yundamassayu18Avatar border
TS
yundamassayu18
Rumah Terkutuk
Keluarga Pak Haki baru saja membeli sebuah rumah di perbatasan kota Bengkulu. Mendapat rumah besar dan pekarangan yang lebar dengan harga yang murah tentu saja menjadi kebanggaan tersendiri. Namun, mereka tak menyadari kalau ternyata rumah itu ... terkutuk!

***
Mobil Innova tahun 2008 masuk ke pekarangan sebuah rumah. Satu per satu penumpangnya turun dari kendaraan tersebut.

"Papa yakin beli rumah murah segini besarnya?" Amira berdiri di depan pintu. Melirik permukaan rumah dari depan. Cat rumah yang pudar, desain kuno, dan terlihat sangat menyeramkan. Koper kecil miliknya dibiarkan tergeletak di tanah.

"Awalnya papa ragu, tapi ... pemiliknya melepas rumah dengan harga murah, tanpa proses yang ribet pula," jelas Pak Haki.

"Papa memang selalu jago negosiasi. I love you, Pa. Buat mama, rumah besar seperti ini apa pun persoalannya tidak jadi masalah," ujar Bu Heni girang sekali.

"Kakak merasa seram, gak, sih? Miko takut ...," kata bocah laki-laki yang menenteng tas kecil, mendekat pada Amira.

"Dasar penakut! Makanya jangan sering nonton film horor!" Aan mencebik pada dua adiknya.

"Sudah. Ayo, kita masuk!" seru Pak Haki seraya membuka kunci pintu rumah.

"Sarang laba-labanya ada di mana-mana. Awas, Miko, nanti kamu jadi spiderboy kalau digigit laba-laba. Hwaa!" Aan terkekeh. Merasa senang telah menakut-nakuti adiknya.

Miko diam saja. Bocah enam tahun itu merasa yakin kalau rumah ini ada penghuninya.

"Rumah ini sudah lima tahun tak dihuni. Wajar saja kalau banyak debu dan sarang serangga," jelas Pak Haki sambil menyeret kopernya hingga ke depan kamar utama.

Pak Haki dan Bu Heni geleng-geleng kepala hampir bersamaan. Lalu, mereka menelusuri kamar lain, ruang keluarga, dan dapur. Sambil menunggu barang-barang diantar.

Sementara itu, Amira menelusuri sebuah kamar yang terletak di tengah. Dihidupkannya lampu untuk menerangi kamar yang gelap itu. Sarang laba-laba menempel di setiap sudut kamar. Juga di terali jendela. Amira kemudian membuka jendela.

Kriet ....

Terlihat pemandangan di sebelah kamar yang menghubungkan ke pekarangan samping. Ada lekukan berdiameter 1 meter yang dikelilingi oleh semen. Di sekelilingnya ada juga tanaman bebungaan. Amira takjub. Akan tetapi, rasa kagum atas keindahan itu segera sirna. Dia melihat seorang perempuan yang melintas di dekat kolam itu.

Amira lekas keluar kamar. Berlari ke pintu depan, lalu belok ke pekarangan samping. Terus berjalan hingga sampai di tepi kolam kecil tadi.

Amira menoleh kanan-kiri. Mendongakkan kepala untuk melihat lebih ke depan. Ke mana perginya perempuan tadi?

Amira berjalan lagi. Dia tertarik mencari perempuan yang mengenakan kain dan baju panjang berwarna cokelat tua itu. Kakinya menelusuri pekarangan yang ditumbuhi rerumputan. Juga daun-daun yang jatuh dari pohon Akasia. Ya, ada dua pohon Akasia yang tinggi menjulang di bagian belakang rumah.

Sshh ....

Amira langsung menoleh saat terdengar suara mendesis. Dia sangat takut ular. Namun, makhluk itu tak tampak. Amira berjalan dengan hati-hati. Ternyata, di belakang rumah ada gubuk kecil. Akan tetapi, sepertinya itu bukan tempat tinggal. Lalu, ke mana perginya nenek tadi?

Amira yakin, dia tak salah lihat. Masih penasaran, Amira mengelilingi gubuk kecil itu. Bahkan sempat melirik ke dalam, karena pintunya tak terkunci. Kosong. Ruang itu mungkin digunakan sebagai gudang oleh pemilik rumah yang lama.

Oleh karena tak menemukan wanita tadi, Amira kembali berjalan. Di sudut belakang, dia menemukan sebuah sumur. Tengkuknya meremang saat di sana. Amira lekas pergi dari sana.

Di depan, mobil pengangkut barang sudah tiba. Turut pula Bik Nur dan Pakde Loro bersama tim bersih-bersih lainnya yang sengaja dibayar oleh Pak Haki.

Rumah lalu dibersihkan beramai-ramai. Perabot juga sudah disusun. Rumah belum dicat, mereka terburu-buru pindah. Suasana terdengar riuh. Pakde Loro menyetel musik dangdut pada gadgetnya yang disambungkan dengan sound system.

****

Hari sudah sore, Amira masuk ke kamarnya setelah mandi. Jadi, rumah ini punya 3 kamar mandi. Satu di dalam kamar utama, satu di belakang, satu lagi di tengah, antara kamar Amira dan kamar Aan.

Sambil menunggu magrib tiba, Amira tiduran di atas peraduan. Nyaris terlelap, tiba-tiba dia merasa kedua kakinya seakan sedang di elus-elus.

Seketika mata Amira menatap ke ujung kaki. Tidak ada apa-apa, tetapi tengkuknya meremang. Semakin lama kian merinding. Dia memejamkan mata, demi menghilangkan pikiran negatif dan mencoba tertidur lagi.

Kriet ....

Amira membuka mata kembali. Jendela kamarnya terlihat terbuka. Aneh. Padahal seingatnya, tadi sudah dikunci rapat. Amira mendengkus. Dengan malas beringsut dan turun dari springbed yang membuat nyaman itu.

Amira menutup dan mengunci jendela, lalu keluar dari kamar. Perutnya sudah keroncongan, meminta jatah makan malam.

"Biik ...."

Amira memanggil asisten rumah tangga yang sudah mengabdi pada keluarganya sejak Miko baru lahir. Bik Nur tak menjawab, mungkin sedang salat Magrib. Amira masuk ke kamar Aan. Tidak ada orang di sana. Gadis berambut sepinggang itu memutar langkah, ke kamar utama. Pintu kamar diketuk berulang kali, tetapi tak dibuka.

Amira akhirnya jalan lagi ke dapur. Membuka tudung saji, lalu duduk di meja makan. Sudah tersedia ayam goreng dan sayur asem, serta sambal terasi. Gadis itu menaruh nasi dan lauk-pauk ke dalam piring. Perutnya terus bersuara dan terasa perih.

Dua sendok nasi sudah ditelan dengan penuh nafsu. Suapan ketiga, dia mendengar gadgetnya di kamar berteriak, tetapi dia tak peduli. Terus saja makan. Saat suapan kelima, lampu di dapur tiba-tiba berkedap-kedip, sejenak kemudian padam.

Amira menelan nasi yang terlanjur masuk ke dalam mulutnya. Dapur menjadi gelap. Dia lekas berjalan meninggalkan ruangan itu. Baru tiga langkah, terdengar benda pecah di belakangnya. Sepertinya piring yang tadi digunakannya telah jatuh sendiri ke lantai.

Amira menelan ludah. Tengkuknya luar biasa merinding. Napasnya tersengal menahan takut. Tak lama kemudian, terdengar suara benda lain yang jatuh di belakangnya. Sendok-sendok jatuh terpencar. Aamira menjerit.

"Toloong ....!"

Akan tetapi, tak ada satu orang pun yang mendekat. Amira lari hingga ke pintu depan. Sialnya, pintu itu malah tak bisa dibuka. Sepertinya dikunci dari luar.

Panik dan ketakutan yang memuncak, Amira menangis dan meromok di sudut ruang tamu. Sesaat kemudian, terdengar suara dari luar.

Pintu terbuka. Pak Haki, Bu Heni, Aan, Miko, Bik Nur, dan Pakde Loro baru pulang. Mereka terkejut menemukan Amira menangis.

"Loh, Mbak Amira kenapa?" Bik Nur yang duluan masuk langsung menghampiri majikannya.

"Amira takut, Bik." Gadis itu menangis sedih. "Kalian dari mana saja?" ujar Amira marah.

"Makanya jangan tidur sebelum Magrib! Digedor-gedor malah gak bangun!" seru Aan.

Amira menyesal sempat tertidur. Rupanya saat itu keluarganya pergi ke rumah tetangga yang berjarak dua puluh meter dari rumahnya.

"Ayo, kembali ke kamar," bujuk Bu Heni.

Amira menggeleng, "Tadi di dapur tiba-tiba lampunya mati. Lalu, piring dan sendok-sendok jatuh sendiri."

Miko memeluk Amira. Dia prihatin dengan kondisi kakak perempuannya.

Mendengar hal itu, Pak Haki lekas ke dapur. Aan membuntuti dari belakang. Anehnya, apa yang dikatakan Amira tidak terbukti. Lampu menyala dan semua barang masih di tempatnya. Termasuk piring yang masih berisi lauk-pauk.

"Amira, di sini tidak ada yang pecah," ujar Pak Haki.

Amira dituntun Bik Nur dan Miko ke dapur. Mata Amira membelalak, semua yang tadi dilihatnya telah memghilang.

"Ckck ... dasar penakut!" kata Aan mengejek Amira.

Pak Haki meninggalkan dapur dan masuk ke kamar utama. Aan pun pergi. Bik Nur membereskan piring nasi bekas makan Amira. Miko menggenggam tangan Amira dan berkata lembut, "Miko percaya sama Mbak."

Gadis itu sedih sekaligus jengkel. Firasatnya mengatakan, ada makhluk astral yang coba mempermainkannya.

Bu Heni masuk ke dalam kamar Amira. Dia ingin meminta handbody milik anak gadisnya. Namun, di sana dia menemukan jendela masih terbuka.

"Miraa ....!"

"Terima kasih, Miko." Amira mengecup kening adiknya, lalu bergegas ke kamarnya.

"Iya, Ma." Amira masuk ke kamar dan menemukan mamanya melotot.

"Jendela jangan dibiarkan terbuka. Sebelum Magrib harus segera ditutup," ujar Bu Heni.

Amira mengernyit. Dia yakin tadi telah menutup dan mengunci jendela ini, tapi kenapa masih terbuka juga?

***

Part 2

Amira, Miko, Aan, Pak Haki, dan Pakde Loro berangkat. Awalnya Pak Haki dan Pakde Loro mengantar tiga anaknya ke sekolah Teladan, tak jauh dari rumah mereka.

Pakde Loro kemudian mengantar Pak Haki ke kantor. Beliau kerja di kantor konsultan pembangunan, sebuah perusahaan swasta, sebagai senior konsultan di sana.

Usai mengantar majikannya, Pak Loro kembali ke rumah. Terlihat Bu Heni sedang kesusahan mengangkat jemuran pakaian.

Pakde Loro buru-buru memarkir kendaraan, lalu turun untuk membantu Bu Heni. Wanita ini masih sepupu jauhnya.

"Lah, itu tempat apa, ya, Mas?" Bu Heni menunjuk gubuk di belakang rumahnya.

"Kurang tahu juga, Dik. Sebentar Mas cek ke sana," jawab Pakde Loro.

Pakde Loro pergi mengecek gubuk tersebut. Mencoba membuka gagang pintu, tapi sepertinya terkunci. Setelah mengitari gubuk itu, lelaki ini kembali menemui Bu Heni.

"Kayaknya tempat nyimpan barang bekas, Dik. Nanti Mas mampiri kediaman pemilik rumah ini, abis jemput Haki," kata Pakde Loro sebelum berlalu.

Bu Heni mengangguk. Dia sibuk menjemur pakaian. Wanita ini boleh bersenang hati, sebab dulu dia tak punya tempat untuk menjemur pakaian dalam sekali pun.

Habis menjemur pakaian, Bu Heni melihat seorang perempuan separuh baya yang lewat di depan rumahnya. Dengan ramah, Bu Heni menyapa orang itu.

"Mau ke mana, Bu?" sapa Bu Heni.

Wanita yang ditegur seketika berhenti. Lalu, menoleh ke arahnya. Ekspresi wajah yang ditampakkan sungguh kaku. Pakaiannya ternyata juga kumal. Dia kemudian memandang dengan wajah pucat pada Bu Heni.

"Kalian tinggalkan rumah ini!" bentaknya.

Terang saja Bu Heni terperangah. Baru saja menempati rumah baru, dia sudah diusir. Aduhai ... siapa orang ini?

"Pergi! Tinggalkan rumah ini!" Wanita itu mengambil kerikil di jalan, lalu melempari Bu Heni.

Bu Heni lari terbirit-birit masuk ke dalam. Menutup pintu rapat-rapat. Membuat kaget Pakde Loro yang sedang mendengar siaran radio di ruang tamu saja.

"Ada orang gila, Mas ...," lirih Bu Heni kesusahan mengatur napas. Berlari di usia hampir 45 tahun membuatnya merasa setengah mati. Ember piranti mengangkat jemuran ditinggal begitu saja.

Pakde Loro mengintip dari jendela. Netranya mencari orang gila yang dimaksud.

"Mana? Kok gak ada dia?" Pakde Loro celingak-celinguk, lalu berbalik ke belakang. Menatap Bu Heni.

Bu Heni duduk di sofa. Mengatur napas yang kembang-kempis.

"Tadi ada di depan pagar, Mas," jawab Bu Heni.

Saat Pakde Loro menoleh, orang yang dimaksud sudah menempelkan wajah di jendela.

"Pergi dari rumah ini!" pekik orang gila itu. Untungnya dia tak memukul kaca jendela.

"Hwaa ....!" teriak Pakde Loro histeris. Lelaki ini ikut duduk di samping Bu Heni.

"Lah, kok, malah takut, sih, Mas? Cepetan suruh pergi orang itu!" seru Bu Heni ketakutan.

Bik Nur yang sedang memasak lari dari dapur ke ruang tamu sambil bertanya kebingungan, "Ada apa, Bu? Kok, ribut-ribut?"

"Nur, ada orang gila. Itu, di kaca!" ujar Pakde Loro menunjuk, sementara matanya terpejam. Bu Heni malah menutup wajah.

"Mana?" Bik Nur mengernyitkan dahinya yang sudah banyak keriput.

Pakde Loro melirik jendela, "Lah, ke mana tadi?"

Bik Nur membuka pintu. Di luar memang ada wanita yang hampir sebaya dengannya. Berdiri di samping, menatap ke arah kamar Amira. Sambil tersenyum dan bicara yang lembut, Bik Nur menyuruh orang itu pergi. Awalnya orang gila itu tak mau, tapi lama-lama dia pergi juga.

Bik Nur masuk ke dalam dan mengunci pintu. Pakde Loro berdiri dan berkata, "Sayangnya orang gila tadi perempuan. Kalau tidak, sudah kusikat dia!"

"Elah! Penakut gitu, kok!" Bu Heni dan Bik Nur berlalu ke belakang.

***

Satu minggu berada di rumah baru. Amira sering merasa barangnya bertukar tempat sendiri, tapi dia berupaya menenangkan diri. Miko sering bercerita tentang mimpi buruk, tetapi tak ada yang menanggapi, kecuali Amira.

Sebenarnya Aan juga pernah mengalami hal aneh. Akan tetapi, dia tak mau dicap sebagai penakut. Apalagi dia kerap kali mengejek kedua adiknya. Demikian juga dengan Bu Heni, Pak Haki, dan Pakde Loro. Mereka juga sudah mulai curiga akan keberadaan mkhluk astral di rumah itu.Hanya Bik Nur yang tak diganggu. Barangkali karena dia rajin salat dan puasa.

Suatu hari, hujan turun sangat deras di malam hari. Amira merasa gerah di kamarnya. Dia bolak-balik mengambil minum di dapur. Hingga Bik Nur yang sedang menonton televisi di ruang keluarga mengajaknya nonton bersama.

Pak Haki sedang ada proyek ke kabupaten Mukomuko, jaraknya sekitar delapan jam dari rumah. Pakde Loro ikut bersama Pak Haki.

Bu Heni gelisah di kamarnya. Entah mengapa. Seakan ada yang sedang mengawasinya. Oleh karena tak nyaman, dia keluar, duduk bersama di ruang keluarga.

Beberapa kali, televisi mengalami gangguan. Gambar tiba-tiba hilang, kadang suaranya malah membesar dan mengecil sendiri. Namun, mereka yang menonton tak merasa aneh, hingga ....

"Mamaa ....!" pekik Miko dari kamarnya. Bocah itu lari ketakutan. Menyusul kemudian Aan dengan wajah pucat.

Diubah oleh yundamassayu18 12-03-2020 22:22
ariefdias
jenggalasunyi
bukhorigan
bukhorigan dan 36 lainnya memberi reputasi
33
9.3K
54
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread41.6KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.