Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

wiwinindah10Avatar border
TS
wiwinindah10
Bakso Ular Part 2
POV Peni

Bakso Ular Part 2


Sudah hampir setengah jam aku menunggu Gita. Ia pamit ke toilet, tapi sampai sekarang belum keluar juga, padahal aku sudah selesai makan dari tadi. Bahkan bakso milik Gita juga sudah habis kumakan, keburu dingin, nanti gak enak. Sayang, ‘kan? hehehe ....

“Ke mana, sih, tu bocah! Udah hampir jam satu juga. Bentar lagi, kan, mulai kerja!” Aku menggurutu bagai emak-emak yang mencari anaknya sambil membawa sapu karena main gak pulang-pulang. Biar saja si Gita, aku sambit dia kalau keluar.

Kesabaranku sudah habis, cukup Gita! Cukup! Aku beranjak dari tempat dudukku, lalu menghampiri salah satu karyawan Bang Kumis.

“Permisi, Mas,” sapaku lembut. Selembut pantat bayi. Ee busyet! Seketika Mas-mas yang mengenakan kemeja hitam itu menoleh ke arahku. Masha’Allah ... gantengnya ... aku mematung demi menatap wajah Mas kasir itu.

Wajahnya bersih, hidungnya mancung. Kumis tipisnya menambah kesan dewasa dan berkharisma. Aku klepek-klepek dibuatnya, inikah yang dinamakan cinta pada pandangan pertama?

“Iya, Mbak. Ada apa?” ucapnya membuyarkan lamunanku.

“Nikah, yuk?” Ups! Ya Allah, Peni ... mulutmu ini suka blong. Sembari menepuk-nepuk mulutku sendiri.

“Eh, maksud saya berapa semuanya, Mas?” Aku meringis menampakkan gigiku yang putih dan rapi. Mas itu terlihat menahan tawa, aku takut dia malah kentut. Bisa hilang rasa kagumku padanya.
Aih! Ngebucin teroos!

“Nambahnya apa, Mbak?”

“Nambahnya nomor HP aja, Mas.” Kami sama-sama tertawa.

“Bakso dua, es teh manis dua. Gak nambah apa-apa, Mas,” sambungku seraya mengambil dompet.

“Jadi dua puluh enam ribu, Mbak,” jawabnya. Di kota, makan segitu sangat murah menurutku. Coba makan bakso di warung lain, pasti lebih mahal. Di sini harga bakso sepuluh riu, es teh Cuma tiga ribu.

Kalau yang lain, mungkin bisa sampe dua puluh ribu atau dua puluh lima ribu.
“Ini.” Aku menyodorkan uang satu lembar lima puluhan. “Oh, ya, Mas. Mau nanya, Mas liat temen aku gak? Tadi dia numpang ke toilet,” tanyaku pada pria tampan itu. Ia masih sibuk dengan kalkulatornya.

Terlihat buku dengan banyak tulisan di samping kalkulator itu, mungkin dia sedang menghitung.
“Oh, yang tadi? Emang belum keluar? Bukannya udah lama banget, ya? Bentar saya cek dulu,” jawabnya seraya mengambil uang dariku dan meletakannya terlebih dulu ke laci. Aku hanya mengangguk tanda setuju, kemudian dia pergi ke belakang.

Tak lama dia kembali. “Gak ada siapa-siapa, Mbak. Kosong kamar mandinya.”

“Kok, bisa, sih? Apa dia udah balik dulu, ya? Atau dia marah karena baksonya kumakan?” Aku bertanya seorang diri.

“Mbaknya makan dua mangkuk?” Mas Kasir kembali duduk.

“Hehehe ... iya, Mas. Khilaf,” jawabku malu-malu. Mati aku! Jadi keceplosan, kan? Habis sudah harga diriku di mata laki-laki tampan itu.

“Ya udah, Mas. Makasih, ya ....” Buru-buru aku pergi meninggalkannya.

“Tunggu, Mbak!” Mendengarnya aku langsung kegirangan, mungkinkah dia mau mengajakku berkenalan dan mengajakku jalan? Atau paling nggak minta nomor?

Seketika merapikan rambut dan bajuku, lalu berbalik menghadapnya.

“Ini, kembaliannya.” Yasalam! Ni orang belum pernah dicubit ginjalnya kali, ya!? Buru-buru aku mengambil uang kembalian itu, lalu enyah dari hadapannya.

***
Sepulang kerja aku masih bingung mencari kerberadaan Gita. Di pabrik pun tidak ada yang melihatnya, kupikir dia sudah pulang. Namun, saat aku pulang kontrakan masih dalam keadaan terkunci. Kami sama-sama memegang kunci, supaya bisa masuk kontrakan tanpa harus selalu bersama. Ke mana sih Gita? Aku mondar-mandir tak karuan. Lalu sejenak melupakan itu, berniat mandi dan makan terlebih dulu. Biarlah nanti lagi kucari Gita, mungkin dia ke rumah temennya. Atau pulang ke kampung, tapi belum sempat pamit padaku. Aku pun belum sempat menghubunginnya, karena kebetulan pulsa dan kuotaku sudah habis, maklum. Tanggal tua!

Hari sudah gelap, tapi perutku masih saja lapar. Uang juga tinggal kembalian beli bakso tadi siang, untuk makan besok terpaksa aku mengutang lagi. Kuputuskan keluar, mencari camilan untuk teman menonton TV.

Biasanya Gita yang selalu semangat beli makanan kaya gini, entah kenapa hati ini gelisah memikirkannya, rasa khawatir menyelinap di dalam hatiku. Ya Allah, semoga Gita baik-baik saja. Amin.

Aku berjalan menyusuri setiap gang, hingga sampai ke jalan besar. Beberapa penjual makanan berjejer rapi di tepi jalan raya. Aku melewati pondok bakso Bang Kumis untuk sampai di jalan raya. Entah kenapa aku kembali memikirkan Gita.

Tepat di samping pondok bakso milik Bang Kumis. Saat akan belok kanan, dari jauh kulihat seseorang tengah mengendap-endap di kegelapan bersama rerumputan.

Memang ini jalan paling ujung, warung Bang Kumis dikelilingi lahan yang cukup luas. Namun, seperti pekarangan. Tanah milik pemerintah yang tak terurus, beberapa tumbuhan dan rumput terlihat menghiasi pekarangan itu. Saat siang terlihat sangat rindang.

Namun, saat malam tiba tempat itu terlihat menyeramkan. Aku mengecek jam lewat ponsel yang sedari tadi kupegang, pukul 21:15.
Siapa yang malam-malam begini di tengah-tengah pekarangan seperti itu? Apa dia gak takut ada ular? Kan, lagi banyak ular di mana-mana.

Aku mengedarkan pandangan dan menyapu sekitar. Sudah sepi, jarang ada orang lewat kalau jam segini. Kendaraan juga hanya beberapa yang melintas.

Itu orang apa hantu, ya? Ah! Kalau hantu aku ajak kimpoi juga mau dia! Tanpa rasa takut, kuberanikan diri menghampirinya. Ia masih mengendap-endap. Sesekali menjatuhkan diri ke tanah, seperti menangkap sesuatu. Jarak kami semakin dekat, sekarang penglihatanku lebih jelas. Dia seorang laki-laki bertubuh gempal. Tunggu! Bukankah dia ....

“Bang Kumis!” Reflek aku memanggilnya. Entah namanya siapa, aku hanya memanggilnya sesuai dengan nama warungnya.

Seketika dia menoleh, terlihat sekali dia gugup. Kulihat dia membawa kantong kresek besar berwarna hitam. Entah apa yang dibawanya.

“Lagi ngapain, Bang, malam-malam di situ? Gak takut?” tanyaku penasaran pada laki-laki berKumis tebal itu. Aku berjalan mendekatinya.

“Bukan urusanmu! Cepat sana pergi!” bentaknya.

Memang Bang Kumis terkenal pendiam, tidak banyak bicara, sekalinya bicara pasti ketus. Meski dia baru sebulan tinggal di tempat ini, beliau cukup jadi pusat perhatian. Pasalnya, baru saja buka warung bakso di sini sudah cukup sukses, terbukti yang awalnya dia hanya berjualan dengan satu karyawan. Kini sudah tiga karyawan, bahkan dirinya tidak lagi ikut berjualan. Hanya sesekali mengecek dan membantu, selebihnya urusan karyawan.

Namun, menurut temanku yang juga tetangga dekat rumah Bang Kumis, ia mengelola, meracik dan menggunakan resep sendiri.

Pernah sesekali ada yang meminta resep sama Bang Kumis agar baksonya seenak buatannya, ia langsung menolak, katanya ‘rahasia’. Ya, mungkin itu resep turun temurun hanya untuk keluarganya, pikirku.

“Ish! Galak bener, sih, Bang!? Ane, kan, cuma nanya,” ucapku tak gentar dengan bentakkan laki-laki yang kutaksir usianya sudah kepala empat.

“Dasar, Bocah! Gak punya kerjaan!” bentaknya lagi. Seraya pergi meninggalkan dirik. Ia pergi masuk gang, rumah Bang Kumis tepat di belakang warung baksonya.

Namun, aku terpaku melihat kresek yang dibawa Bang Kumis. Meski keadaan cukup gelap, tapi aku bisa melihat kresek itu seperti ada yang bergerak hingga menimbulkan suara. Apa ya, kira-kira? Ah!

Mungkin Bang Kumis habis nyari kodok buat makan biawak peliharaanya. Aku terkekeh sendiri, emang gendeng aku tuh!

Aku melupakan hal itu. Lalu kuputuskan meneruskan tujuan awal mencari camilan. Jam segini tukang martabak pasti masih buka.

Namun, baru saja melangkah meninggalkan tempat itu, terdengar suara ponsel. Seperti dering telepon, mungkin ada panggilan masuk. Aku sangat mengenal suara telepon ini, tapi entah milik siapa.
Tak lama suara itu berhenti.

Tiba-tiba aku teringat Gita. Ya, bukankah ini suara ponsel Gita! Tapi di mana ponsel itu? Seperti ada secercah harapan untuk mengetahui di mana Gita berada.

Aku menyapu jalanan, perlahan mencari benda pipih itu. Mungkin ponsel Gita terjatuh. Kenapa aku gak telepon aja, ya, dari tadi! Ya Allah, Peni! Aku menepuk jidatku beberapa kali. Untung tadi sempat ngutang pulsa sama tetangga kontrakan. Demi untuk menghubungi Gita.

Buru-buru aku mencari nomor Gita, lalu kutekan tombol panggil. Nyambung! Benar saja, suara ponsel tadi kembali berbunyi. Aku merasa arah suara itu berada di dalam pondok bakso Bang Kumis.

Berdiri di depan warung itu, suaranya terasa jauh. Namun, sangat jelas kudengar. Lalu aku mencoba berjalan ke arah samping warung, kali ini sangat jelas.

“Apa ponsel Gita tertinggal di dalam?” Aku bertanya seorang diri. Tak lagi kuhiraukan malam sunyi sendirian di sini, aku harus mencari Gita. Entah kenapa tiba-tiba firasatku mengatakan Gita dalam bahaya, jika dia sudah keluar dari toilet tadi siang, mengapa aku tak melihatnya? Kalaupun sudah keluar, kenapa ponselnya tertinggal?

Otakku kini berputar seratus delapan puluh derajat. Padahal sebelumnya aku menganggap enteng masalah ini, dan baru aku sadar jika ini semua ganjil!

Aku kembali menghubungi ponsel Gita, tadi mati karena panggilan tidak ada yang mengangkat. Namun, kali ini kudengar seorang wanita berbicara.

“Maaf, nomor yang anda tuju sedang tidak aktif.” Sial! Ternyata operator. Mungkin ponsel Gita lowbat, itu sebabnya tiba-tiba gak aktif, pikirku.

Buntu, tidak ada lagi yang bisa kuperbuat. Menanyakan langsung dengan sang empunya warung juga rasanya tak mungkin, mengingat hari sudah malam. Takut mengganggu, lagian barusan ditanya bener-bener saja dia marah. Biarlah besok saja aku tanya lagi.

Kuputuskan untuk pulang, niat membeli martabak kubatalkan. Hilang sudah seleraku, mengingat Gita yang entah ke mana dan bagaimana kedaannya. Aku melangkah gontai dengan perasaan getir. Rasa cemas begitu menyerangku.

Tiba di kontrakan. Aku merebahkan tubuh yang terasa kaku, pikiran dan hati tengah dirundung kesedihan.

Tak terasa buliran bening mengalir dari kelopak mataku yang kini membasahi pipi. Baru kali ini aku tidur tanpa Gita, dalam keadaan yang tidak pasti keberadaannya.

Aku dan Gita sudah seperti saudara, walau kami baru beberapa bulan bersama. Sama-sama merantau demi untuk mencari sesuap nasi, kami bertemu saat aku pertama mengajarinya training di awal Gita bekerja. Ya, aku lebih dulu bekerja di sini. Kira-kira sudah lebih dari tiga bulan, setelah itu baru Gita masuk.

Sifatnya yang mudah bergaul, membuatku senang berkawan dengannya. Aku mengajaknya tinggal bersama yang kebetulan saat itu masih mengontrak sendirian.

Hingga akhirnya kami sangat akrab, bahkan kami sering di bilang kembar. Entah apanya yang kembar, padahal masih cantikan aku. Hehehe ... Maaf, Git!

Kembali aku mengingatnya, gadis itu tidak pernah mengeluh. Walau orangtuanya sudah lama meninggal, dia begitu mandiri. Gita sering sekali curhat padaku tentang kehidupannya. Ia dibesarkan oleh neneknya, setelah ayah dan ibunya meninggal dalam kecelakaan. Saat neneknya sudah meninggal, barulah gadis yang usianya menginjak 19 tahun itu memutuskan untuk merantau dan mencari pekerjaan.

Aku membuka galeri, membuka foto-fotoku bersamanya.

“Gita, kamu di mana? Kau baik-baik saja, ‘kan? Pulanglah, Git ... jangan membuatku takut.” Aku kembali menangis, lama-kelamaan mata terasa berat. Hingga akhirnya terlelap.

“Peni ....” Lirih suara seseorang memanggil. Aku terbangun, betapa terkejutnya saat melihat Gita ada di hadapanku.

“Gita! Benarkah ini kamu, Git!?” tanyaku tak percaya. Gita hanya mengangguk dan tersenyum.

“Alhamdulillah ... akhirnya kamu pulang juga, Git. Aku khawatir sama kamu, darimana aja, sih?” tanyaku lagi sembari memegang kedua tangannya. Dingin!

Kenapa tangan Gita sangat dingin? Wajahnya terlihat pucat, tatapannya juga kosong.

“Gita ... kok, gak jawab? Kamu gak apa-apa, ‘kan? Ada apa, Git? Cerita dong sama aku,” cecarku mencoba agar Gita mau menjelaskan kenapa dia bisa menghilang. Tak biasanya
Gita seperti itu. Bukanya menjawab Gita malah menangis tersedu-sedu, membuatku semakin khawatir.

“Tolong aku, Pen ... tolong aku ...,” rintihnya begitu memilukan. Aku semakin merasa jika sesuatu telah terjadi dengan sahabatku itu.
“Iya, Git. Aku pasti menolongmu.

Tapi minta tolong apa? Apa yang bisa kuperbuat?” Aku mengusap pundaknya, berusaha menenangkan gadis itu. Kepalanya yang sedari tadi menunduk karena menangis, kini mendongak dan menatapku tajam. Seketika bulu kudukku meremang.

“Bunuh ular itu!” ucapnya penuh penekanan.

“Ular? Ular apa, Git?” Aku bingung dengan ucapannya.

Seketika aku terlonjak saat tiba-tiba Gita berubah wujud menjadi ular raksasa yang begitu mengerikan. Lidahnya yang panjang dan bercabang sesekali menjulur, bersiap mematukku. Dan..

“Aaaarrrgghh!” Aku berteriak sekeras mungkin. Napasku terengah, jantung ini berdegup lebih kencang dan keringat dingin membasahi sekujur tubuh. Baru tersadar, ternyata aku mimpi buruk.

“Kenapa Gita datang dalam mimpiku? Dia juga minta tolong ... membunuh ular? Apa maksudnya?” Aku bertanya seorang diri. Otakku dipenuhi pertanyaan tentang mimpi itu. Mungkinkah memang dia dalam bahaya? Ya Allah, Gita ....

Aku mulai gusar, baru kali ini merasakan rasa takut yang teramat hebat. Namun, segera kutepis. Jika diri ini takut, bagaimana aku bisa menemukan Gita. Ya, aku harus berani. Akan kuselidiki semuanya sendiri. Akan tetapi, tak tahu harus memulai semuanya darimana.

Aku menggigit jari sambil mondar-mandir, bagai orang yang sedang dikejar-kejar tukang kredit.
Kulirik jam menunjukkan pukul lima pagi. Kuputuskan untuk mandi, sholat subuh dan bersiap berangkat kerja. Namun, sebelum itu aku akan kembali ke warung Bang Kumis. Siapa tahu ada petunjuk lagi di sana.

Tiba di depan rumah Bang Kumis, pintu tertutup rapat, bahkan gorden pun masih menutupi bagian dalam rumahnya. Aku berdiri, masih clingukkan seperti seorang pencuri. Tiba-tiba dari arah belakang, seseorang menepuk pundakku.

“Eh ... copot-copot ....” Aku terlonjak kaget. Hingga refleks latahku kumat. Lalu, menoleh ke arah belakang, terlihat seorang ibu-ibu yang masih cukup muda, mungkin usianya sekitar tiga puluhan, tapi tampak kurus dan tak terurus.

Wajahnya lesu, matanya mengisyaratkan kalau jiwanya sedang dalam tekanan yang sangat berat.

Aih! Sejak kapan aku jadi bisa membaca pikiran seseorang hanya dari raut wajahnya? Macam psikolog saja, batinku tertawa. Emang gendeng aku tuh!

“Ada apa, Bu?” tanyaku hati-hati. Mataku terus mengamati tubuh wanita itu, kasihan!

“Harusnya saya yang tanya seperti itu, ada apa anak muda berdiri di depan rumahku?” jawabnya lirih. Ekspresinya datar.

“Oh, ini rumah Ibu? Siapanya Bang Kumis, Bu?” Tanpa basa-basi aku bertanya pada ibu itu.

“Istrinya ...,” jawabnya singkat.

“Oh, istrinya. Saya Peni, Bu. Sebenarnya saya Cuma mau bertemu Bang Kumis, ada hal yang—“

“Suamiku tidak ada! Lebih baik jangan pernah berurusan dengannya! Cepat pergi!” jawabnya. Memotong ucapanku yang belum selesai.

Belum sempat aku melanjutkan maksud dan tujuanku, ia melenggang pergi tanpa permisi. Ada apa dengannya? Aneh! Siapa yang mau berurusan dengan Bang Kumis? Orang cuma ....

Apa!? Baru tersadar dengan ucapan terakhir wanita itu, jangan pernah berurusan dengannya? Apa maksudnya? Ya Allah, benar! Memang ada yang tidak beres dengan Bang Kumis.

“Peni ....!” ucap seseorang lagi dari arah belakang. Aku menoleh ke sumber suara.

“Eh, Mbak Sarah ,” ucapku pada wanita beranak dua itu. Dia senior di tempat kerjaku.

“Sedang apa kamu di sini?”

“Gak apa-apa, Mbak. Oh, ya. Mbak tahu istri Bang Kumis?” tanyaku padanya. Seketika membuatnya melotot, lalu menarik tangan ini. Ia mengajakku menjauh dari rumah Bang Kumis.

“Ada apa, Mbak? Kok, aku ditarik-tarik begini, sih?”

“Ayo, ke rumahku saja,” jawabnya masih terus menarik tubuhku. Aku hanya pasrah, dan mengikuti langkahnya.

Tak lama kami sampai di rumah Mbak Sarah, dia menyuruhku duduk. Wajahnya terlihat serius.
“Mbak kasih tahu, mending kamu jangan berurusan dengan keluarga Bang Kumis,” pintanya. Aku mengernyitkan dahi, ucapan Mbak sarah sama seperti ucapan istri Bang Kumis tadi.

“Memangnya kenapa, Mbak? Tadi aku ketemu ibu-ibu yang ngaku istrinya Bang Kumis, dia juga bilang seperti itu,” tanyaku penasaran. Kini posisi dudukku berubah lebih dekat dengan Mbak Sarah.

“Kamu ketemu sama Bu Ningsih?”

“Oh, namanya Bu Ningsih,” ucapku sembari manggut-manggut.

“Dia itu depresi, sebenarnya kami para tetangga kasihan padanya. Tapi, Bang Kumis gak suka kalau kita simpati pada Bu Ningsih,” jelasnya.

“Masa, sih, Mbak?”

“Iya, Bang Kumis kaya gak peduli gitu sama istrinya. Kadang kami dengar Bu Ningsih nangis-nangis, tertawa, dan suka teriak-teriak gitu.”

“Teriak-teriak gimana, Mbak?” tanyaku semakin penasaran dengan kisah Bu Ningsih.

“Teriak-teriak, bilang ada ular gitu. Pernah kami merespons teriakkan Bu Ningsih, karrna kami juga takut kalau memang ada ular beneran, ‘kan? Jadi kami nyamperin dia, eh malah dimarah-marahin sama Bang Kumis. Dari situlah kami jadi malas berurusan dengan mereka,” paparnya lagi.

Ular? Seketika aku teringat mimpiku semalam. Gita juga menyebut kata ular, apakah ini ada hubungannya?

“Peni! Kenapa bengong?” ucapnya seraya menggoyangkan pelan pundakku.

“Gak apa-apa, Mbak. Aku jadi inget Gita.”

“Memangnya Gita kenapa?”

“Gita ... hilang, Mbak.” Bibirku bergetar mengungkapkan itu. Tak terasa air mata menetes. Kuceritakan semua kejadian kemarin saat Gita hilang hingga semalam aku bermimpi dia datang mengatakan tentang ular.

“Apa sebelumnya Gita berurusan dengan Bang Kumis?” Ucapan Mbak Sarah membuatku berpikir sejenak.

“Bisa jadi, Mbak. Tapi apa? Saat kita makan bakso semua baik-baik saja. Gita hanya pamit ke toilet, dan setelah itu semua terjadi begitu saja, tanpa jejak dan alasan yang tepat.”

“Apa mungkin Gita ada di dalam warung Bang Kumis? Kekunci mungkin? Kenapa gak lapor polisi aja, Pen?”

“Jangan, Mbak. Belum punya bukti, mending diselidiki dulu.”

Kami saling bertukar pikiran, Mbak Sarah ikut cemas dengan keadaan Gita yang entah bagaimana nasibnya sekarang. Ibu dari dua anak itu sangat baik kepada siapa pun, selama kami kerja bareng tak sekalipun dia menunjukkan bahwa dirinya lebih tua atau merasa jadi senior di antara juniornya. Dia begitu dewasa dan mampu mengimbangi kami yang masih bocah. Terbukti, kini Mbak Sarah bersedia membantuku menguak mistri di dalam warung Bang Kumis.

Tenang Gita ... sahabatmu ini pasti akan membantumu.

Bersambung...

Part sebelumnya 👇
Bakso Ular
https://kask.us/iFPoU
#ForumKaskus via @KASKUS

By : Umi Ghani ( Wiwinindah)
Diubah oleh wiwinindah10 17-04-2020 05:59
NadarNadz
nona212
tien212700
tien212700 dan 19 lainnya memberi reputasi
20
1.5K
13
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread43KAnggota
Urutkan
Terlama
Thread Digembok
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.