan perjalanan ditemani kabut disekitar hutan pinus, jalan yang kami pijak mulai lembab tercampur embun petang dan kerikil bebatuan, semakin menanjak maka jalan ini semakin sempit menandakan kami harus berjalan lebih hati-hati.

. . .


Kami masih berada di jalan setapak sedangkan jam menunjukan pukul sembilan, dan Termometer kami menunjukan suhu 18°C, dikelilingi hutan pinus yang dibalut kabut pekat membuat badan kami mulai sedikit merasa kedinginan, suhu dingin memang menyerang kami sejak awal, tapi perjalanan ini membuat suhu tubuh kami bertiga naik dan melindungi sejenak dari hawa sekitar yang mulai semakin turun.
Kami sempat berhenti beberapa kali, tapi kami masih belum melihat tanda-tanda sampai di tujuan, Guntur pun terlihat heran dengan situasi ini karena prediksinya meleset untuk pertama kali, keringat yang keluar sudah mulai mengguyur seluruh badan kami, Kemeja Flannel dan Kaos yang ku pakai mulai basah oleh keringat, Thermal-Longpantsyang kupakai pun sedikit lembab tercampur percikan lumpur, ditambah Sepatu Tracking yang mulai dipenuhi tanah basah sedikit menghambat langkahku, kami memutuskan untuk berhenti kembali untuk kesekian kalinya.
Guntur melepas Jaketnya sejenak dan duduk, mengelap keringat lalu mengikat ulang rambut di kepalanya, dia juga menyusun ansel carriernya yang sedikit goyah, sedangkan Aray hanya mampu menunduk sesekali melihat sekitar, Ransel yang dibawapun dia lepas sejenak, lalu dia melangkah kecil ke samping jalan, sepertinya Aray melihat sesuatu.

"eh gengs lihat ke sana, sepertinya ada seseorang yang menyalakan api." tunjuk Aray ke ujung bukit di depan, beberapa puluh meter dari kaki kami, mungkin jalan setapak ini bisa menuntun kita kesana, kemudian Guntur langsung mengarahkan teropongnya kesana.

"benar, aku lihat dia sedang merokok." jawab Guntur, Aku langsung menghampirinya.

"Guntur, coba kulihat." Aku meminta, dia langsung menyerahkan teropongnya, sedangkan Aray terlihat meneguk air beberapa kali.

Teropong Guntur merupakan standar khusus pemburu, dilengkapi lensa infra-red yang memukau, terlihat cahaya api di ujung sana begitu terang dan kontras, Aku melihat sesosok Kakek Tua memakai setelan pangsi dan ikat batik khas sunda, setelan itu memang sangat umum ditemukan di tanah Sunda, karena sering dikenakan orang tua kami dulu, lalu Aku menyerahkan teropong ini pada Guntur untuk menyiapkan langkah kembali.

"lebih baik kita menuju tempat itu, mungkin dia tahu mengenai jalan pintas menuju Danau Cibeureum, setidaknya kita tahu apakah perjalanan ini masih lama atau tidak." kataku sambil melirik Guntur dan Aray.

"baiklah, bagaimana menurutmu Ray ?" lirik Guntur pada Aray.

"terserah kalian aja lah, gue udah jadi kambing guling nih, kucel dan berminyak, pengen cepat sampai sana." timpa Aray.

Setelah siap, kami mulai melangkah mengikuti jalan setapak ini, sesekali melihat bara api yang terpancar di ujung sana. Karena medan yang bergelombang dan berliku, bara api tersebut sempat menghilang dari pandangan beberapa saat, tapi dengan jelas kami masih bisa melihat kepulan asap yang naik ke atas, tanda bara api itu masih menyala.

"nah sudah dekat." kata Guntur, Aku yakin Kakek tersebut ada di balik tikungan di depan

Langkah kami langsung terhenti di ujung jalan ini karena terkejut dengan apa yang terjadi, kakiku melangkah kecil ke depan menginjak rerumputan dan ranting lalu melihat sekitar, penglihatanku ini jelas namun yang terjadi sungguh di luar nalar, Aku melirik pada Guntur dan Aray yang sama-sama terheran-heran.

"Orang itu tidak ada !" timpaku seketika, memecah kesunyian.

"Bara api, dan bekasnya menghilang." Aray hanya terpaku melihat sekitar.

Api yang menyala tadi benar-benar menghilang dari pandangan kami, jika memang dia pergi kenapa tidak ada jejak kobaran api yang menjilat sekitar ?

"oke tenang, kita harus lanjutkan perjalan ini, ayo cepat pasti tinggal sedikit lagi." ucap Guntur, lalu mengisyaratkan kami harus segera pergi, mendorong badan Aray dan memegang tanganku yang dingin.

"jangan pernah cerita apapun sampai kita pulang ke rumah." jawab Guntur kemudian, sambil menuntun langkah kami segera, mencegah kami berbicara apapun.

Aku masih terkejut dengan apa yang terjadi, saat ini suara alam terdengar semakin mencengkram keberadaan kami, Aku seperti melihat sosok-sosok mata mengelilingi kami di balik batang hutan pinus yang berkabut, mengawasi langkah demi langkah kami yang sudah kelelahan, keringat yang semula panas akan perjalanan tergantikan oleh keringat dingin yang mulai bercucuran. Aku, Aray, Guntur harus melanjutkan perjalanan dan sampai di tujuan secepatnya, karena terlambat bagi kami untuk turun kembali ke bawah, kami tidak berbicara apa-apa, suara yang terdengar hanyalah langkah kami yang menyusuri jalan setapak.
Angin malam pegunungan mulai berhembus, menyajikan kesunyian yang membuat kami berdebar kencang, dari kejauhan kota Garut yang gemerlap di malam hari mulai tertelan kabut dan menyekat segala keramaian yang bisa kami lihat, tentu kami merasakan getaran hebat yang belum pernah kami alami sebelumnya, Guntur yang mempunyai pengalaman-pun dibuat hening membisu dengan kejadian ini begitu pula denganku dan Aray.
Kami menyadari satu hal, kita memang benar-benar dituntun oleh Alam menuju lingkaran lembah yang tidak mungkin dicerna oleh akal sehat.

Sejatinya, Kita sedang tersesat dalam kesunyian.

to be continued

next >>

Spoiler for image source:
Diubah oleh bukhorigan 20-04-2020 03:29
opachimz18
Dheaafifah
terbitcomyt
terbitcomyt dan 307 lainnya memberi reputasi
308
12.2K
112
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread42KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.