selvinofitasariAvatar border
TS
selvinofitasari
Pelakor Bermartabat
Bagian 1 & 2

By_Sylviana Mustofa emoticon-Betty (S)





"Jadi berapa hargamu semalam?" tanyaku dengan suara tajam pada lelaki yang berdiri kaku di belakangku.

"Maaf, Nyonya. Saya tidak bisa." Ia menolak dengan sopan. Aku berdiri memunggunginya menghadap ke jendela. Kulipat tangan di depan dada menahan malu tiada terkira.

Jujur saja, bukan hal sulit bagiku menemukan pria tampan dan kaya. Hanya saja sikap Fajar Suharjho ini sudah membuatku nyaman. Sikapnya yang santun dan caranya memperlakukan wanita sungguh membuat hati terenyuh dan jatuh cinta.

"Saya di sini hanya mencari nafkah. Saya memiliki istri dan anak di desa. Mohon kiranya Nyonya jangan berfikir yang berlebihan terhadap saya," ucapnya sopan.

Seribu rayuan yang kuucapkan untuknya tidak di gubris sama sekali. Padahal kancing kemeja ini nyaris semuanya kubuka.
Malu? Tentu saja, aku di tolak pria miskin sepertinya. Tapi, ini tantangan bagiku. Sikapnya yang seperti ini yang membuatku semakin penasaran dan suka terhadapnya.

"Keluar!" perintahku lantang. Kualihkan pandangan ke tempat lainnya.

"Sekali lagi, maafkan saya Nyonya." Terdengar Ia melangkah pergi.

Aku berbalik dan menghempaskan tubuh di pembaringan. Tangis sebisa mungkin kutahan. Aku Ratu Delisya, perempuan cantik kaya raya yang memiliki semuanya. Aku tidak boleh lemah, apalagi menangis hanya karena pria. Terlebih, hanya karena seorang pria miskin seperti Fajar. Dia hanya kerikil kecil yang harus kuhilangkan dari pikiran. Dia hanya sopir pribadi di rumah ini. Tidak lebih!

Kutarik napas dalam kemudian memejamkan mata.

***

Pagi hari, aku sudah rapi dan wangi. Dres berwarna ungu menjadi pilihan hari ini. Aku harus ke butik menemui tangan kananku. Ada beberapa pekerjaan yang harus kami bicarakan.

"Nyonya mau pake sepatu yang mana?" tanya Fera, asisten rumah tanggaku yang khusus mengurus busana dan pakaian yang kukenakan setiap hari.

"Yang baru beli dari Prancis kemarin, ya! Warna hitam," jawabku singkat.

Ia langsung berlalu mengambilkan sepatu yang kumaksud. Kemudian berjongkok memakaikannya. Setelah selesai aku memintanya keluar. Aku berputar beberapa kali di depan cermin, menatap kagum pada kesempurnaan tubuh dan wajah cantikku. Yakin sempurna aku melangkahkan kaki keluar, sebelumnya menyambar tas Gadino warna hitam milikku yang tergeletak di dalam lemari kaca khusus yang berjajar rapi di sana.

Perlahan dengan anggunnya aku menuruni anak tangga kemudian berjalan ke arah teras rumah. Bergegas Fajar membukakan pintu mobil, aku membuang muka. Teringat kejadian memalukan semalam. Sudah menunggu si Desi di dalam mobil, Ia sekertaris pribadiku yang mencatat semua jadwalku. Menemani kemanapun aku pergi.

"Nyonya kita akan ke butik kan?" tanya Fajar menatapku takut dari kaca spion di atas dashboard mobil.

Aku diam saja, membuang pandangan keluar jendela dan memakai kaca mata hitam. Kubiarkan Fajar menatap dari kaca spion itu menunggu jawaban.

"Iya, Mas Fajar. Kita ke butik, ya!" sahut Desi mewakili jawabanku. Bagus.

Setidaknya aku tidak harus bersusah payah menjawab pertanyaan tidak penting itu. Semua karyawan sudah menunggu di depan gedung dengan seragam batik yang rapi. Fajar membuka kan pintu mobil dengan sopan, tubuh dan wajahnya sedikit menunduk saat aku keluar. Lelaki payah. Mataku mengerling, malas.

Aku berjalan masuk dengan langkah tegap dan santai. Kulepas kaca mata sembari mendengarkan Nissa bercerita, sedangkan semua karyawan mengikuti dari belakang. Nissa tangan kananku menjelaskan kemajuan butik ini satu bulan belakangan. Kami berjalan bersisian. Ruangan di buka, aku masuk dan duduk perlahan di meja kerja yang sudah lama kutinggalkan. Semuanya kupercayakan pada Nissa. Gadis berusia matang yang sudah tiga tahun mengabdikan dirinya untukku.

"Jadi bagaimana Nyonya?" tanya Nissa sembari menyerahkan Map berwarna merah padaku.

Kubuka Map itu dan membacanya. Setelah menanda tanganinya kembali kuserahkan pada Nissa. "Terima saja," jawabku singkat. Kembali berdiri dan melangkah keluar. Semua orang menunduk sopan dan segan. Aku hanya tersenyum tipis membalasnya.

"Desi, bisakah aku pergi sendiri?" tanyaku pada Desi yang hendak masuk ke dalam mobil.

"Tapi, Nyonya."

"Aku tidak apa-apa. Bukankah jadwal ku hari ini hanya ini? Atau ada yang lain?"

"Sore ada bertemu rekan Bisnis di restoran Jepang," jawabnya.

"Kalau begitu, nanti sore Fajar menjemputmu ke rumah."

Desi tidak berani membantah, Ia menarik diri dari mobil kemudian menutup pintu itu perlahan. Kuamati wajah Fajar yang agak kaku saat kami hanya berdua dalam mobil.

"Nyonya, kita mau kemana?"

"Pantai!" jawabku singkat.

Mobil melesat dengan santai menuju pantai yang kumaksud. Cukup jauh, dua jam perjalanan menuju ke sana. Entah mengapa aku sangat ingin melihat pantai, suasananya yang sejuk dan nyaman sangat membuat hati tentram.

"Nyonya, kita sudah sampai," suara lembut Fajar membangunkanku. Aku mengucek mata beberapa kali kemudian turun saat Fajar membukakan pintu.

Aku berjalan diiringi langkah kaki Fajar di belakang. Sepatu kutinggalkan dalam mobil dan memilih bertelanjang kaki melewati pasir putih. Ada banyak pengunjung di sini. Ombak menyapu pantai dengan sangat apik. Suara deru ombaknya pun sangat kunanti.

Setelah berjalan cukup jauh, aku duduk di bibir pantai. Menopang tubuh dengan kedua telapak tangan yang menyangga sedikit menjorok ke belakang.

"Nyonya."

Aku diam saja, Fajar melipat tangannya di atas lutut sembari manatap luasnya pantai.

"Saya jadi rindu keluarga, istri dan anak saya di kampung halaman. Jika suatu hari bisa mengajak mereka ke sini, pasti mereka akan sangat bahagia," ucapnya sedikit tersenyum. Ada secercah harapan di sorot mata itu.

Sial. Aku mengumpat, menyembunyikan gurat kekecewaan di wajahku di hadapannya. Apakah dia sengaja ingin membuat hatiku panas?

Hening. Tak kutanggapi celotehnya tentang kerinduan pada keluarganya di desa.

"Awwwww!" jeritku mengangkat tangan. Telapak tangaku seperti tertusuk sesuatu.

"Ada apa nyonya? Coba saya lihat." Fajar mengambil tanganku dan dengan seksama memeriksanya. Ada Duri kecil yang menempel di sana, diambilnya duri itu dengan sangat hati-hati kemudian meniup telapak tanganku perlahan.

Aku terkesima, kembali hanyut dengan sikap lembutnya. Perhatiannya. Tidak ada pria sebaik dia di dunia ini. Hanya almarhum ayahku yang pernah bersikap semanis Fajar. Aku kembali menatap wajahnya yang masih sibuk mengelus dan meniup telapak tangaku dengan tulus.

Kutarik tanganku dari genggamannya secara tiba-tiba yang membuatnya sedikit terkejut dengan sikapku barusan. Matanya menatap wajahku nanar.

"Berhenti bersikap seperti itu terhadapku!"
Kemudian kembali menatap luasnya pantai di ujung sana dengan mulut mengerucut sebal.

"Maaf, Nyonya jika saya salah."

Kenapa dia harus bicara, aku sedang tidak ingin mendengarnya berkata apa pun itu.

"Nyonya."

"Diam! Aku tidak memintamu bicara," sungutku kesal tanpa menoleh ke arahnya. Entahlah, apakah sikapku ini benar. Aku hanya cemburu mendengar celotehnya mengenai keluarga kecilnya.

Hening. Hanya suara deburan ombak dan anak kecil yang berlarian bersama keluarganya di sekitar kami.

"Nyonya, boleh saya bertanya?"

"Apa?"

"Kenapa Nyonya di panggil dengan sebutan Nyonya, bukan Nona. Padahal setau saya Nyonya masih single."

"Apa perlu aku menjawab pertanyaan tidak berbobot seperti itu?"

"Tidak, Nyonya."

"Hubungan kita hanya sebatas sopir dan majikan. Jangan berpikir lebih dari itu, kalaupun aku mau bicara denganmu itu hanya hal-hal sewajarnya saja!" ucapku masih menatap deburan ombak di depan mata.

Aku tidak sanggup jika harus menatap ke dalam bola matanya, takut kembali terlena dan kembali jatuh ke jurang yang dalam saat menyadari dia hanya ada dalam angan.

Sebutan Nyonya sudah melekat dalam diriku. Sejak pertunganku batal sebelum kedua orang tuaku meninggal kecelakaan pesawat waktu itu. Aku tau pertunangan itu hanya untuk menyatukan dua perusahaan agar menjadi lebih besar, bukan untuk menyatukan dua hati yang saling mencintai.

Hasilnya, dua hari setelah acara pertunangan. Aku memergoki Holand minum dan tidur dengan wanita lain. Sejak saat itu aku menutup hatiku untuk pria kaya mana pun. Kalau pun ada yang mendekat itu bukan karena ketulusan cinta mereka, tapi hanya karena harta.

"Nyonya."

"Apa lagi?" bentakku kesal.

"Sudah sore, saatnya kita pulang. Bukankah, Nyonya ada pertemuan dengan rekan bisnis di restoran Jepang?"

Aku baru ingat, bergegas aku berdiri. Membersihkan sisa pasir yang masih menempel di bagian belakang dressku dengan tangan. Lalu begitu saja berjalan pergi meninggalkan Fajar yang tampak terburu-buru menyusul langkahku ke arah mobil.

***

"Bik Darmiii!!" teriakku pagi itu saat bersiap sarapan di meja.

Wanita yang sudah berpuluh tahun mengabdikan tenaganya pada keluargaku ini langsung berlari mendekat.

"Kenapa Nyonya?"

"Panggil semua orang ke sini!" Bi Darmi memencet tombol darurat sehingga semua pekerja yang ada di rumah ini berkumpul di meja makan.

Sepuluh orang berdiri rapi di samping meja makan yang panjang, meja makan ini seharusnya cukup untuk makan dua sampai tiga keluarga. Tapi, setiap hari aku selalu sendirian makan di sini, menyedihkan.

"Akhir-akhir ini kerja kalian tidak becus! Bi Darmi, kenapa bisa seperti ini?" Bi Darmi kebingungan, setelah menoleh ke kiri dan kanan Ia tertunduk lesu.

"Bi Darmi Kepala Asisten Rumah Tangga di rumah ini. Apa Bi Darmi jarang memeriksa pekerjaan mereka?" kataku lantang.

"Kamu, Pak Sopian! Lihat mobil yang biasa Bapak bawa. Kotor! Seperti tidak pernah di cuci, jangan males! Cuci mobil setiap hari." Pak Sopian meminta maaf.

"Jesica! Masakanmu akhir-akhir ini terlalu pedas! Kamu lupa saya memiliki riwayat penyakit asam lambung? Atau kamu sengaja?" bentakku melotot ke arahnya. Wanita berusaha 32 tahun itu menunduk dengan mata merah, takut di pecat.

"Yuli! Bagaimana kamu mencuci baju ini?" Aku menunjuk blazer warna putih yang kupakai. "Warna baju ini agak kekuningan. Baunya juga sedikit apek!" Dia menunduk mengucapkan kata maaf.

"Wilda! Lihat meja makan ini!" Aku membuka sedikit alasnya. "Meja ini berdebu! Bagaimana kalau debu dan kuman pada meja ini masuk ke makanan yang aku makan, dan aku jatuh sakit? Mau kamu tanggung jawab?" Bentakku sekali lagi. Dia mengatupkan kedua tangan di depan dada meminta maaf dengan linangan air mata.

"Pak Joko! lihat tanaman di depan itu, banyak yang layu! Rumputnya sudah mulai panjang! Urusin, jangan males!" teriakku pada tukang kebun.

"Begitu juga yang lainnya. Jangan abaikan pekerjaan kalian. Aku mau saat aku pulang nanti semua sudah beres!"

Brakk!!

Aku berdiri dan menggebrak meja dengan dua telapak tangan.

"Baik Nyonya... " jawab mereka serentak.

Aku melangkah meninggalkan ruang makan menuju ke depan. Sampai di depan, Fajar sudah membukakan pintu. Aku tidak langsung masuk ke mobil, berdiri di sisinya dan memperhatikan penampilannya sekilas.

"Ada apa Nyonya?" tanyanya.

"Pak Sopiannnnn!" teriakku yang membuat Pak Sopian berlari mendekat dari dalam rumah.

"Aku maunya sama Bapak, nggak mau sama Fajar."

Fajar yang mendengar itu langsung mendorong tubuhku masuk ke mobil dan menutup pintu dengan cepat. Kemudian sedikit berlari memutari kepala mobil dan duduk di belakang kemudi.

"Kamu apa-apaan? Saya mau sama Pak Sopian!" bentakku yang tak di pedulikannya.

Langsung saja Fajar menjalan mobil meninggalkan halaman rumah yang luas. Sementara Desi hanya diam tidak berani membela siapa-siapa. Aku kesal di buatnya. Aku masih sakit hati dengannya kemarin di pantai.

"Nyonya, saya mohon. Berhenti bersikap kekanak kanakan. Oma menitipkan Nyonya sama saya. Dia percaya sepenuhnya sama saya. Jadi saya tidak mungkin lari dari tanggung jawab saya, membiarkan Nyonya bersama Pak Sopian."

Aku mendengkus kesal.

***

Setelah melewati serangkaian pertemuan akhirnya kami pulang. Hanya ada hening di antara kami bertiga.

"Aku belum ingin pulang," kataku tiba-tiba malam itu setelah mengantar Desi.

"Lalu kita mau ke mana Nyonya?" tanya Fajar.

"Kita? Antarkan saja saya ke diskotik. Saya ingin bertemu salah seorang teman di sana." pintaku santai sambil memainkan gawai di tangan.

"Jangan ke Diskotik Nyonya."

"Siapa kamu ngatur-ngatur saya? Urusin saja anak dan istrimu di rumah!" Kataku santai sekilas melirik nya dari kaca di atas dashboard mobil ini.

Fajar diam saja. Ia mengantarku sampai di depan diskotik, setelah turun dari mobil aku memintanya pulang lebih dulu.

"Pulang sana!" Perintahku.

Baru saja berjalan beberapa langkah Fajar menghalangiku. Aku menatap wajahnya sinis kemudian mencoba minggir dari tubuhnya yang tegap, mencoba mencari celah untuk jalan maju ke depan. Tapi sia-sia, dia terus saja menghalangi langkah kakiku.

"Minggir!" teriakku dengan mata melotot.

"Nyonya ayo kita pulang," ucapnya dengan nada yang sangat lembut.

"Aku bilang minggir!" teriakku lebih kencang.

"Nyonya, tolong jangan paksa saya melakukan hal-hal nekat."

"Awas ya kalau kamu berani, cukup tadi pagi kamu mendorong saya masuk ke mobil dengan paksa." Kataku menunjuk wajahnya. "Minggir!" Teriakku mendorong tubuhnya. Akhirnya dia minggir.

Aku tersenyum berhasil melewati tubuh tegap itu, kemudian kembali berjalan hendak masuk ke diskotik. Tapi tiba -tiba Fajar terdengar sedikit berlari mendekatiku. Tanpa kusangka dia membopong tubuhku seperti mengangkat sekarung beras di bahunya.

"Lepaskan saya sopir bodoh! Lepaskan!" kataku berteriak memukul-mukul punggungnya bagian belakang.

"Maafkan saya Nyonya saya terpaksa melakukan ini." ucapnya seraya memasukkan tubuhku ke mobil.

Ish! Sial! Aku memukul jok yang ada di depanku.

"Lihat saja, besok kamu saya pecat Fajar, saya pecat!" teriakku nyaring tepat di telinganya. Pria di hadapanku ini terlihat santai mengenakan headset di telinga. Sedangkan aku terus nyerocos panjang lebar.

Sampai di depan sebuah Masjid Fajar menghentikan mobilnya.

"Nyonya, saya shalat Isya sebentar, ya. Mohon kiranya Nyonya mau menunggu. Atau mau ikut sholat bersama saya?" Aku melirik sinis tanpa menjawab.

Fajar tersenyum, membuka pintu mobil dan turun. Dengan santai Ia berjalan ke arah Masjid. Fajar menyapa orang-orang yang di temuinya di sana. Dengan seksama aku memperhatikan gerak-gerik nya dari dalam sini. Terlihat Ia sudah berjalan masuk ke masjid setelah mengambil air wudhu. Kemudian dengan khusyuknya melakukan shalat.

Kenapa semakin hari dia semakin memesona. Malam itu, sebenarnya aku tidak serius ingin mengajaknya tidur. Aku hanya ingin melihat seberapa kuat iman pada dirinya. Ternyata dia pria yang sangat luar biasa. Aku hanya penasaran, kami bersama setiap saat, sikapnya juga lembut dan perhatian terhadapku. Aku pikir dia menyukaiku. Ternyata aku salah.

"Nyonya."

"Hehhh," sahutku reflek. Sapaannya membuyarkan lamunanku.

"Kita pulang, ya." Aku diam saja, menyelipkan rambut ke belakang telinga dan membuang pandangan ke luar jendela.

Mobil berjalan perlahan meninggalkan halaman masjid. Sesekali kulirik Fajar dari kaca spion. Dia tampak santai, lalu aku akan gugup jika Ia mengetahui aku mencuri pandang. Seperti pencuri yang tertangkap basah.

"Nyonya, apa ada yang ingin di bicarakan?" tanyanya.

"Hemm hemmm, mengenai malam itu. Aku tidak serius ingin tidur denganmu. Ternyata imanmu kuat juga," sahutku datar. Fajar mengulum senyum.

Sial. Hanya seperti itu? Mengapa dia tidak menjawab. Membuatku malu saja.

"Hey, Pak sopir!" bentakku. "Beraninya kamu tidak merespon bicaraku?"

"Saya tau Nyonya. Pria mana yang tidak tergoda dengan kemolekan dan kecantikan tubuh Nyonya. Hanya saja, Ibu saya pernah berpesan. Jika ada hal-hal buruk yang mengusik pikiran cukup ingat wajahnya. Dengan seperti itu hal buruk akan pergi dengan sendirinya. Jadi saat itu, yang ada dalam pikiran dan hati saya hanya Ibu saya, untuk mengontrol hal-hal yang tidak baik."

"Jadi maksud kamu? Saya hal buruk itu?"

"Maaf bukan seperti itu, maksud saya nafsu yang menguasi hati hal buruknya."

"Oh," sahutku singkat.

'Ternyata dia mengakui kemolekan dan kecantikan tubuhku' aku mengulum senyum, sekilas menatap matanya yang fokus melihat jalanan dari kaca spion, kemudian berpura-pura melihat keluar jendela saat Ia membalas tatapanku.

***

Malam itu, aku memutuskan untuk turun ke dapur karena merasa haus. Sebenarnya aku bisa saja menelpon salah satu ART di rumah ini. Tapi, lagi males teriak-teriak, lalu aku putuskan turun sendiri.

Dengan mengenakan piyama tidur berwarna silver dan sandal tidur berhiaskan boneka kepala kucing, telapak kaki ini terlihat sangat menggemaskan. Rumah tampak sepi, mungkin karena jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.

Saat melewati kamar Pak Sopian dan Fajar samar-samar aku seperti mendengar suara orang mengobrol. Karena penasaran aku menempelkan telinga ke daun pintu. Aku melewati kamar sopir jika ke dapur karena kamar mereka berada di tengah-tengah ruang keluarga dan dapur.

"Uang yang kemarin kurang? Dek, Mas belum gajian. Nanti Mas coba cari kerja tambahan, ya!"

Aku yakin itu suara Fajar, apa gaji yang selama ini kuberikan kurang? Lagi aku berusaha mendengar percakapannya.

"Oh obat-obatan Ibu abis? Nanti Mas usahakan,ya."

Sepertinya dia menelpon istrinya. Sudah jam segini ia belum tidur. Dia lupa besok pagi-pagi sekali mau mengantarku ke gedung kesenian. Baru saja aku berbalik badan hendak kembali ke dapur wajah seseorang mengagetkanku. Ia sudah berdiri di belakangku ikut melakukan hal yang sama, ikut menguping.

"Ya ampun! Pak Sopian, ngagetin aja!" bisikku takut di dengar Fajar.

"Ada apa Nyonya?" Aku mengamit tangan Pak Sopian ke dapur kemudian bertanya banyak hal seputar Fajar.

"Pak sopian coba ceritakan sedikit mengenai keluarga Fajar," pintaku karena Pak Sopian adalah orang yang membawa Fajar kerja ke sini satu tahun yang lalu.

"Jadi Nyonya, sebenarnya saya juga bingung dengan rumah tangga si Fajar itu. Dia dulu kerja sebagai TKI di Malaysia. Suatu hari dia mendadak pulang untuk menikah dengan Lestari, gadis yang kini jadi istrinya. Yang mengagetkan, Lestari melahirkan tujuh bulan setelah mereka menikah. Jadi saya bisa mengambil kesimpulan kalau Fajar pulang hanya untuk menyelamatkan nama Lestari karena hamil di luar nikah."

Aku serius mendengar penjelasan Pak Sopian.

"Jadi maksud Bapak? Itu bukan anaknya Fajar?"

"Bisa jadi seperti itu Nyonya. Terus saya mendengar isu kalau mereka juga tidur di kamar yang berbeda jika Fajar pulang ke desa? Lestari juga yang merawat Ibunya Fajar di rumah yang menderita stroke Nyonya."

"Jadi Ibunya Fajar sakit stroke?" Pak Sopian mengangguk. "Kenapa mereka tidur terpisah?" Kali ini Pak Sopian hanya mengangkat bahu.

Aku jadi penasaran dengan cerita Pak Sopian. Sebenarnya Lestari itu siapa? Mengapa Fajar mau melakukan hal seperti itu.



Bersambung ~
emoticon-Kissemoticon-Kiss
Diubah oleh selvinofitasari 05-03-2020 22:05
nurulnadlifa
NadarNadz
nona212
nona212 dan 12 lainnya memberi reputasi
13
7K
61
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread41.6KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.