Kaskus

Entertainment

  • Beranda
  • ...
  • The Lounge
  • Membangun Fikih Berorientasi Sosial dan Prinsip-prinsip Fikih Sosial

kontenjempolanAvatar border
TS
kontenjempolan
Membangun Fikih Berorientasi Sosial dan Prinsip-prinsip Fikih Sosial
Berita Jempolan.com–  Masyarakat pada dasarnya berwatak dinamis dan tidak berkarakter statis. Oleh karena itu, apa yang disebut perubahan sosial (social change), kapan dan di mana pun akan selalu terjadi dalam setiap kehidupan. Sebagai implikasinya, setiap perubahan sosial baik cepat atau lambat selalu menuntut perubahan dan pembaharuan dalam berbagai bidang termasuk di dalamnya bidang hukum dan perundang-undangan yang merupakan salah institusi penting bagi kehidupan manusia.
Membangun Fikih Berorientasi Sosial dan Prinsip-prinsip Fikih SosialMembangun Fikih Berorientasi Sosial dan Prinsip-prinsip Fikih Sosial

Tanpa kecuali, fikih atau hukum-hukum fiqhiyyah perlu bersifat responsif terhadap perubahan dan perlu mengakomodasikan berbagai perubahan konteks sosial-budaya yang terjadi. Fikih, yang disebut-sebut memiliki daya elastis memberikan ruang gerak yang memadai bagi kemungkinan terjadinya perubahan hukum dari waktu ke waktu dan tempat ke tempat. Ungkapan berikut mengisyaratkan hal itu: “Berubah dan berbedaannya fatwa itu sejalan dengan perubahan zaman, tempat, kondisi sosial, niat, dan adat kebiasaan yang berlaku”.

Menurut Ibnu Taimiyyah, tujuan utama dan pertama dengan kehadiran syari‘ah ialah untuk mewujudkan kemaslahatan sesempurna mungkin dan menolak total mafsadah atau paling tidak menekannya seminimal mungkin.22 Tujuan utama syari‘ah untuk merealisasikan kemaslahatan umum (li tah qiq al-masalih al-’ammah) didasarkan pada Q.S al-Anbiya: 107: , “Dan Aku tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.”


Fikih sebagai formulasi pemahaman terhadap syari‘ah memiliki dua tujuan. Pertama, untuk membangun perilaku setiap individu muslim berdasarkan akidah, syari‘ah, dan akhlak. Kedua, dapat merealisasikan sebuah tatanan kehidupan sosial masyarakat yang memiliki jati diri keadilan, persamaan dan kemitraan.

Persoalannya mengapa fikih yang watak dasarnya bersifat responsif, kontekstual, dan sosial dalam perkembangan cenderung menjadi pasif, formalistik, dan individualistik. Munculnya fenomena ini diduga sebagai akibat dari  keterbatasankekayaan atau sumber bacaan (reference) para ahli fikih dalam satu ragam mazhab. 

Keterbatasan dalam penguasaan khasanah keilmuan fikih pada gilirannya membawa dampak terhadap munculnya pemahaman tunggal terhadap satu mazhab. Mereka menjadi kurang responsif terhadap pemikiran mazhab yang lain dan berbagai problem masyarakat sekelilingnya.

Dalam konteks mencari jalan keluar untuk membongkar kejumudan fikih selama ini, maka upaya pemahaman dan pemaknaan fikih secara kontekstual menjadi sangat penting untuk dilakukan. Dari sini, pendekatan etis dengan berorientasi esoterik (sufistik) yang bermuara pada ruh tashri atau maqasid al-shari‘ah  menjadi agenda penting untuk dilakukan dalam rangka mereformulasikan substansi dan tujuan fikih. Oleh karena itu, menjadi tugas penting dan mendesak yang tidak bisa dihindari adalah melakukan pemahaman yang lebih kontekstual terhadap kitab-kitab fikih yang telah ditulis para ulama pada abad III dan IV H agar tidak kehilangan perannya menjadi rambu bagi kehidupan masyarakat. 

Untuk kepentingan ini, diperlukan keberanian dalam melakukan pembaharuan, sekurang-kurangnya reformulasi hukum dan tidak mentolerir adanya kevakuman hukum (dinyatakan mawquf), dengan dalih ulama terdahulu tidak membicarakannya.

Alternatif yang mungkin dapat ditempuh adalah “meng-hidupkan” kembali tradisi berpikir manhajy (metodologis) dengan mengakomodasi berbagai manhaj yang telah dirumuskan para ulama mazhab Sunni, seperti qiyas, istihsan, masalah ah mursalah, dan sadd al-zari’ah secara simultan. 

Pendek kata, perlu memperkaya tradisi bermazhab secara qawly dengan bermazhab secara manhajy. Dengan kata lain, perlu melengkapi pendekatan tekstual yang sudah sangat terkenal di sebagian besar umat Islam dengan pendekatan kontekstual yang di dalamnya perlu mempertimbangkan dan mengakomodasikan dimensi kemaslahatan dan kebutuhan riil masyarakat.

Fikih dan usul fikih idealnya terus berkembang dalam menghadapi tantangan realitas kehidupan modern. Hasan Turabi menyebut sejumlah alasan bagi perlunya pembaruan usul fikih.

Misalnya, menurutnya, produk-produk usul fikih dalam tradisi pemikiran fikih klasik masih bersifat sangat abstrak dan berupa wacana teoritis yang tidak mampu melahirkan pemahaman komprehensif dan justru melahirkan perdebatan yang tak kunjung selesai. Turabi juga berkesimpulan, fikih saat ini lebih berorientasi pada ijtihad dalam persoalan ibadah ritual dan masalah kekeluargaan, sementara persoalan hukum, ekonomi, hubungan luar negeri, dan sebagainya belum memiliki tempat yang semestinya dalam kajian fikih25.


Konteks di masa lalu dengan masa kini dan masa yang akan datang tentu saja berbeda. Masyarakat modern mempu-nyai logika dan perbedaan konteks dan sejarah inilah yang menyebabkan perlunya pembacaan yang bersifat distingtif antara syari‘ah dan maqa al-Shari‘ah.
Selama ini ada upaya untuk menguniver-salisasikan syariat untuk semua zaman dan tempat. Apa yang diproduk ulama di masa lalu dianggap sebagai solusi bagi problem kemanusiaan kontemporer. Ini bukan tanpa konsekuensi. Akibatnya, syariat sebagai pranata nilai yang komprehensif menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan (ibadah mahdah) dan hubungan manusia dengan manusia danmakhluk lainnya (mu’amalah), mengalami kemandulan. Konsekuensinya, yang tampak ke permukaan adalah wajah fikih yang keras, kaku,dan rigid. Fikih sebagai cara mengambil kesimpulan sebuah hukum yang berasal dari sumber asli agama (al-Qur’an dan Hadis) pada akhirnya juga menjadi sangat teosentris, karena fikih lebih dianggap sebagai otoritas pengetahuan daripada upaya memfungsionalkan doktrin keagamaan untuk menyelesaikan ketegangan yang terjadi dalam realitas sehari-hari. Yu>suf al-Qarad}awi melihat kenyataan mandulnya fikih ini ditandai dengan sistematisasi fikih yang dimulai dengan pembahasan mengenai ibadah. Menurutnya, karakteristik fikiih seperti ini telah memandulkan cara pandang fiqh terhadap masalah-masalah sosial, politik dan ekonomi.

Dengan demikian, keimanan kepada Tuhan tidak hanya dibuktikan dengan menyembahnya tetapi juga harus diwujudkan dalam bentuk sifat kedermawanan terhadap orang lemah, khususnya fakir miskin dan anak yatim (Q.S al-Duha 9-11). Al- Qur’an mengumpa- makan sekelompok orang yang memungut hasil kebun tanpa memperkenankan orang-orang miskin memperoleh bagian dari kebun itu dengan istilah “kebun yang sirna” (Q.S al-Qalam 17-33). Al-Qur’an juga mengecam sikap orang-orang yang mengumpulkan kekayaan tapi bersifat kikir (al-Humazah: 1-4) dan dengan tegas membedakan ganjaran antara orang kikir dengan orang dermawan (Q.S al-Layl: 5-9).
Masih banyak ayat-ayat al-Qur’an lainnya yang mengecam sikap kikir dan sebaliknya menganjurkan agar bersikap dermawan khususnya kepada kaum lemah dan tertindas. wallahu a’lam bisshowab. 




Penulis : Zubaedi-STAIN Bengkulu
anasabilaAvatar border
sebelahblogAvatar border
4iinchAvatar border
4iinch dan 2 lainnya memberi reputasi
3
727
4
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
KASKUS Official
1.3MThread104KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.