Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

sukevinAvatar border
TS
sukevin
ROMANSA PUTIH sebuah Komedi Horor Romantis
Romansa Putih

Sore mulai memerahkan warna langit Dukuh Trowulan, daerah kecil di lutut bukit Trawas, tepian Mojokerto. Semerbak merah terlihat lebih tebal di ujung barat bukit Trawas, tempat dimana matahari tuju sepulang kerja. Iring-iringan burung manyar terbang pulang tidak ingin ketinggalan ikut meramaikan rona langit.
Dua pemuda Dukuh Trowulan, Hendro dan Bolet, masih betah menikmati keelokan sungai Dukuh Trowulan yang masih asri. Dua pemuda ini bersila di atas bale bambu pinggir sungai ditemani beberapa botol minuman memabukkan.
Bolet, yang lebih muda, sibuk dengan botol yang ada gambar badaknya. Bolet menenggak bir sambil sesekali menengadah ke langit. Serombongan manyar tanpa bekal makan malam melintas menarik perhatiannya.
Bolet girang melihat sepasang manyar terbang terpisah dari rombongan. Dua sejoli, pikir Bolet.
“Lihat Mas, mengasikkan. Burungnya pacaran di udara!” seru Bolet, mengacung mengajak Hendro ikut melihat.
Hendro melirik sinis Bolet, “Bahagiamu berlebihan, Let! Mengandung alkohol!”
Hendro, tangan kirinya menggenggam botol gambar kobra, ikut mendongak, tapi fokus Hendro tidak pada kloter burung yang makin giat melintas, tapi pada langit yang mulai jauh dari kata cerah. Sudah waktunya untuk mengakhiri aktifitas haram mereka.
“Let, botolnya beresin. Aku takut ada yang datang kesini.”
“Takut ada yang datang? Maksudnya Mas? Haegk!!” tanya Bolet setengah teler.
Hendro justru bertanya balik dengan ketidaktahuan Bolet, perihal cerita orang dukuh tentang si Putih. Gadis hantu yang kerap mendatangi tempat mereka melakukan ritual minum saat ini.
“Gimana kamu, cerita dukuh sendiri gak tau?”
“Si Putih… Si Putih?” Bolet coba mengingat-ingat.
“Sepertinya aku pernah lihat sekali, mas. Kalo gak salah waktu sore-sore aku lewat puskesmas Trowulan.” Bolet punya satu cerita tentang si Putih. Hendro menyimak.
“Waktu itu, aku lihat sekilas bayangan putih lewat belakang puskesmas Trowulan. Rambutnya panjang, mas. Trus dia kabur waktu dikejar mahluk berkaki empat, dan mengeluarkan suara gukguk gukguk dari mulutnya. Dia larinya cepet banget, mas! Serem, pokoknya mas. Saya sampe merinding sendiri!”
Hendro tampak kesal, “Kamu lihat bayangan si Putih. Apa lihat Bu bidan dikejar anjing?”
“Ehh lain, ya?” Bolet merenges.
“Gakguk gakguk berkaki empat? Mulutmu Ribet!” Hendro tidak bisa menerima karangan ‘awas anjing galak’ milik Bolet.
“Maklum mas, kan aku gak menekuni bidang perhantuan.” elak Bolet.
Dituduh menekuni bidang perhantuan, Hendro kepalang tanggung untuk bercerita lebih lanjut. Tentang penampakan si Putih di lingkar tanah pemakaman dan sungai. Tentang orang-orang dukuh yang pernah melihat penampakan si Putih di rumah Bibik penjaga pemakaman.
“Rumah Bibik, mas?” tanya Bolet serius.
“Iya, konon Bibik ini yang menolong disaat menjelang akhir hidup si Putih. Hubungan batin mereka jadi dekat.”
Hendro menambahkan, menurut kabar beredar, si Putih hanya hantu penasaran yang masih merindukan kekasihnya. Dan Putih jarang menampakkan diri untuk mengganggu orang desa.
“Putih pemalu, tapi romantis ya, mas.” puji Bolet.
“Romantis gimana? Mau aku kenalin?”
“Gak usah mas, ntar ngerepotin. Trima kasih.” Bolet menolak halus tawaran Hendro. Tawaran yang terdengar manis tapi berujung pada horor.
“Tapi dia sepantaran sama kamu, kata orang belum sampai dua puluhan.” Hendro mengimingi.
“Udah mas, jangan repot-repot.” tampik Bolet masih belum suka berhoror ria.
Hendro melihat langit berangsur gelap, “Selain muncul di pemakaman, kata orang-orang si Putih juga sering ke sungai ini. Makanya aku ngajak bubaran sebelum Putih datang ke sini.”
“Si Putih datang ke sini?” Bolet telat sadar. Dengan cekatan Bolet membereskan botol-botol cairan tidak halal mereka dan memasukkannya ke kantong kresek.
“Ayo pulang, mas. Aku lupa belum ngasih makan ayamku.” gegas Bolet.
“Aku gak tau kamu piara ayam?!”
“Memang gak punya, mas. Ini rencananya mau beli dulu. Ayo mas, kita beli ayam.” dengan cerdas Bolet membelokkan motif ajakannya.
“Katanya romantis, kok jadinya kukuruyuk?” Hendro membalas gakguk gakguk Bolet.
Bolet tidak menghiraukan Hendro. Bolet langsung menjauhi bale dan menuju ke atas lereng, dataran yang lebih tinggi dari ranah sungai. Bolet menunggu langkah lambat Hendro dengan duduk di atas motor.
Beberapa jarak meninggalkan sungai dan tanah pemakaman setelahnya, motor dua pemuda ini mulai melintasi rumah Bibik penjaga pemakaman yang berhadapan dengan rumah besar bekas rumah keluarga si Putih.
Rumah rapuh Bibik, tembok rontok di sana-sini hingga terlihat batu batanya, berhadapan dengan kokohnya rumah berlantai dua bercat warna gading. Kedua rumah disambungkan oleh sebuah kabel tebal, penerangan rumah Bibik bergantung pada rumah di depannya.
Pepohonan berjajar berdiri lebih rimbun di belakang rumah Bibik.
Setelah lahan lapang, motor melewati sebuah rumah sederhana milik Gama, pemuda cinta terakhir si Putih. Rumah Gama sejajar dengan rumah besar.
Kemudian motor keluar dari gang makam dan melintasi jalan beraspal dua lajur. Jalan utama Dukuh Trowulan.
“Rumah di gang makam cuma tiga ya, mas?” kata Bolet menyempatkan menengok gapura gang makam. “Sepi sekali, tiga?”
“Siapa juga suka rumahnya dekat pemakaman!”
“Iya juga ya, suasananya seperti pekuburan.”
“…?”
Beruntung, dua pemuda figuran pengantar cerita romansa ini dengan selamat meninggalkan gang makam, gang dimana kabar si Putih kerap beredar. Jika saja mereka bertemu si Putih, besar kemungkinan si Putih akan bertemu dengan mereka.

#-#-#

Bulan telah menggantung di atas Dukuh Trowulan. Dapat dipastikan tidak ada orang dukuh pergi ke pemakaman, Putih memutuskan keluar dari tempat persembunyiannya, dari rumah Bibik.
Selama ini Bibik meminta Putih untuk dalam tanda kutip ‘menginap’ di rumah Bibik ketimbang kembali mendiami rumah lamanya. Keluarga Putih memutuskan untuk menjual rumah sepeninggal Putih.
Bibik tidak mengijinkan Putih keluar di terik siang. Dan sekarang Putih sudah tidak sabar untuk menghabiskan waktu tidak di rumah Bibik.
Putih membawa langkah tanpa alas kakinya langsung menuju sungai desa, salah satu tempat favoritnya untuk menyendiri dan jauh dari penampakan hantu lain. Pula Putih rindu pada salah satu lapak kenangannya bersama Gama.
Setelah menuruni lerengan tanah liat yang sudah dibentuk berundak-undak menjadi anak tangga, Putih berdiri berjarak sedepa dari jangkauan aliran sungai.
Raut pucat Putih langsung tersenyum ketika pertama memandang riak permukaan air. Tidak ada yang lebih menenangkannya saat ini selain derap tenang air sungai Dukuh Trowulan. Aliran sungai Dukuh Trowulan ibarat air suci bagi jiwa lelah Putih.
Putih menoleh ke bale bambu yang berada beberapa meter darinya. Putih berniat menyelami pemandangan sungai untuk mengenang Gama, kekasih terakhirnya, sembari duduk lama di bale bambu.
Ketika hendak melangkah ke bale, sudut pandang Putih menangkap sesuatu yang tidak biasa.
Seekor ikan mas berwarna merah cerah berenang di tepian sungai dekat kaki si Putih. Bening air dan cahaya bulan menembus hingga dasar sungai, berhasil menampilkan ikan mas tampak sangat hidup.
“Wii, cantiik!” lirih Putih merapat pada air.
Putih menekuk lutut. Pemandangan ikan mas terlihat lebih nyata baginya. Sesaat kemudian muncul seekor ikan mas lain, kali ini berwarna hitam.
Dua ikan mas berenang di depan Putih.
Putih mengulurkan tangan. Telapaknya berusaha mengikuti gerak ikan. Putih tertarik untuk menyentuh ikan mas warna merah.
Beberapa saat tangan Putih berusaha menyentuh si ikan, Putih perlahan menarik tangannya ketika air di sekitar ikan mas hitam berangsur menghitam. Seakan warna sisik ikan mas warna hitam meluntur.
Air makin menghitam, mulai muncul tonjolan kepala dari dalam air.
Putih tersentak mundur ketika dengan gerakan lebih cepat si pemilik kepala, Hantu bergaun warna hitam keluar dari dalam air ke hadapan Putih. Ikan mas merah terpental dari tubuh si Hantu. Si Hantu keluar dari permukaan air mendekat ke arah Putih. Baju basah Hantu gaun hitam terus meneteskan air berwarna pekat.
Putih merangkak mundur untuk menghindar. Semakin Putih menjauh, Hantu gaun hitam semakin berusaha menempel. Hingga akhirnya si Hantu berhasil mengunci posisi Putih.
Putih tidak lagi bisa mundur terhenti oleh dinding lereng. Si Hantu merapat ke Putih. Si Hantu berjarak setengah langkah dari Putih. Kini Putih dan Hantu gaun hitam berhadapan. Tubuh si Hantu seakan menebar hawa dingin, suara gemericik aliran sungai seperti menghilang untuk sesaat.
Si Hantu mencondongkan tubuh. Putih tegang memandang wajah si Hantu mendekat. Sebagian rambut panjang si Hantu menjuntai di depan wajah, tapi raut si Hantu yang pucat beku dengan guratan hitam pekat mengganti warna garis-garis nadi di wajah dan lehernya tampak sangat jelas. Bola mata berwarna hitam penuh si Hantu membelalak seperti menahan sakit dan amarah. Segaris warna merah darah tampak di sudut mata si Hantu gaun hitam.
Sorot bola mata hitam itu seakan menyedot tenaga si Putih. Hantu gaun hitam menyeringai mengeluarkan taring.
Si Putih tidak kuasa memandang apa yang ada di depannya. Putih sontak menendang bahu si Hantu gaun hitam. Si Hantu sepertinya tidak merasakan sakit, hanya terdorong mundur.
Tendangan si Putih hanya membuat si Hantu tampak semakin buas. Di posisi berdirinya, Si Hantu gaun hitam panjang memasang tangan posisi siap mencengkeram. Kuku-kuku yang menghitam milik si Hantu mengacung. Putih semakin berjaga tidak ingin lengah.
Putih belum mampu beranjak dari tempatnya terpojok. Sorot mata Si Hantu gaun hitam masih kejam mengawasi.
“Wreeakk... ggrokkdaah...!” desis si Hantu mengucap bahasa yang tidak dimengerti Putih. “Wroihdahh drizzgakk...” desis si Hantu lagi.
Si Hantu kembali bergerak maju dan langsung mengayunkan cakar hitamnya, Putih merunduk berhasil menghindar dari cakar si Hantu. Si Putih merangkak cepat ke arah tangga. Putih berusaha sebisanya untuk berdiri, terhuyung berlari ke tangga tanah.
Putih bergegas menaiki tangga. “WREAARRKK...!!” Terdengar si Hantu Cumiik sangat keras di sela Putih menjejaki tangga. Putih menyempatkan menoleh, si Putih tidak lagi melihat penampakan si Hantu gaun hitam. Tidak ada jejak bayangan si Hantu.
Putih siap meninggalkan ranah sungai dengan menyisakan tanya, darimana asal datangnya si Hantu yang menyerangnya tadi, dan kemana perginya si Hantu yang mendadak menghilang.
Keinginan Putih menikmati sungai Dukuh Trowulan kandas oleh gangguan Hantu yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.
Putih tampak sangat kecewa, “Makan tuh air!” kesal Putih, mulai berani bersuara setelah merasa aman dari kejaran si Hantu gaun Panjang.
“Dasar Hantu gak sopan!” ledek Putih kepada setiap hantu yang lupa aturan main, sesama hantu seharusnya tidak saling mengganggu dan menyakiti.
Petang ini Putih terpaksa mencari tempat untuk mengenang Gama tidak di tempat yang menjadi kesukaannya. Pilihan Putih untuk menghabiskan malam tidak banyak, Putih memutuskan ke pemakaman.

#-#-#

Gama keluar kamar untuk istirahat dari kegiatan menulisnya. Gama meregangkan tubuh dan diakhiri hela napas panjang. Duduk di depan layar monitor sejak sore cukup membuat tubuh Gama kaku meski tidak ada daftar nama asam urat dalam tubuhnya.
Beberapa novel bertema horor Gama sudah diterbitkan oleh penerbit di kota dan ia masih melanjutkan novel kesekiannya untuk mengisi kesendiriannya tanpa si Putih.
Selama ini, Gama tidak menyadari keberadaan Putih di rumah Bibik penjaga pemakaman memperhatikan kesehariannya.
Gama sendiri kerap mendengar cerita orang Dukuh Trowulan tentang penampakan Putih di rumah Bibik penjaga pemakaman, tapi Gama tidak pernah melihatnya langsung. Padahal tidak jarang Gama melewati rumah Bibik untuk bersantai di sungai dukuh.
Walau terkadang masih merindukan Putih, Gama tidak pernah ingin dengan sengaja untuk mendapati penampakan Putih. Ia tidak begitu percaya dengan omongan orang-orang dukuh. Gama membiarkan cerita dari orang dukuh tidak lebih dari sekadar cerita.
Gama mengangkat mug kopi susunya dari atas meja makan. Gama melihat isi mug kopi hampir kosong.
Gama menyesap sisa-sisa kopi dengan heran, ia merasa meninggalkan mug ketika masih terisi setengah, kini isi mug tinggal ampas basah.
Gama menoleh ke arah ruang tamu, melihat kucing milik warung langganannya tertidur di kursi panjang.
“Jangan-jangan kopiku diminum si Belang lagi.” gumam Gama curiga.
Belakangan, si kucing yang diberi nama panjang si Belang-belang itu sering datang ke rumah Gama untuk mendapat jatah kepala ikan dari lauk yang Gama beli. Si Belang tidak jarang menjilati wedang kopi Gama. Si kucing suka pada kopi susu Gama yang lebih kuat aroma dan rasa susu daripada kopinya.
Gama meletakkan mug ke atas meja kembali ke kamar.
Gama menatap layar pentium empatnya dengan mata jenuh. Tanpa kafein, Gama kehilangan mood melanjutkan prosesi penulisan novel.
Satu keuntungan Gama dengan hadirnya si Belang, setidaknya ia tidak sendirian ketika malam datang. Jika saja Gama tahu si Putih diam-diam pernah menemaninya, mungkin ia tidak begitu membutuhkan kehadiran si Belang.
Gama mematikan layar. Memutuskan pergi ke warung langganannya. Warung Bu Piye, tidak jauh dari gapura gang makam.

#-#-#

Di jam-jam hampir tutup, warung Bu Piye sedang ketamuan Awang. Motor berkopling Awang terparkir di bawah pohon tidak jauh dari warung.
Awang adalah salah satu sahabat terdekat Gama. Malam ini sepertinya mereka berjodoh bertemu di warung Bu Piye, Gama sedang menuju ke sini.
Sebenarnya kehadiran Awang tidak begitu diharapkan Bu Piye. Bu Piye tidak pernah punya masalah dengan pelanggannya, selama mereka hanya berniat berbelanja atau makan di warung tanpa embel-embel menyusahkan. Dan Awang adalah sebuah pengecualian.
Awang duduk di meja panjang beratap langit di depan warung Bu Piye. Diiringi teriakan tokek narsis memanggil namanya sendiri yang lebih dominan diantara binatang malam lain, Awang sedapat mungkin mengecap sayur lodeh sajian Bu Piye.
Awang berusaha keras untuk menoleh kepada Bu Piye yang tengah menyiapkan kopi di dalam warung. Dengan badan gempalnya, Awang kesulitan untuk memelintir kepalanya, “Bu Piye, sayur lodehnya enak. Pedesnya pas, terasa sampai ke tenggorokan!” puji Awang, “Gak heran kalo suara Bu Piye merdu!”
“Mulai dah, mulai!” batin Bu Piye, “Sayur lodeh enak, suara merdu?” Bu Piye memasukkan gula ke dalam gelas kopi pesanan Awang dengan kasar.
Dari arah gang makam, Gama mendekat ke warung dan menghampiri meja panjang. Kaos oblong buatan lokal bertuliskan -INI BUDI- milik Gama terbaca jelas oleh penerangan warung Bu Piye.
“Hei, Gama. Duduk.” Awang sumringah dengan kedatangan Gama. Awang menyingkirkan mangkuk bergambar ayam jago dari hadapannya, urusannya dengan sayur lodeh baru saja berakhir. Urusan Awang mengganggu Bu Piye ikut berakhir. Gama duduk di kursi plastik di depan Awang.
“Jarang kelihatan. Gimana kabar dirimu, sehat?” sapa Awang.
Sebelum menjawab salam Awang, Gama membakar satu rokok yang diambilnya dari bungkus kretek bercap angka -dua tiga empat- tergeletak di atas meja. Gama tidak kalah senang bertemu dengan temannya yang khas dengan gaya bicara ‘diriku-dirimu’ di depannya sekarang.
“Seperti biasa Wang, standar. Aku masih sanggup untuk ganteng.” seloroh Gama.
Perut Awang eneg. Untuk menghilangkan rasa enegnya cepat, Awang turut membakar satu rokok dan meramaikan udara di atas meja panjang bernuansa putih asap.
Awang menghamburkan asap rokok, “Sekarang di tempat tongkrongan banyak anak baru. Dirimu main ke sana.”
“Anak baru?”
“Iya. Sekarang tempat tongkrongan kita jadi ramai. Ini diriku baru dari sana.”
Awang memikirkan sesuatu, “Oh ya, ada cewek manis. Diriku yakin bakal cocok sama dirimu.”
Gama tersenyum simpul. Awang rupanya tidak pernah lelah menawarkan diri menjadi mak comblang. Sebelum bertemu dan setelah Gama berpisah dengan Putih, Awang rajin mengenalkan Gama dengan cewek kenalannya. Awang tidak pernah rela Gama tanpa pendamping, Gama satu-satunya teman Awang yang jarang menggandeng cewek.
Tapi tawaran-tawaran Awang selalu Gama mentahkan.
Awang berusaha keras menoleh ke belakang untuk kesekian kalinya, “Bu Piye…!” panggil Awang setengah teriak kepada Bu Piye yang kali ini sedang memeriksa air yang dipanaskan. Bu Piye membalik badan gemuknya.
“Bu Piye! Siapa anak baru yang minggu kemarin diriku ajak ngopi di sini?”
“Eh, anak baru siapa?” Bu Piye merapatkan alis, mengingat-ingat sosok teman Awang, “Minggu kemarin, ya? Si Bagas, maksud kamu?” jawab Bu Piye kurang yakin.
Gama mengangkat alis, Bu Piye menyodorkan sebuah nama maskulin, jauh dari kriteria manis dan cantik tawaran Awang.
Tapi Awang tidak merasa ada yang janggal, “Iya Gam, namanya Bagas. Tinggi, manis, badan kekar, dan kumisnya… waduuhh gak kuat deh pokoknya!”
“…gimana, mau gak?”
Gama tidak mengiyakan juga tidak menolak tawaran Awang.
Awang bingung pada reaksi Gama tidak doyan dengan tawaran legitnya. Awang memeriksa kembali ucapannya. Awang menemukan ada yang keliru.
“Sebentar, Gam.” Awang kembali beralih ke Bu Piye, “Bu Piye! Masa diriku comblangin Gama sama yang berkumis. Bu Piye tega ya, Gama ciumannya geli-geli tajam?”
Bu Piye nyengir, “Comblangin? Oh, maksud kamu si Mona?” koreksi Bu Piye cepat.
“Aaahh…” Awang lega mendapatkan nama kedua, Awang kembali ke Gama, “Iya Gam, namanya Mona. Manis tanpa kumis.”
Awang melirik ke belakang, berharap Bu Piye tidak mendengar apa yang akan ia ucapkan. Awang berbicara berbisik, “Hei Gam, omongan diriku tadi udah sampai ke dada Bagas yang berbulu apa belum?”
Gama menggeleng.
Awang menepuk jidat, “Aduh, sukurlah kalo gitu!” hati Awang mendadak plong.
“Sebenernya aku udah ada gandengan juga, sih.” ucap Gama melepas kabar terbarunya.
Mimik Awang makin lega, “Serius dirimu? Sejak ditinggal Putih...” Awang tidak melanjutkan kalimatnya. Awang tidak ingin ucapannya lepas kontrol lagi. Awang tidak pernah mundur untuk mencomblangkan dengan tujuan Gama bisa segera melupakan Putih, sekarang ia justru berbalik mengingatkan.
“Eee, ngomong-ngomong cewek dirimu anak mana?” Awang kontan membelokkan topik omongan.
“Sekarang situ juga jarang main ke rumah. Kalo ke rumah, aku tunjukin fotonya.”
“Cakep, Gam?”
“Udah ntar aja. Aku lagi malas cerita.” Gama menggantung penasaran Awang.
“Ckk!” Awang berdecak, “Biasa dirimu ini. Apa-apa disimpan sendiri.”
Protes Awang terpenggal kedatangan Bu Piye mengantar segelas kopi ke meja panjang.
“Lama sekali bikin kopinya, Bu. Ngrebus airnya di dapur tetangga, ya?” kesal Awang kepada Gama pindah ke Bu Piye.
“Sabar...sabar, apa yang bisa diharapkan dari preman pasar.” Bu Piye mewanti-wanti diri dalam hati. Awang memiliki bengkel motor di samping pasar induk Dukuh Trowulan, tapi dengan tubuh gempal dan kelakuan tidak alim Awang, Bu Piye lebih suka mengenalinya sebagai preman pasar, tidak kurang tidak lebih.
“Dirimu kopi juga?” tawar Awang kepada Gama.
“Pastinya.”
“Bu Piye, kopinya satu lagi, buat Gama.” Awang mewakili Gama memesan kopi baru, “Kopi Gama jangan dikasih garam ya, Bu.”
Gama dan Bu Piye mendelik bareng, “Heh? Baru nih?”
“Gama lagi sakit perut.” imbuh Awang masih asal, “Ya kan, Gam?”
Kali ini kesabaran Bu Piye luntur, kesembronoan mulut Awang penyebabnya. Bu Piye menatap serius mata Awang, “Om, lihat baik-baik! Apa saya terlihat kurang kerjaan meracik kopi pakai garam? Apa saya terlihat pingin cari sensasi ngaduk kopi asin?!”
Bu Piye memasang tolak pinggang, “Kopi kok asin? Saya tonjok muntah sayur lodeh, kamu!” hardik Bu Piye keras.
Bu Piye kembali ke posnya, dapur bagian dalam warung. Bu Piye belum siap menjadi pusat perhatian di Dukuh Trowulan.
Awang menengok kanan-kiri, linglung seperti mencari sesuatu. Awang menatap sendu ke Gama, “Gam! Bu Piye semangat sekali, dirinya marah-marah sama siapa?”
“Heh?” Gama mendelik.
*Komedinya serius. Romansanya serius. Dan yang paling penting endingnya ngetwist abis. Dijamin suka.
*Lanjutannya klik link ini, mumpung gratis sampai tanggal 10. Tinggal baca.
https://play.google.com/store/books/...d=3RjRDwAAQBAJ
Diubah oleh sukevin 04-03-2020 12:56
0
794
2
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.8KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.