Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

TaraAnggaraAvatar border
TS
TaraAnggara
Hujan yang Membawamu Pergi
Kumpulan Cerpen Sedih
sumber




Bersamaan dengan rintik hujan yang perlahan jatuh membasahi bumi, air mata mengalir membasahi pipi. Hujan, sering kali membawa ingatanku pada peristiwa tragis yang pernah kualami suatu ketika dulu.

****
Malam itu, hujan deras disertai petir mengiringi perjalananku dan Mas Rendi. Kami baru saja mengunjungi rumah kerabat Mas Rendi untuk meminta doa restu, serta mengharap kehadiran mereka pada acara pernikahan kami.

Mas Rendi memacu pelan sepeda motor gedenya di atas jalanan aspal yang tergenang air hujan. Aku mendekap pinggangnya erat. Namun tiba-tiba mobil dari arah berlawanan melaju kencang dan menyerempet motor yang kami tumpangi, hingga Mas Rendi kehilangan keseimbangan.

Motor pun oleng dan akhirnya menabrak tiang di tepi jalan. Aku terjatuh dengan posisi miring, sementara Mas Rendi terpental agak jauh. Aku sempat melihat Mas Rendi yang terlihat tak berdaya membuka kaca helm dan berusaha menggenggam jari-jemariku. Kulihat darah bercampur air hujan mengalir dari dahinya, lalu setelah itu aku tak sadarkan diri.


"Alhamduillah, kamu sudah sadar Nduk." Ibu mengelus kepalaku sambil berurai air mata.

"Bu, aku ada di mana?" Kulemparkan pandangan keseluruh ruangan bernuansa putih. Selang infus terpasang di lengan sebelah kiri, dan seluruh tubuhku terasa sakit.

"Kamu ada di rumah sakit, Nduk. Kamu dan Rendi baru saja mengalami kecelakaan," jelas ibu dengan raut wajah sedih.

Ibu kemudian menjelaskan kalau seseorang menemukan aku dan Mas Rendi tergeletak di tepi jalan. Ia kemudian menghubungi ibu setelah mendapatkan nomornya dari telepon genggam di dalam saku jaket anti air yang kukenakan.

Ya, waktu itu kami lupa membawa jas hujan, Mas Rendi kemudian memintaku mengenakan jaket miliknya. Sedangkan ia berkendara di bawah guyuran air hujan hanya dengan mengenakan kaos lengan pendek.

"Mas Rendi, Mas Rendi dimana Bu. Dia baik-baik saja kan?" Aku mengguncang lengan ibu, panik.

"Rendi ... Rendi_"

"Rendi kenapa, Bu?" sahutku cemas melihat ibu tergagap menjawab pertanyaanku.

"Rendi baik-baik saja Nduk. Dia dirawat di ruang sebelah," celah ibu Rendi yang tiba-tiba muncul seraya menghampiriku. Mungkin dia mendengar obrolanku dan ibu karena pintu sedikit terbuka.

"Sungguh, Mas Rendi baik-baik saja, Bu?" Entah mengapa perasaanku masih dihinggapi rasa cemas, tapi satu senyuman yang terukir di bibir ibu mas Rendi membuatku kembali tenang.

Dua hari di rumah sakit, selama itu juga aku terus meminta ibu membawaku ke ruangan tempat Mas Rendi dirawat. Namun ibu selalu menolak dengan berbagai alasan. Rasa cemas kembali menguasai hatiku, namun ibu selalu berhasil menenangkan.

Hari ketiga, aku diizinkan pulang.

"Bu, Mas Rendi_"

"Kita akan menemui Rendi di rumahnya Nduk. Dia sudah pulang," potong ibu seolah mengerti apa yang ingin aku tanyakan. Kedua tangannya cekatan memasukkan bajuku ke dalam tas tenteng.

Mas Rendi sudah pulang? Tanpa menemuiku terlebih dahulu. Terbit rasa kecewa dalam hati, namun segera kusingkirkan.

Seharusnya aku bersyukur karena kami baik-baik saja. Mungkin Mas Rendi harus segera istirahat, sehingga ia pulang tanpa menemuiku terlebih dahulu.

"Sudah siap, Nduk?" Tanya ibu mas Rendi yang muncul dari balik pintu. Ternyata bukan hanya ibu saja yang menjemput, tapi juga kedua orang tua mas Rendi. Aku menyalami mereka sebagai tanda hormat.

Sedikit aneh, bukankah seharusnya mereka ada di rumah untuk merawat Mas Rendi. Pertanyaan yang hanya mampu kuungkapkan dalam hati, karena ibu memintaku segera turun dari ranjang.

Ibu membantu memapahku sampai di tempat Ayah memarkirkan mobil, sementara ibu Rendi membantu membawakan tas. Ayah kemudian melajukan mobil sedan hitam miliknya dengan kecepatan sedang, menyusuri jalan raya yang tak begitu ramai. Suasana sunyi mengiringi perjalanan kami, karena semua orang di dalam mobil diam membisu. Sungguh, tak seperti biasanya.

"Kenapa kita berhenti di sini, Yah?" Aku mengerutkan kening ketika Ayah mas Rendi menghentikan mobil di sebuah pemakaman. Aku memang sudah memanggil kedua orang tua Mas Rendi dengan sebuatan Ayah dan Ibu.

Ayah menoleh dari balik kemudi mobil dan memintaku turun. Kami semua pun turun dan tanpa banyak bertanya aku mengikuti langkahnya, sampai pada akhirnya berhenti di sebuah makam yang tanahnya masih basah.

"Apa ini maksudnya, Yah, Bu." Aku memandang wajah Ayah, Ibu, dan Ibu mas Rendi silih berganti. Jantungku berdebar kencang melihat nama Rendi tertulis di atas nisan kayu bercat putih.

Ibu memegang kedua pundakku. "Nduk, Rendi meninggal dalam kecelakaan itu." Lirih suara ibu, namun terdengar jelas di gendang telingaku. Bulir-bulir bening tampak mengalir dari kedua netranya.

"Tidak! tidak mungkin. Tidak mungkin Mas Rendi meninggalkanku secepat ini Bu." Tangisku pecah. Dunia bagaikan runtuh menimpaku mendengar perkataan ibu. Sekujur tubuh terasa lemas, seolah darah berhenti mengalir. Aku jatuh terduduk di samping makam Mas Rendi.

"Ayah tau ini sulit bagimu, Nduk. Kita semua sedih atas kepergian Rendi, tapi kita harus ikhlas agar Rendi tenang di alam sana."

"Tidak, Yah. Mas Rendi tidak boleh meninggalkanku, kami akan menikah minggu depan. Mas, Bangun! Katakan kalau kamu baik-baik saja?" Aku menangis histeris sambil meremas bunga mawar merah yang bertaburan di atas makam.


"Sudah, Nduk, jangan seperti ini. Kasihan Rendi." Ayah dan ibu Rendi memintaku bangkit tapi dengan sekuat tenaga aku meronta. Tak kuhiraukan perkataan ibu yang mencoba menenangkan, lalu tiba-tiba pandanganku kabur dan semua menjadi gelap.

***

"Kenapa, Nduk. Teringat Rendi lagi?" Ucap satu suara yang sangat kukenal, membawaku kembali ke alam nyata.

Aku menoleh. Entah sajak kapan ibu berdiri di sampingku.

"Sampai kapan kamu akan terus seperti ini? Lupakan kejadian itu, dan carilah pengganti Rendi, agar ia tenang di alam sana." Seperti biasa, terpancar kesedihan di wajah tua ibu melihat kondisiku.

"Entahlah, Bu." Aku tersenyum kecut lalu kembali melempar pandangan ke arah luar. Mengamati butiran-butiran air hujan yang kini turun semakin deras, dari sebalik jendela. Angin bertiup kencang membuatku mengeratkan cardigan hitam yang melekat di tubuh kurusku.

Maafkan aku Bu, aku tidak bermaksud membuatmu bersedih. Namun, melupakan mas Rendi tak semudah membalikkan telapak tangan.


Satu tahun sudah peristiwa itu terjadi, tapi sampai saat ini aku masih berharap itu hanya mimpi. Mimpi yang akan hilang ketika bangun dari tidur, berharap ketika aku membuka mata Mas Rendi sedang terlelap di sampingku.
Namun berkali-kali aku bangun, kenyataan ini masih sama. Mas Rendi telah benar-benar pergi untuk selamanya.


Indeks Link : Surat Undangan Membawa Kesedihan








End
Cilacap, 11 Desember 2019
Diubah oleh TaraAnggara 15-12-2019 13:20
nona212
081364246972
jiyanq
jiyanq dan 24 lainnya memberi reputasi
25
2K
55
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.3KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.