- Beranda
- Stories from the Heart
Tumbal Kesembilan
...
TS
lin680
Tumbal Kesembilan
drdl2.xyz
Mata lamur wanita tua itu menatap anak gadis di depannya dengan raut khawatir. Ia menolak menyimpankan ransel anaknya yang baru saja tiba. Bahkan sedikit memaksa meminta si gadis segera kembali saja ke kota.
“Bukannya Mak ndak suka kamu pulang, Nilam. Cuma kampung ini lagi ndak aman untukmu,” katanya setengah bergumam, seolah takut akan ada yang mendengar ucapannya.
Belum setengah jam Nilam tiba, mereka sudah berdebat di ruang tamu.
“Nilam baru aja datang, masa disuruh balik lagi. Perjalanan Nilam ke sini setengah hari, Mak. Capek.”
Gadis itu terlihat sedikit kesal berjalan masuk ke bilik—kamar yang telah lama ia tinggalkan.
Badan direbahkan ke ranjang kayu yang mengeluarkan suara berderit. Kaki ia naikkan ke penghalang ujung ranjang.
Cara itu cukup membuatnya bisa mengistirahatkan badan yang lelah, duduk selama delapan jam di bus tadi malam. Lanjut naik ojek setengah jam baru ia bisa tiba di kampung kelahirannya ini.
“Minum dulu tehnya, mumpung hangat.” Ibunya masuk bilik, membawakan segelas besar teh, disodorkan langsung ke tangan Nilam.
Gadis dua puluh empat tahun itu bangun, meraih gelas langsung meminumnya tandas.
“Mak kenapa, sih, khawatir banget Nilam pulang. Apa nggak kangen sama anak?” tanyanya dengan bibir maju.
“Bukan begitu, nanti kamu juga paham apa maksud Mak. Pokoknya hari ini juga kamu harus balik.”
Wajah pias dari wanita berkeriput itu semakin tampak, saat mereka duduk bersisian. Mata yang sudah turun kelopaknya itu terharu melihat anak gadisnya ini tumbuh begitu cantik. Kulitnya yang dulu legam akibat bermain di bawah terik matahari sekarang putih mulus, pipinya pun bening mengkilap.
Telah lima tahun tak bersua, setelah lulus sekolah gadis pandai ini merantau ke Jakarta. Namun di antara rasa bangga itu menumbuh kekhawatiran yang sangat kini di hati Mak.
“Mak ini aneh. Nilam sudah lima tahun nggak pulang, pingin liat kondisi Mak di sini, malah disuruh balik. Pokoknya Nilam balik setelah keliling-keliling, mengenang tempat Nilam dan kawan-kawan bermain dulu, Mak. Sudah terlanjur ambil cuti seminggu,” kata gadis bersweater rajut merah muda itu panjang-lebar sembari turun dari dipan.
“Nilam mau ke rumah Suci,” katanya hendak berjalan ke luar kamar menuju ruang depan.
“Jangan!” bentak Mak sedikit keras berusaha menghalangi Nilam yang akan membuka pintu.
Mata berpayung bulu lentik milik Nilam memicing penuh tanya. Ia heran, tadi begitu melihatnya datang ibunya ini cepat menarik tangannya masuk. Kemudian juga disuruh cepat-cepat balik ke kota.
Sekarang keluar rumah pun dilarang.
Dua tangan Nilam menggaruk-garuk kepala yang tak gatal.
“Ih, trus Nilam harus gimana, Mak? Bikin bingung aja. Nilam mau ke tempat Suci, dia pasti kaget liat Nilam sekarang," ucapnya seraya berbalik ke kursi kayu di ruang tamu, duduk sambil melipat kaki.
Mak mengunci kancing atas pintu. Setelah sebelumnya melirik ke kaca luar, lalu Mak melangkah cepat ke kamarnya, segera kembali membawa baju lebar berlengan panjang, warnanya kubas dan rombeng—baju yang biasa dipakai ke ladang.
“Kalau keluar pakai ini.”
Gadis bertahi lalat di batang hidung ini kembali melebarkan mata, bibir penuhnya menganga sempurna. Belum juga tangannya menyentuh baju itu, Nilam tertawa lebar sampai memegangi perut yang terasa seperti digelitik.
“Mak ini, ada-ada aja. Aneh, tau. Anak udah cantik gini mau disuruh tampil jelek, gimana, sih?” ucapnya di sela tawa.
“Sudah nurut aja, pokoknya baju ini jangan dilepas sampai kamu balik ke rumah!”
Meski merasa lucu, Nilam mengikuti saja kemauan ibunya. Raut wanita yang melahirkannya ini tampak sungguh-sungguh khawatir.
'Yang penting bisa jalan-jalan keliling kampung,' batinnya.
Nilam melapisi pakaian yang dikenakan dengan baju longgar bau deterjen itu.
Sebelum ia keluar, Mak juga menggosok arang ke pipi dan dahinya. Saat Nilam memprotes, wanita tua itu memukul tangannya.
Jadilah Nilam pasrah, sambil membayangkan apa bentuk penampilannya kini.
Ia gadis pecinta semua hal berbau Negeri Ginseng. Dari ujung kaki hingga kepala sudah persis si idolanya, Bae Suzy. Aktris serba bisa yang menginspirasinya sampai bisa seperti sekarang.
Sepanjang menyusuri jalan Nilam makin risih dengan penampilan anehnya, tak lama kemudian ia melepas baju ‘kerja’ibunya itu di tengah jalan. Sebelum kain itu dilempar ke semak, ia menggosokkan wajahnya sampai dirasa bersih.
Jalan setapak yang sepi, membuat gadis itu lega tak ada yang sempat melihat penampilannya tadi. Kalau tidak, ia pasti akan malu dikira orang hilang akal.
Langkah Nilam percepat ke arah selatan, dua ratus meter ke sana ada rumah yang mau dituju sebelum ke tempat Suci.
Setelah melewati beberapa rumah dan tanah kosong pandangannya menyapu rumah sederhana yang terlihat sepi, pintu dan jendelanya tertutup.
“Neni,” panggilnya pada teman yang dulu tinggal di rumah itu.
Tak ada jawaban.
Nilam pikir rumah beratap genteng tua itu tampak tak terurus sudah kosong, di sekitar juga sepi. Ia kembali melanjutkan langkah menuju rumah Suci, teman akrabnya sejak kecil itu letaknya sedikit ke ujung kampung.
Kampung ini hanya dihuni sekitar lima puluhan rumah. Jarak satu dengan yang lain cukup jauh. Masih banyak lahan kosong berumput tinggi, ditanami pohon kelapa atau buah-buahan oleh warga.
Banyak warga berpindah ke kota atau kampung lain sebab merasa terisolasi di sini. Kampung tanpa listrik, apalagi sinyal telepon. Jalan menujunya juga setapak, berumput setinggi mata kaki. Melewati hutan panjang yang sebagiannya becek dan licin saat hujan.
Nilam melewati sebuah bangunan panjang dari kayu, tujuh ruangnya terkunci gembok coklat. Cat putih kapur di dindingnya mengelupas sana-sini, rumput di lapangan itu tumbuh rumput setinggi betis anak-anak. Itu bangunan sekolah dasarnya dulu.
Hari minggu begini tak tampak anak-anak yang dulu biasa memakai halamannya sebagai tempat bermain.
Sekolah tua itu satu-satunya tempat pendidikan yang dimiliki kampung terpencil ini.
Seingat Nilam, saat masa SD hanya dua guru yang bertugas mengajar, jumlah keseluruhan siswanya kala itu tak sampai dua puluh orang. Mereka tidak punya kepastian jam disiplin, terkadang masuk jam tujuh kemudian pulang jam sembilan pagi.
Setelah belajar sebentar, mereka akan menghabiskan waktu dengan bermain.
Fasilitasnya belum diakui, hingga saat ujian kelulusan siswanya akan bergabung dengan sekolah di kecamatan yang jaraknya ditempuh dua jam perjalanan.
Setelah lulus, Nilam dan beberapa teman melanjutkan SMP dan SMA di kecamatan. Tinggal di rumah saudara sampai tamat. Saat itu sebulan sekali ia pulang menengok Mak.
Kali ini, Nilam berharap ibunya mau tinggal bersama di kota, meski di sana ia masih mengontrak.
Awal mengadu nasib ke ibu kota, Nilam bekerja sebagai tukang keramas di sebuah salon. Suatu saat seorang teman membawanya bergabung di Komunitas Pecinta Korea. Setelah belajar banyak bahasa dan budaya negeri ginseng itu, gadis pemberani ini akhirnya bisa bekerja di sebuah K-Food sampai sekarang.
Beberapa tahun hidup di kota, mampu mengubah si gadis manis yang dulu dekil berpenampilan bak aktris.
Rambut coklat Nilam yang licin sesekali menutupi mata, karena tersibak angin. Hari yang tadi terlihat akan cerah berubah mendung dan berhawa dingin. Ia melirik jam di tangan kirinya, masih menunjuk angka sepuluh pagi.
“Suci,” pekiknya girang begitu tiba di rumah yang dituju.
Seorang perempuan muda berdaster tengah menyapu selasar, sontak melongo heran. Melihat kehadiran Nilam, ia merasa seperti didatangi bidadari.
“Kok, heran gitu, sih? Ini Nilam. Nilam Kumalasari,” ujar Nilam menjelaskan. Begitu di dekat Suci ia langsung merangkul teman itu.
“Nilam?” Suci bergumam datar, Nilam melonggarkan pelukan. Ditatapnya lekat wajah Suci yang tampak menua. Mungkin sebab bercak hitam dan kerut di bawah matanya mulai muncul.
“Iya, aku Nilam, Ci.” Nilam memegang kedua pundaknya, menatap saksama mata Suci yang terlihat berkaca-kaca.
“Suci?” Setengah heran Nilam melihat temannya itu langsung meletakkan sapu dan melangkah ke dalam rumah.
Ia mengikuti dari belakang.
Langkah kaku Suci terhenti di ruang tamu, wajahnya murung tanpa senyum saat duduk di kursi. Nilam ikut duduk di sampingnya, menatap Suci penuh tanya.
“Kenapa kamu pulang?”
Mendengar pertanyaan itu, sontak Nilam menyembur tawa.
“Kok, tanyanya aneh, sih? Mamakku, kan, ada di sini. Masa nggak boleh pulang. Emang kenapa, sih, Ci? Mak tadi juga bersikap aneh. Sama kayak kamu.”
Suci langsung menghadapkan wajah ke arah Nilam, gadis bermata bulat itu ditatapnya saksama.
“Kamu harus cepat pergi, Ni. Sekarang kampung kita nggak seperti dulu. Sudah nggak aman,” ucapnya terlihat ketakutan.
Nilam terpaku sejenak.
“Ada apa?” Nilam merasa ada yang tak beres melihat reaksi Suci.
Suci masih menatapnya lurus. “Semua gadis yang diinginkannya sulit lepas. Mereka pasti menghilang. Aku nggak mau kamu jadi korban,” ceracaunya dengan bibir bergetar.
“Siapa? Apa maksudnya, Ci? Aku nggak paham.” Nilam terus bertanya bersamaan dengan jantungnya mulai berdebar.
“Ki Arya, Ki Arya, Ni.” Suci berdiri dari tempat duduknya. “Kamu cepat pulang. Ikuti apa pun kata Mak, ya.”
Tangan perempuan berparas manis ini dingin dan gemetar, memegang punggung tangan Nilam yang ikut berdiri.
Nilam menggigit bibir berusaha menenangkan degup jantung yang makin cepat. Meski tak paham sepenuhnya ucapan Suci tadi, Nilam bisa menangkap adanya bahaya yang mengancamnya.
Teringat pula wajah lelaki berambut panjang, bermata besar pemilik nama yang disebut Suci tadi. Bulu kuduknya seketika meremang. Sejak masa SD ia sangat takut dengan lelaki yang dikenal memiliki keahlian supranatural itu.
Mendengar namanya saja mampu membuat tubuh melemah, karena takut.
wordpress.com
Nilam buru-buru pamit, setengah berlari kembali menyusuri jalan setapak ke arah rumahnya. Sesampai di tempat baju Mak dibuang tadi, ia melihat pakaian bermotif kembang itu masih teronggok di belukar.
Ia berusaha mengambil lagi pakaian itu. Perlahan tangannya menggapai, sedikit sulit sebab terhalang rumput tinggi.
Hup! Dapat. Segera Nilam pasang.
Kemudian ia membungkuk ke tepi jalan, mengorek tanah kecoklatan akan diusapkan ke wajah, seperti yang ibunya lakukan tadi.
Saat akan berdiri, matanya tertumbuk pada sepasang sandal kulit yang dikenakan seseorang bertelapak kaki lebar, kuku-kukunya panjang dan hitam.
Nilam mendongak sambil berdiri perlahan.
“Sedang apa, Nak?” Suara berat itu makin memacu cepat degup jantung Nilam.
Matanya seketika membelalak begitu melihat wajah yang sedang berdiri di depannya. Lelaki berpakaian serba hitam, berkumis tebal. Matanya yang besar itu menyipit ke arahnya.
Nilam cepat-cepat menunduk hendak berlalu. Namun terhenti saat tangan lelaki itu menahan lengannya.
Di saat bersamaan langit makin gelap, muncul petir diikuti guntur setelahnya.
Nilam tak bisa bergerak, tangan itu begitu kuat menahan.
“Mau ke mana?”
“Aku mau pulang,” jawab Nilam tanpa berani memandang.
“Merdu sekali suaramu, Cantik,” goda si lelaki tua setengah bergumam.
Seketika hujan turun deras. Nilam meronta meminta dilepaskan, tapi lelaki paruh baya yang ia perkirakan Ki Arya itu terus berusaha menahannya.
Nilam berusaha sekuat tenaga, jalan ini sepi tak ada yang bisa membantunya. Beruntungnya, tak lama kemudian cengkeraman lelaki itu terlepas, tak membuang kesempatan Nilam segera mengambil langkah seribu.
Ketakutan sangat membawanya tiba di selasar dengan badan gemetar dan basah kuyup. Nilam hendak mengetuk, bertepatan saat Mak membuka pintu.
Nilam aneh saat melihat ibunya wanita tua langsung terpaku, seolah tak bernapas mengarah pandang pada sesuatu di belakang Nilam.
Dari sudut mata, Nilam melihat sosok bayangan hitam berdiri menjejeri tubuhnya.
“Jadi ini anakmu, Mak Lumpit?” Suara berat itu keluar dari seseorang yang sudah berdiri tepat di sampingnya.
Dalam sekejap tubuh dan tulang Nilam melemas. Tanpa berani memandang, raganya ikut menegang, membelalak mata menatap Mak yang belum juga bergerak.
Bersambung
*Ini cerita novel pertama yang masih buanyak belajar, GanSis
Part 2
Diubah oleh lin680 26-03-2020 03:11
jenggalasunyi dan 30 lainnya memberi reputasi
29
9.3K
51
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.1KThread•45.7KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya