abellacitraAvatar border
TS
abellacitra
Misteri Gunung Lawu? Jangan Coba-Coba Melanggarnya


Hai Gansist bertemu lagi di thread saya, Abella Citra.

Berpetualang itulah salah satu hobbiku, sejak kecil berkeinginan bisa menggapai puncak Gunung Lawu duduk di sana, menikmati luasnya alam dan awan.


doc.pribadi

Dari tempatku Gunung Lawu saat senja nampak begitu eksotis dengan balutan warna merah jingga. Semburat yang membuat mata tak pernah bosan memandang nalanya.

"Kegiatan pendakian di Gunung Lawu via Cemoro Sewu, akan dilakukan pertengahan bulan ini. Tanggal keberangkatan 14 Desember, jam 01:00 sudah harus standby di sekolahan." Ujang memberikan perintah, "ada yang keberatan? Atau mempunyai saran?" tambahnya ketika menjadi pemandu pertemuan Minggu ini di kelas otomotif, seusai pelajaran sekolah.

Tanpa sadar tangan sebelah kanan Ririn terangkat, seakan ada yang menggerakkan dan berkata, "Saya Kak, saya usul?" katanya.

"Iya, Kakak Ririn dipersilakan!"

"Kak, tanggal itu sekolah kita sedang berkabung, kenapa tidak diundur saja tanggal 15 atau tanggal 16?" Semua mata tertuju kepadanya penuh selidik.

"Kak Ririn yang benar saja? Berkabung kenapa? Sekolah kita sedang tak ada acara apa-apa pada tanggal tersebut." Intan sang bendahara Mapala Cakrabuwana berkomentar.

"Tanggal itu, teman kita Kak Intan, teman kita sedang ada musibah." Ririn tak tahu siapa yang menguasai pikiran dan membuatnya berucap demikian, bersikukuh dengan pendapatnya tersebut. Seakan dia bukanlah Ririn.

"Oke, oke, ada pendampat lain?" Agung menengahinya.

"Tapi, lihat Kak Ririn kelihatan aneh, pandangan matanya kosong. Ada yang bisa membantu Kak Ririn sekarang! Cepat!" Ujang memberikan perintah dengan suara lantang dan panik, sebelum Ririn benar-benar tumbang tak tahu sedang apa dan bagaimana?

Tiba-tiba sudah di ruangan netralisir, ruangan yang disediakan khusus untuk rukiyah. Di sebelahnya ada Kak Siti Nurjanah dan Kak Indri.

"Aku, di mana Kak Indri, Kak Siti?" tanyanya masih kebingungan.

"Tenang Kak Riein, istighfar jangan sampai kosong hatinya!" Kak Siti bersuara dengan lembut di telinga kananku. Sedangkan, Kak Indri masih memegang Al Qur'an dan memegang jemariku.

"Gimana sudah baikan?" Kak Indri bertanya.

"Iya, aku gak apa-apa," jawab Ririn karena memang tak merasakan keluhan apapun, sehat-sehat saja. Badan juga enteng, pandangan juga fress.

"Ayo, kita pulang kalau begitu! Sudah sore!" ajak Kak Siti.

"Siap." Ririn berdiri dengan cekatan, setelah merapikan baju dan mukenanya.

"Semangat sekali kau, Nduk. Kita yang akan mengantarkanmu. Jangan protes lagi, kita ingin sekadar mampir," Kak Indri dan Kak Siti tersenyum melihat Ririn yang linglung, sok imut, masih bertanya-tanya.

###

Tanggal 14 Desember 2018 hari yang telah ditentukan, kami sudah berkumpul di lapangan sekolah pukul 01:00 dini hari, menunggu sekitar satu jam, Anisa dan Galuh tak kunjung datang. Jam 02:00, setelah menunggu kabar, yang dinanti tak kunjung datang. Mereka ditinggal, yang tentunya meninggalkan pesan di grub via WA, juga ke penjaga sekolah.

Perasaanku gusar, tak biasanya mereka seperti ini. Ada yang aneh, janggal. Mereka selalu bersama berangkat dan pulang sekolah karena memang tetanggaan.

Dengan segala pertimbangan akhirnya kami pun berangkat. Truk membawa rombongan kami ke basecamp sekitar satu jam dari sekolah. Rute perjalanan kali ini via Cemoro Sewu.

Pikiranku gusar, entah mengapa selalu saja ada yang hadir menguasai jiwaku, tanpa bisa dikendalikan. Akhirnya aku beranikan diri mempertanyakan kabar mereka ke senior.

Mereka memberikan alibi tidak bisa ikut karena ada suatu hal, kepentingan keluarga yang sangat mendesak dan tidak bisa ikut.

Sampai di basecamp kami diwejang.
"Ingat kita adalah tamu di sini, jangan lupa ucapkan salam, berkata-katalah yang sopan! Jangan becanda yang tidak semestinya, kalau ingin ke belakang izin dahulu, jangan corat coret bebatuan! Jangan memetik bunga edelweis, berselfy boleh, jangan membuang sampah sembarangan! Karena hari masih gelap jaga jaraknya jangan terlalu jauh! Periksa kembali perlengkapannya!" Ujang mulai lagi memberi arahan yang entah keberapa kalinya.


doc.Echo

"Hei, memang Ujang gak dower apa bibirnya, ngomong dari seminggu lalu sudah diulang-ulang lagi!" Ica berbisik ke Sekar yang tak jauh dariku.

"Jangan begitu, dengarkan!" kataku.

"Sok, lo Bell, ini sudah biasa kita lakukan, Kamu juga pasti risih dengarnya?" Sekar mencibir.

"Ini demi kita dan rombongan, Kak Sekar!" ujarku lagi.

"Masa bodohlah, ini musim bunga edelweis aku ingin memetiknya," kata Ica, "buat koleksi."


sumber

Jalanan masih gelap ketika rombongan berangkat dari basecampmenuju pos 1, Wes-wesan.


doc.Efc

"Lho, Anisa, Galuh! Katanya ada kepentingan? Ternyata nyusul juga. Alhamdulillah," kataku melihat mereka berdua sudah berjalan tak jauh dariku memanggul carrier warna biru tua. Mereka tak bersuara hanya tersenyum mendengar pertanyaanku.

"Bell, kamu ngomong sama siapa?" Rara menyenggolku.

"Itu, Anisa sama Galuh katanya ada kepentingan ternyata nyusul juga." Sambil menunjukkan ke arah mereka yang berjalan beriringan.

"Mana Bell, gak ada? Mana Nisa sama Galuh?" Rara celingukan mencari. Namun, yang dicari gak kunjung ketemu batang hidungnya. "Jadi merinding, Bell."

"Itu, jalan di belakang Fajar," kataku lagi. Anisa dan Galuh tersenyum saat aku sebutkan namanya.

"Kak Agus, tolong, jangan jauh-jauh dari kami!" Rara bersuara agak keras dan yang dipanggil mengerti. "Bella, mulai aneh lagi, dia melihat Anisa dan Galuh ikutan naik bersama tadi, padahal dia gak ikut sejak dari awal," katanya dengan rasa was-was. Agus mengangguk, paham.

Pelan tapi pasti, rombongan kami merayap, dengan lampu di kepala kerlap kerlip sebagai penunjuk jalan sesama teman.

Sekitar 1 jam perjalanan kami tiba di pos 1 dan melewati Sendang Panguripan. Istirahat 15 menit.

"Kenapa tadi terlambat?" tanyaku masih penasaran kepada Galuh. Mereka hanya tersenyum tak bersuara. " Ya, sudah kalau gak mau cerita."

"Bella, kamu bicara sama siapa sih?" Rara menoleh ke arah aku menoleh tadi. Agus pun ikut menoleh, "Tiba-tiba bau anyir ya, Kak." Agus dan Rara memegang tengkuknya bersamaan.

"Bau apaan? Wangi gini? Itu aku tanya Galuh, kenapa terlambat?"

"Sudah, sudah Bell, halusinasi terus!" Agus merengut.

Setelah satu jam perjalanan kami tiba di pos 2 Watu Gedeg. Perjalanan dilanjutkan setelah kami diharuskan memakai mantel karena gerimis mulai turun.

"Diharapkan fokus dan ekstra hati-hati. Gerimis jalanan berbatu jadi licin!" Ujang memberikan perintah.

"Mulai lagi dech Ujang, bosan dengarnya." Ica kelihatan ditekut mukanya.

"Eh, Kamu lihat gak, Ca?" Sekar bertanya kepada sohibnya, "barusan aku lihat bayangan." Kembali menoleh ke arah bayangan di balik rerimbun pohon pinus. Akan tetapi, tak menemukan apa-apa.

"Kamu apa-apaan sih? Gak ada apa-apa juga," balas Ica.

"Sudah-sudah ayok, kita berangkat lagi. Nanti tertinggal jauh lho!" Agus menengahi.

Karena gerimis perjalanan jadi molor satu jam setengah baru sampai di pos 3 Watu Gede, ditandai dengan batu besar, kami istirahat sebentar.

"Kita istirahat sebentar di sini! Nanti kita lanjutkan lagi, silakan yang ingin shalat!"

"Bell, kamu kenapa? Mencari sesuatu?" Ujang mendekat ketika melihatku.

"Eh, iya. Tadi aku melihat Anisa dan Galuh ikut rombongan dari basecamp, sekarang kok gak kelihatan ya, Kak?"

"Astaghfirullah, serius Bell?" Ujang terkejut dan mundur beberapa langkah.

"Serius, aku tanyain hanya tersenyum ko, gak menjawab, orang dia berjalan berdampingan di belakang Fajar."

Ujang tahu banget keadaan mereka setelah diberitahu oleh Kak Brama selaku pembina Mapala Cakrabuwana.

"Kenapa, kak? Terkejut?"

"Gak, ada apa-apa, Bell. Hanya heran saja. Sudah shalat belum? Shalat dulu, sebentar lagi berangkat lho?"

"Baiklah, aku shalat dulu. Permisi Kak." Aku pamit berlalu meninggalkan Ujang yang masih terkejut. Antara percaya dan tidak.

"Tiba-tiba amis gini yach. Astaghfirullah. Semoga dijauhkan dari mara bahaya ya Allah. Aamiin," gumamnya nyaris tak bersuara.

Dari balik punggung muncul Kak Brama dan Kak Intan menghampiri, "Ada apa Jang, seperti sedang mencari sesuatu?" tanya kak Brama.

"Kakak berdua mencium bau anyir gak?"

"Gak, ada apa?" Sambil mempertajam indera penciuman. Namun, tak kunjung mencium bau yang dimaksudkan.

Kepala Ujang celingukan, barangkali bisa melihat sumber bau. Kemudian sekilas melihat bayangan di balik pepohonan pinus tak seberapa jauh dari rombongan yang sudah selesai shalat.

"Anisa, Galuh ...."

"Ujang, siapa? Anisa? Galuh?" Kak Brama ikut memperhatikan arah pandangan Ujang, tak menemukan siapapun.

"Aku juga melihatnya, barusan."

"Astaghfirullah, istighfar, Jang. Ayuk, kita bersiap," ajak Kak Brama diikuti Ujang dan Indri menuju kerumunan dan bergabung dengan rombongan yang sudah bersiap kembali.

"Semua masih lengkap? Cek seluruh anggota masing-masing!" Kak Brama memberi komando, "perlengkapannya juga jangan sampai ada yang tertinggal."

"Masih ada 3 post lagi, diharapkan fokus, kerja samanya, dan jangan ada yang terlalu jauh dari rombongan!" tambah kak Agus karena rintik hujan tak kunjung reda.

"Oke, kita berangkat lagi, sebentar lagi mulai fajar. Kalian bisa menikmati arunika (pemandangan yang indah di pagi hari) di pos berikutnya. Insyaallah."

Rombongan pun berangkat, jalanan mulai menanjak, mengharapkan kami lebih fokus.

"Aku, tak melihat Anisa dan Galuh?" tanyaku pada Ica. Mereka malah tertawa lebar dan dengan bibir monyong menjawabnya.

"Anisa dan Galuh gak ikut, Bell. Gimana sih?"

"Lah .... Aku melihatnya bersama ko, dari basecamp sampai post 3 tadi. Setelah itu aku cari gak ada."

"Udah ahhh, diberitahu masih juga ngeyel," Ica berjalan kembali, sambil tangannya memetik beberapa tangkai bunga edelweis. Sudah mulai tampak bunga ini karena hari sudah mulai pagi.

"Jangan Ca, gak boleh!" Larangku setelah beberapa kali Ica dan Sekar memetik bunga abadi itu dan segera memasukkan di balik jas hujannya.




koleksi Echo Berdikari

Akhirnya sampai juga di pos 4 Watu Kapur, setelah perjalanan panjang. Bebatuan dan trek yang lumayan menguras tenaga.

Dari pos 4 ke pos 5 Jolotundo memerlukan waktu 30 menit, di sini kami menemukan sumber mata air Jolotundo.

Dari pos 5 ke Sendang Drajat yang konon digunakan untuk ritual raja, memerlukan waktu sekitar 30 menit, di tempat ini ditemukan tempat pemujaan.

Arunika yang sangat indah tak dapat kami nikmati, udara segar, kabut yang tebal menghalangi jarak pandang kami.

Di pos inilah aku mulai sadar ternyata Ica dan Sekar tak ada di rombongan. Aku mencolek lengan Rara yang ada di sampingku tak jauh juga ada Agus dan Fajar.

"Ra, aku tak melihat Ica dan Sekar sedari tadi? Apa sudah berjalan mendahului atau masih di belakang?"

"Iya, aku tak melihatnya juga. Kak Fajar melihat Ica di depan gak?" Rara ikut mencari keberadaan dua bocah ini.

"Loh, bukanya tadi berdampingan dengan Bella?" Fajar dan Agus berhenti. Kemudian degan HT handytalky bertanya yang sudah ada di depan ataupun yang masih di belakang. Namun, tak ada yang melihat.

"Kita disuruh naik saja dan menunggu di puncak Hargo Dalem (3170 mdpl), di sana nanti ada warung Mbok Yem. Kalian bisa istrahat dan makan di sana. Sementara kita akan mencarinya." Agus memberikan jawaban sekaligus perintah.






sumber

"Tajamkan seluruh indera, barangkali ada yang minta tolong segera kabari!" tambahnya lagi.

"Kak Agus, temani Bella dan Rara sampai pos, jangan sampai kejadian di sekolah terjadi lagi. Aku akan menunggu di sini sampai tim terakhir naik." Fajar membagi tugas.

Tak lama sampai juga di Puncak Hargo Dalem, di sini kami istrahat dan memesan makanan juga teh, kopi hangat. Ada perapian dan tungku yang bisa digunakan sebagai penghangat di warung Mbok Yem.

"Cek seluruh anggota!" Kak Brama memberi komando.

"Ica sama Sekar Kak, gak ada." Fadli yang ketua tim Ica memberi jawaban.

"Sejak kapan mereka gak ada?"

"Baru saja kita sadar sesampai di sini, Kak."

"Ketua tim semua berkumpul, juga senior. Kita bekerja keras untuk mencari Ica dan Sekar. Dari Sendang Drajat ke sini tak jauh, semoga tak terjadi apa-apa."

"Aku ikut Kak," kataku.

"Jangan, kamu di sini dan kalian semua berdoa, semoga tidak terjadi apa-apa. Semoga hanya tersesat dan segera ketemu."

"Aku, tetap ikut Kak."

"Kakak, sudah menghubungi tim SAR, kita berbagi tugas, ada sebagian yang ikut tim SAR."

Setelah serasa cukup memberikan arahan dan instruksi, dengan dibantu tim yang bertugas di pos tersebut. Kami mulai menyusuri jalan setapak tadi yang kami lalui waktu naik. Karena ngotot akhirnya aku diperbolehkan ikut.

Kami kembali menuruni jalanan terjal yang kami lewati, satu tim ada 5 orang dibagi menjadi 3 tim.

Menyibak semak belukar mempertajam indera penglihatan dan pendengaran.

"Kakak, dari arah sana aku merasa hawa hangat. Seperti ada kehidupan," kataku.

Benar juga, setelah kami menyibak semak belukar samar tapi terlihat juga habis terinjak-injak tak beraturan.

"Sekarrrrr .... Ica .... Kalian di mana?" suara lantangku memecah kesunyian di antara bunga edelweis.

"Aku di sini, Bell. Tolong!"

Kemudian kita bergegas mencari sumber suara yang tak begitu jauh.

"Alhamdulillah, yaa Allah. Terima kasih, kau selamatkan teman kami." Semua ikut sujud syukur dan segera memberi pertolongan kepada Sekar yang pingsan.

"Kenapa ini Ica, Kamu baik-baik saja?" Aku memeluknya, mencium kening dan memberikan air minum.

"Kita, hubungi tim yang lain. Beritahu kalau Sekar dan Ica sudah ketemu. Suruh mereka ke mari!" Kak Bhama memberikan perintah, "ceritakan Ica, kenapa bisa tersesat seperti ini?"

Kemudian dengan masih rasa takut Ica mulai bercerita, memisahkan diri dari rombongan karena ingin memetik bunga edelweis.

####

"Lihat edelweis itu cantik, Ayuk kita petik. Bella sedang tak memperhatikan kita," Icha mengajak Sekar memisahkan diri dari rombongan. Setelah melihat bunga larangan untuk dipetik ini, Edelweis. Karena jarang pendaki menemukan bunga ini jika tak musim berbunga.






doc.Echo

"Hei, makin ke sana makin cantik."

Ketika sudah banyak bunga yang mereka inginkan, barulah Ica dan Sekar tersadar. Ternyata hanya berdua di balik rimbunnya bunga edelweis. Tak ada seorang pun di antaranya.

"Aduh kita di mana, Ca? Aku mulai takut. Tak ada siapa-siapa." Belum selesai Sekar bertanya di balik punggung sudah berdiri sesosok wanita berbaju putih, dengan wajah pucat. Namun, masih kelihatan anggun.

"Kembalikan bungaku, kembalikan!" Ada nada pelan masuk ke pendengaran mereka.

"Jangan petik bungaku!"

Mereka menoleh ke sumber suara. Segera Ica berlari sekuat tenaga disusul Sekar. Mereka berlari tak tahu arah dan jalan. Berlari dan terus berlari. Semak belukar ditabraknya. Berharap bisa jauh dari makhluk pucat yang menyeringai dan mengikutinya.

Semakin berlari menjauh, semakin kencang lari mereka, ternyata hanya memutari taman edelweis yang tadi dipetiknya.

"Berhenti Ica! Berhenti! Aku capek, kita istirahat sebentar!" Napas Sekar tak beraturan.

"Aku juga capek, ini kita di mana? Kenapa masih di sini saja? Tadi kita sudah jauh berlari."

"Iya, aku gak mampu lagi berlari. Kabut turun lagi. Lihat baju kita sangat kotor setelah terjatuh beberapa kali.'

"Lihat! Tangan dan kakimu juga terluka. Ada bercak darah," kata Ica sambil menunjuk lutut Sekar.

"Cantik, kalian mau lari ke mana?" Sesosok berwajah ayu sudah berdiri di belakang mereka dengan memegang tongkat kecil. Sambil menyeringai memperlihatkan taringnya yang tajam.

"Ja-jangan, jangan ganggu kami. Kami minta ma-maaf. Tak akan memetiknya lagi."

"Kumohon jangan ganggu kami, kami tidak tahu." Dengan gigil ketakutan dan tangis penuh sesal mereka meminta maaf.

"Kamu, mau ke mana? Bungaku, nakal sekali kau, Nak." Sambil menunjukkan bunga yang ada dalam genggaman Sekar. "Kembalikan!"

Kemudian mereka mengeluarkan seluruh bunga yang dipetiknya tadi. Dengan gemetar dan ketakutan mereka menyerahkan ke wanita berbaju putih dan bermahkota tersebut.

Sekar makin lemah, karena lukanya ia pun pingsan.

****

Setelah memberikan info sudah ketemu, kami menunggu sebentar Sekar siuman. Akhirnya kami kembali menanjak.

Sekar digendong oleh tim yang bertugas di pos saat itu. Ica aku rangkul dan kugandeng, dia masih terisak dan meminta maaf kepada kami semua berkali-kali.




doc.Echo

Setelah istrahat cukup lama sambil menunggu kondisi Sekar, kami bersama berangkat lagi menuju puncak tertinggi Hargodumilah 3265 mpdl.


doc.pribadi


doc.Echo

Sesampainya di sana kak Brama berkata, "Alhamdulillah, kita sampai juga di sini. Puncak tertinggi Hargodumilah 3265 mpdl. Marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah Swt. Atas izinnya kita selamat sampai di sini. Nanti kita bermalam dan mendirikan tenda di tempat ini, turun besok siang. Buat pembelajaran untuk kita semua. Jangan memetik bunga edelweis, yang bukan hak kita. Biarkan keindahannya abadi. Cukuplah berselfy, jangan melanggar peraturan yang ada. Besok agendanya membersihkan coretan di bebatuan."

Kak Brama menelan ludah sebentar kemudian melanjutkan bicaranya.

"Ada satu berita duka untuk kita semua." Dengan nada pelan nampak kesedihan yang teramat dalam.

"Ada apa Kak?" Rasa penasaran tak mampu ditahan.

"Innalilahi wa innailaihi roji'un." Hening seketika.

"Teman kita, sahabat kita, saudara kita telah berpulang kepada-Nya, Anisa dan Galuh dini hari tadi, waktu akan berangkat. Mereka diseruduk bis dari belakang. Kabar kami terima dari keluarganya."

Seketika isak tangis, gemuruh kesedihan memenuhi dada kami. Terkejut dan entah, segala rasa tiba-tiba menyeruak. Tangis histeris dari kami pun pecah.

"Marilah kita mengheningkan cipta sebentar, berdo'a semoga mereka di terima disisi-Nya husnul khatimah, aamiin. Berdo'a menurut agama dan kepercayaannya dipersilakan."

Jadi bayangan yang aku lihat, bau anyir darah adalah pertanda dari kawan kami. Katanya kepala Anisa pecah dan Galuh tubuhnya hancur.

Note: Cerita ini hanya fiktif jika ada kesamaan tokoh, alur, dan tempat itu tidak kami sengaja.
Diubah oleh abellacitra 25-09-2019 16:07
sebelahblog
zafinsyurga
nona212
nona212 dan 40 lainnya memberi reputasi
41
9.9K
136
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
922.7KThread82.2KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.