Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

Ā© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

selvinofitasariAvatar border
TS
selvinofitasari
Menantu Idaman
Menantu_Idaman

šŸ’–šŸ’–šŸ’–


Menantu Idaman

"Vie, lusa hari raya idul fitri. Ibu sedih nggak bisa buatin Ayah sama Kakak kue. Bisakah kamu bantu Ibu membuatkannya?" tanya Ibu sembari menggenggam jemari ini erat.

Namanya Bu Endang, Ibu dari teman akrabku Rara. Sejak aku sekolah kelas dua SMA, aku sudah akrab dengannya, maskeran bersama dan masak Sama-sama. Baginya aku istimewa, berbeda dari teman Rara lainnya, dia selalu bilang kalau aku adalah menantu idaman. Setiap ada kesempatan, Ibu akan menggodaku supaya mau dengan Kak Vama, anak sulungnya, kakaknya Rara.

Namun, entah mengapa hatiku belum terketuk untuk menuruti kemauannya.

Aku duduk di sisi ranjang, menghapus air mata Ibu lembut. Sudah satu bulan beliau sakit, aku baru sempat menjenguknya karena banyaknya pekerjaan di kantor.

"Ibu, Viena akan buatin kue untuk Ayah dan Kakak. Vie berjanji." Aku tersenyum lembut, Ibu semakin terisak sampai bahunya berguncang. Terlihat dari kaca lemari Kak Vama memperhatikan kami berdua.

Kak Vama, sangat dekat dengan Ibu. Beda dengan Rara, ia lebih dekat dengan Ayah. Rumah ini sudah seperti rumahku sendiri, aku biasa tidur di sini, membantu Ibu mencuci dan memasak. Kami bahkan buat kue dan maskeran berdua. Tidak ada jarak, Ibu sering mengajari seputar kecantikan. Karena selain seorang guru, Ibu juga membuka salon sebagai selingan.

Aku mengenal Rara sejak kelas dua SMA, anak yang riang dan berwajah Imut. Tubuhnya kecil seperti anak SMP, tapi dia berwajah cantik. Pertama kali kenal Ibu, saat aku dan beberapa teman lainnya menginap di sana. Ibu, mudah dekat dengan siapa saja. Sejak tamat sekolah aku jarang mampir ke rumah ini karena di sibukkan dengan pekerjaan.

"Terima kasih banyak, Vie... Anak Ibu, calon menantu idaman Ibu." Ibu kembali meremas jemariku, beberapa kali kuusap air mata yang mengintip dari ujung mata.

Sedih rasanya melihat orang yang kita sayang, sakit terbaring tak berdaya. Aku beranjak saat aku yakin Ibu terlelap. Berbalik dan hendak keluar dari kamar. Namun, langkah terhenti saat melihat Kak Vama masih berdiri di sana. Mulutnya terkatup rapat, senyum tipis tergambar jelas di sana. Aku membalas senyumnya, kemudian ia berbalik dan masuk ke kamarnya.

Jujur, entah ini rasa apa, tapi setiap kali Ibu atau pun Ayah menggoda, menyebutku menantu idaman ada yang berdesir di dalam sini. Setelah Kak Vama masuk ke kamarnya, aku melangkah ke luar kamar, menuju ruang tamu. Terlihat Rara sedang duduk memainkan ponselnya.

"Anak Ayah, udah lihat Ibu?" tanya Ayah tiba-tiba masuk dari pintu depan. Aku tersenyum, mendekat dan langsung mencium punggung tangannya.

"Sudah, Yah," jawabku singkat.

"Anak Ayah sibuk banget sekarang, ya. Sampe jarang main ke sini?" Aku nyengir kuda. Rara melihat ke arah kami berdua.

"Sombong, Yah. Dia itu sekarang. Nggak inget lagi sama kita," selorohnya kembali manatap layar gawai di tangan.

"Maaf, Yah. Vie kerja setiap hari. Pulang sore, jadi nggak sempet main. He he he he," jawabku.

Ayah mengajak duduk di ruang tamu, di dekat Rara. Diceritakannya masalah Ibu. Awal mula Ibu terkena sakit lambung sampai terkapar seperti sekarang. Aku mendengarkan dengan seksama. Ada gurat kesedihan di wajah Ayah dan Rara.

"Jadi begitu, Vie. Ibu sudah di bawa ke mana-mana, kata dokter magh biasa." Aku mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.

Kuceritakan permintaan Ibu, ingin di buatkan kue untuk lebaran besok. Ayah memegang tanganku. Mengucapkan banyak terima kasih karena aku mau membantu Ibu. Bagaimana aku bisa menolak permohonan wanita sebaik Ibu, ia sudah kuanggap seperti Ibuku sendiri. Begitupun keluarga ini, sudah seperti keluargaku sendiri.

"Jangan lupa, buat kuenya yang enak!" Rara mengingatkan.

"Iya iya ..., " sahutku sembari memakai helm di kepala, hendak pulang.

Ia mengantarku sampai di depan rumah. Perlahan motor matic beat berwarna putih ini melaju dengan lamban meninggalkan pekarangan rumahnya.

***

"Assalamu'alaikum." Aku mengucap salam hendak masuk ke rumah. Kulepas sepatu dan meletakkannya di depan pintu.

"Wa'alaikumsalam. Baru pulang, Vie?" tanya Mak saat aku akan masuk ke kamar. Mak mengekorku dari belakang, ikut masuk ke kamar.

"Iya, Mak."

"Kok malam? Banyak kerjaan di kantor?"

"Sebenarnya pulang dari sore, tapi jenguk Ibu Rara dulu, jadi pulangnya malem."

"Sakit apa ibunya Rara?" tanya Mak yang tampak kaget. Ia duduk di sisi ranjang menunggu jawaban.

"Sakit lambung, Mak." Aku menggantung tas di belakang pintu kamar dan menyambar handuk berwarna pink.

Aku duduk di samping Mak, menceritakan Ibu Endang yang meminta di buatkan kue. Mak mendukungku, meskipun Mak tidak terlalu dekat dengan Bu Endang, tapi Mak kenal dengan Rara yang sering main ke rumah ini.

"Iya, kamu buatin aja, ya. Kasihan ... " Itu jawaban Mak malam itu.

***

Hari ini kerja libur, karena besok akan menyambut hari raya Idul Fitri. Mak sibuk memasak berbagai macam masakan, dari rendang, ketupat, sambal, opor ayam dan lain sebagainya. Aku sibuk membuat kue brownies untuk rumah ini dan Ibu Endang. Tepat pukul 15.30 aku selesai membuat kue, kuhias secantik mungkin kue ini sesuai permintaan Ibu Endang.

'Nanti malam, akan kuantar kue ini ke rumah Rara, ibu pasti senang.' pikirku.

Malam, aku meluncur ke rumah Rara sendirian mengendarai sepeda motor. Pintu rumah terbuka, aku langsung masuk ke dalam. Tampak Rara dan Kak Vama berdiri di depan pintu kamar Ibu. Aku mendekat menyentuh pundak Rara, ia menoleh dan langsung memelukku, terisak.

"Ra, Ibu kenapa?" tanyaku pada Rara.

Kulihat ada dokter yang sedang memeriksa keadaan Ibu. Wajah Ibu terlihat pucat, dadanya kembang kempis seperti susah bernapas.

"Kamu sabar, ya!" pesanku padanya.

Terlihat Ayah dengan setia duduk di sisi Ibu, mengusap-usap kening Ibu sambil melantunkan ayat suci Al-Quran.

"Ini kuenya." Rara mengambil kuenya dan meletakkannya dalam kulkas setelah itu kami menuju ruang tamu dan mengobrol di sana.

Kata Rara, siang tadi Ibu tiba-tiba membuat tiga cangkir teh, Ibu bilang ada tamu yang datang. Padahal tidak ada siapa-siapa, saat di ingatkan bahwa tak ada tamu siapapun yang datang, Ibu marah. Setelah dari kejadian itu Ibu pingsan.

Takbir di luar sana terdengar menggema, karena rumah Rara berada tepat di depan Masjid besar di kota ini.

"Aku takut, Vie. Takut banget, sumpah!" Rara semakin terisak.

"Kamu harus positif thinking, percaya... Ibu akan baik-baik saja." Rara mengangguk, menghapus air matanya. Setelah itu aku memberikan banyak nasehat padanya.

***

Pagi-pagi sekali setelah shalat subuh, aku membersihkan rumah. Masih terdengar jelas suara gema takbir berkumandang. Mak sibuk menyusun toples kue kering di atas meja, sedang aku sibuk menggosok baju kami berdua untuk shalat Eid nanti. Bahagia sekali rasanya menyambut hari kemenangan bagi umat Muslim di seluruh dunia. Setelah melewati puasa selama 30 hari akhirnya hari kemenangan ini tiba.

Dret dret dret ...

Ponsel bergetar, aku meraihnya dan mengangkat telpon dari Emi, salah satu sahabat karibku selain Rara.

"Vie, kamu sudah tau?"

"Apa Mi?" tanyaku masih sibuk menggosok baju dengan sebelah tangan.

"Bu Endang ... "

Aku berdiri, menggantung baju di paku dinding.

"Iya, Bu Endang sakit kan? Aku dari sana semalem," sahutku sekenanya.

"Vie, Bu Endang ... meninggal."

Serasa ada batu yang menghujam jantung, aku limbung. Ponsel jatuh ke lantai, aku terduduk di sisi ranjang. Pandanganku nanar menatap sekeliling ruang kamar. Dadaku sesak, serpihan kaca siap tumpah.

Kutarik napas beberapa kali berusaha memberikan ruang yang kian sempit pada dada.

"Innalillahiwainnailahirojiunn ... " Aku meringis, memejamkan mata kuat-kuat sambil menggelengkan kepala. Kuharap semua ini hanya mimpi, hanya mimpi.

šŸ’–šŸ’–šŸ’–šŸ’

Satu tahun sebelumnya ...

Mak bukan termsuk orang tua yang suka mengekang anaknya. Dia percaya anak gadisnya tidak akan macam-macam dan jujur serta apa adanya. Sedari kecil aku terbiasa hidup mandiri, hanya sekolah dasar ibuku mengantar ke sekolah untuk mendaftar. Sisanya aku selalu sendirian, kecuali saat kelulusan, Mak kembali hadir untuk mengambil pengumuman kelulusan.

Masuk SMP, tetap sama. Aku mendaftar sendiri, sebisaku, di temani orang tua dari teman yang sekaligus mendaftarkan anaknya. Jika di tanya guru, di mana orang tuanya, akan kukatakan orang tuaku sibuk mencari uang.

Tamat SMP, aku kembali di terima di SMA negeri. Beruntung sekali, di saat semua siswa susah masuk ke sekolah negeri, bahkan sampai ada beberapa anak orang kaya yang titip kursi untuk anaknya, aku melenggang dengan santai lolos ke sana dengan nilai sempurna.

Padahal jujur saja, Mak bahkan SD pun tak tuntas. Aku selalu belajar sendirian, meskipun tidak setiap hari aku belajar, tapi entah mengapa ketika ada ujian dan aku bangun tengah malam untuk belajar, semua isi buku seperti menempel di otak. Aku bisa mengerjakan semuanya dengan mudah.

"Dek, orang tuanya mana?" kata salah seorang guru mendekatiku. Semua murid baru di dampingi Bapak atau Ibu mereka untuk mendaftar SMA, sedangkan aku seperti biasa, sendirian.

"Nggak ikut, Pak," sahutku senyum terpaksa.

Bapak itu memperhatikanku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Lalu memanggil salah seorang guru untuk mendampingi. Dia berbicara pada Ibu guru itu.

"Anak ini datang sendiri, nggak ada walinya. Tolong di bantu pendaftarannya, kalau saja ada yang ingin di tanyakan." Ibu itu mengangguk, duduk di sampingku.

"Foto kopi KTP orang tua bawa?" tanyanya. Aku mengangguk samar. Kemudian ia memintaku mengeluarkan dan mengisi biodata.

Selesai aku boleh pulang. Sejak SD aku terbiasa menabung, dulu aku menabung uang recehan di kantung es lilin setiap harinya. Uang sakuku kusimpan semua di sana. Beranjak SMP aku menabung memakai bambu yang panjang, yang di gantung di sudut ruangan. Nah, masuk SMA aku terbiasa menabung di bawah lipatan baju.

Aku terbiasa puasa senin dan kamis. Uang saku selalu kusimpan, kalau ada bayaran sekolah, aku hanya minta kekurangannya saja pada Mak. Kadang, aku membantu mak mencuci pakaian di rumah tetangga jika bayaran sekolah lagi banyak.

Kelas dua SMA aku mengenal Rara dan teman lainnya. Seperti Rosy, Emi, Putri dan Risty. Kami tergabung dalam satu geng yang cukup menonjol di sekolah. Aku selalu terpilih mengikuti Olimpiade ekonomi akuntasi di sekolah, meski tidak selalu menang, tapi aku tetap senang bisa berpartisipasi di lomba itu.

"Eh nanti malam Kak Vama ultah, Ibu berencana membuat kue," cerita Rara siang itu di sekolah.

Semua sibuk memikirkan akan tidur di sana. Hanya aku yang santai.

"Woi! Mau ikut nggak?" tanya Rosy yang mengagetkanku.

"Aku ngikut aja," sahutku santai meletakkan kepala di atas meja kelas.

Riuh keributan tak kuhiraukan. Aku mengantuk, hanya mau tidur, semalam ada anak anggota DPR yang mencoba menggodaku. Aku bahkan pernah menamparnya karena dia berterus terang ingin mengajakku tidur bersama.

Hah! Dia pikir dia siapa? Meski tampangnya oke, bawaannya kendaraan roda empat jika kerumah, banyak uang, dia pikir aku akan tergoda. Dasar pria mesum!

"Kamu keliatan lesu banget, Vie?" tanya Risty.

"Lagi males!" sahutku seadanya.

"Nanti malam Kak Vama ultah loh."

"Terus?"

"Kamu nggak mikir mau kasih apa gitu?" seloroh nya menatap wajahku lekat. Aku hanya tersenyum tipis kemudian berbisik ke telinganya.

"Aku dan Ibu sudah janjian mau bikinin dia kue," bisikku. Mata Risty membulat tidak percaya.

"Sumpah loe?" tanyanya sedikit terpekik.

Aku hanya menaikkan alis sebagai jawaban lalu kembali merebahkan kepala ke meja.

***

Di rumah Rara saat semua teman sibuk berpose di depan kamera, aku dan Ibu sibuk di dapur membuat kue ultah. Ibu hanya bisa membuat kue baking sedangkan aku terbiasa membuat dan menghias kue untuk ulang tahun. Malam tiba, kami semua sudah bersiap, aku memakai baju tidur motif polkadot berwarna putih bintik hitam.

Ayah dan Ibu memaksaku membawa kue ke depan saat nanti Kak Vama pulang bekerja. Terdengar pintu di buka, lampu di matikan, kak Vama duduk di sofa membuka sepatu dan dasi yang melingkar di lehernya. Ibu dan Ayah terus mendorongku supaya aku maju duluan ke depan. Sedang teman yang lainnya tertawa berbisik memperhatikan di belakang.

"Selamat ulang tahun, selamat ulang tahun, selamat hari ulang tahun. Semoga panjang umur." Mereka semua bernyanyi, aku berada di tengah-tengah mereka menenteng kue ultah berwarna putih buatanku sendiri. Ada lilin angka 21 di kue itu. Ibu sedikit mendorong pinggangku supaya duduk di samping Kak Vama.

Kini aku berada tepat di sampingnya, hanya temaram lampu lilin remang-remang sebagai penerangan. Aku hanya menunduk malu, sedang yang lainnya bersorak meminta kak Vama meniup lilinnya. Kak Vama lama memperhatikan wajahku.

"Vie, kita tiup sama-sama," pintanya penuh harap.

Jujur aku kikuk berada di situasi ini. Ia mengangguk perlahan memberi aba-aba supaya meniup lilinya.
Aku menurut, mendekatkan wajah ke arah kue begitu pun dia, dan perlahan pula kami meniup lilin berdua. Semua kembali bersorak saat cahaya lilin padam.

Ibu dan Ayah kembali memaksaku memotong dan menyuapkannya kuenya pada Kak Vama. Entahlah aku merasa lucu berada di posisi ini. Mengapa mereka begitu gencar menjodohkan aku dan Kak Vama.

"Vie, makasih. Kuenya," ucap Kak Vama setelah semua berakhir. Aku hanya mengulum senyum kemudian menyusul anak lainnya masuk ke kamar Rara.

----

Bersambung ~



---

Bersambung ~
nurulnadlifa
NadarNadz
nona212
nona212 dan 7 lainnya memberi reputasi
8
823
2
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThreadā€¢43KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
Ā© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.