suwokotumdexAvatar border
TS
suwokotumdex
Di Hari Saat Aku Bersamamu (Cerita Pendek)


Anginyang kurasakan hawanya berbeda sejak hari itu. Bahkan, semuanya juga terasa berubah lebih dingin dan memuakan.

Kembali kuingat wajahnya yang manis dengan mata bermanik hazel yang indah. Setiap kali senyumnya terbentuk, dadaku berdebar begitu cepat, kemudian menarik bibirku membentuk lengkungan sama sepertinya.

Dia seperti candu ciptaan Tuhan yang sempurna dengan keterbatasannya. Duduk di atas kursi roda, tapi tak jua melunturkan semangatnya. Bahkan kupluk yang menutupi kepalanya pun tak ia hiraukan, ia layaknya gadis yang tak memiliki masalah sedikit pun.

Pernah aku bertanya, "Apa yang membuatmu selalu terlihat bahagia?"

"Kata 'terlihat' itu membuatku jadi seperti sedang berakting tau! Aku memang selalu bahagia ... dengan sisa hariku," jawabnya selalu diakhiri dengan masa.

Setelah itu, aku tak berniat bertanya lagi dan duduk menikmati angin yang mulai berubah, seperti gadis itu. Kulitnya semakin memucat, tubuhnya kurus, dan rambutnya yang dulu selebat air hujan kini hanya tersisa helaian. Namun, entah kenapa, semangatnya selalu berapi-api, seolah tak ada hal yang perlu dikhawatirkan tentang sisa waktunya.

Lantas, apa yang membuatnya selalu seceria itu?

Aku duduk di bangku taman, menyaksikan laut yang terbentang di depan sana, di bawah tebing itu. Angin laut yang berhembus sore ini terasa menyejukan, kata dia. Bagiku, lebih terasa dingin. Benar-benar dingin yang membekukan.

"Apa kamu melihat burung camar itu?" tangannya menunjuk ke arah camar yang terbang di atas lautan.

"Ya, aku melihatnya. Ada apa?"

"Mereka ingin pulang, 'kan?"

"Mungkin—"

"Aku juga, ingin pulang," ucapnya cepat memotong kalimatku. Kuperhatikan wajahnya sendu, seolah iri dengan burung yang bisa terbang bebas di atas sana, kemudian pulang saat sudah merasa lelah. Aku bisa melihatnya dari mata hazel itu, binarnya tak memudar, tapi bukanlah binar keceriaan.

Aku menghela napas, tak tahu harus menjawab apa. Tentu saja, aku juga ingin kau bisa segera pulang, dan kembali seperti dulu. Melanjutkan apa yang sudah kita mulai, lantas mengakhirinya bersama saat raga tak lagi muda.

"Sejauh apapun burung camar akan pergi, saat matahari mulai terbenam, mereka akan kembali pulang," ucapnya lagi, seulas senyum tergambar di bibirnya yang kering.

"Nada, apa kamu ingin pulang?" tanyaku pada gadis itu. Ia menatapku, kemudian mengangguk.

"Ayo, kita pulang ke rumah yang sama." Aku berlutut di depan kursi rodanya, lantas melanjutkan. "Maukah kau menikah denganku?"

Kalimat itu sukses meluncur lewat bibir yang bergetar, aku berhasil mengungkapkannya. Sesuatu yang kupendam selama ini.

Nada diam, saat kutatap matanya mulai berkaca-kaca. Pantulan cahaya berputar di matanya dan saat itulah air yang mungkin berusaha ia bendung, akhirnya tumpah.

"Nada Ayu Putri, aku ulangi. Maukah kau menikah denganku?" Aku hanya ingin mendengar jawabannya.

Cukup satu kata saja.

"Maaf."

Aku ditolak.

"Maaf, aku tidak bisa." Ia menundukan wajahnya, bisa kudengar suaranya parau, seperti menahan sesuatu.

"Kenapa?"

"Karena kau tau kan aku tak akan lama di dunia ini?!" Suaranya meninggi.

"Tentu saja aku tau, tapi itu tak menjadi masalah untukku."

Dia mengangkat wajahnya saat kugenggam tangan yang kini tampak seperti tulang saja. Matanya masih memancarkan binar yang sama, tentang harapan, ia masih menyimpannya rapat-rapat, mungkin.

"Kumohon, tuk sesaat saja. Hanya untuk sesaat saja, biarkan aku bersamamu, menikmati saat-saat yang indah ini, sebagai seseorang yang saling memiliki satu sama lain." Semakin erat kugenggam tangannya. Dia tersenyum.

"Apa yang membuatmu mau melakukan ini?"

"Tak ada. Tiba-tiba saja aku memikirkan, jika kau akan menjadi istriku di dunia ini maupun dunia selanjutnya."

Kupeluk tubuh ringkihnya hati-hati untuk merasakan hari-hari di mana aku masih bisa bersamanya. Ia menangis, kini tak ditahan lagi. Semuanya seperti sedang ditumpahkan saat itu juga, pun diriku. Mata ini basah, untuk yang pertama kalinya.

Sampai kapanpun, kaulah tetap cahayaku.

Bahkan meski sekarang ragamu sudah di bawah sana, sendirian, di sini aku masih bisa merasakan kehadiran jiwamu yang hangat. Sangat hangat, seolah kau memelukku dari belakang dan berkata, "Jangan menangis."

Iya, aku tidak akan menangis. Akan kuluapkan nanti, saat kita bertemu di kehidupan yang selanjutnya.

Langkahku menjauh dari tempatmu tidur abadi. Semoga kau tenang di alam sana, wahai cahayaku. Tenang saja, aku akan terus mengingat hari di saat aku bersamamu. Semoga, di kehidupan yang selanjutnya, kau memberitahuku, apa yang membuatmu selalu ceria, dan kuharap itu karena aku.

Dasar egois!

Ha-ha-ha-ha ....

~ END

Blitar, 1 Maret 2020


CERITA LAINNYA:
Negeri Fatamorgana
Diubah oleh suwokotumdex 02-03-2020 15:33
Gimi96
NadarNadz
nona212
nona212 dan 28 lainnya memberi reputasi
29
3.8K
24
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread41.7KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.