Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

dinilisdiantiAvatar border
TS
dinilisdianti
Misteri Kereta Api Gaib
Kereta Api Gaib


Perjalanan pulang kampung kali ini sungguh di luar dugaan. Karena terlalu sibuk, sampai mendapat jadwal kereta malam. Ini adalah hal yang paling tidak kusukai, mengingat cerita yang berkembang tentang kereta tengah malam yang sering memakan korban.

Entah itu orang yang tertabrak karena telinganya mendadak tidak bisa mendengar, ataupun cerita tentang kereta yang isinya para makhluk gaib.

Tidak tahu persisnya seperti apa. Pun tidak ingin mengungkap lebih banyak, karena akan menimbulkan sugesti yang kurang baik.

Aku duduk di kursi stasiun depan rel. Embusan angin menerpa rambut hitamku yang dikuncir, sementara bagian poni tergerai sampai alis. Tidak ada yang aneh, terlihat beberapa orang yang hilir mudik, bahkan ada juga yang duduk di kursi persis sepertiku.
Sepertinya mereka menunggu kereta yang sama.


Aku termenung memikirkan kata-kata Linda—sahabatku yang mewanti-wanti untuk tetap berdoa apa pun kondisinya. Mengingat sudah banyak kejadian mistis di sini. Ah, rasanya dia terlalu terbawa mitos. Aku tetap ber-khusnudzon, dan menambah keyakinan jika Allah bersama orang-orang yang senantiasa mengingat-Nya.

"Neng ... inget! Berdoa nanti pas mau masuk ke kereta. Jangan lengah, dan perhatikan tatapan orang di dalam sana. Hati-hati kalau wajah mereka pucat," tuturnya membuat aku terkekeh.

"Iya, lagian aku gak percaya. Maksudnya, tidak seratus persen percaya." Aku mencoba menepis ungkapan segelintir orang tentang pemahaman mitos kereta hantu itu.

Ya, itu adalah kenangan sebelum berangkat meninggalkan kos.
Aku melirik jam hitam di tangan, baru pukul 21.00 malam. Sedangkan dijadwal kereta berangkat pukul 21.15, masih beberapa menit lagi. Namun, suasana terasa semakin dingin. Samar-samar terdengar suara kereta, bahkan terlihat remang-remang lampu menyorot dalam pekatnya kabut malam. Aku berdiri dan memastikan, apa kereta ini yang akan menuju kampung? Mengapa lebih cepat?

Kereta itu tepat berhenti di depanku. Aku menoleh ke sana dan kemari, merasa aneh dengan orang-orang yang hanya diam saja, tidak antusias dengan kereta yang sudah datang. Bulu kuduk terasa merinding, ada hawa aneh yang menerpa membuat tengkuk terasa begitu dingin.

Tidak ... pikiran seperti ini harus ditepis. Pikiran buruk hanya akan menghasilkan hal yang buruk pula. Begitulah keyakinan yang sering diterapkan. Aku tersenyum simpul, saat melihat beberapa orang turun dari kereta, tidak ramai memang. Namun, setelah itu seorang wanita memasukinya. Syukurlah, ternyata kereta itu nyata.

Ransel berisi barang bawaan mulai kugendong, tak banyak isinya. Hanya beberapa potong pakaian. Toh, hanya sebentar. Mengisi cuti kerja untuk beberapa hari. Satu-persatu kaki mulai melangkah menaiki gerbong, aku berhenti di depannya, menoleh ke sana dan kemari. Terdiam beberapa detik. Heran, sudah banyak orang di sini, tapi seolah terasa begitu sepi. Sesekali jemari meraba tengkuk, merasakan aura berbeda di sini.

Mungkin termakan mitos yang berkembang, pikirku, tak berani berhalusinasi jauh. Langkah demi langkah menyusuri setiap kursi, melewati orang-orang yang tengah berdiri dan duduk sebagian. Netra ini menerobos mencari tempat duduk paling nyaman. Aneh, atau hanya perasaan saja. Semua hal di sini terasa begitu dingin. Bahkan orang yang berdiri saat aku lewati tak berekspresi sedikit pun. Tatapan mereka lurus ke depan dengan wajah pucat pasi.

Lupakan hal itu, aku berusaha menepis pikiran buruk. Langkah ini terhenti pada sebuah kursi yang tengah diduduki seorang wanita. Rambutnya panjang nyaris menutupi sebagian wajah, yang terlihat hanya bagian mata sebelah kiri.

Beberapa detik, ia menoleh dan menyeringai. Aku bergidik, lantas bergegas pergi dan duduk jauh di belakang wanita tersebut.

Aku mengambil tempat duduk tepat sebelah jendela, agar bisa menikmati pemandangan malam. Saat netra menerawang keluar, seseorang datang dan duduk di sampingku. Dengan sigap aku menoleh, ternyata seorang Kakek membawa tongkat. Bibir ini memberinya senyuman ramah, ia hanya sedikit melirik dan kembali membuang pandangan lurus ke depan. Masih tanpa ekspresi sama dengan yang lain.

Kereta segera melaju, aku menyadarkan tubuh mencari posisi ternyaman. Sesekali menutup mulut karena rasa kantuk ini membuatku menguap untuk ke sekian kalinya. Pandangan sudah samar-samar, mata pun sudah tak dapat lagi diajak terbuka. Akhirnya semua menjadi gelap.

"Neng, bangun ...!"

Aku terperanjat, saat seseorang membangunkan. Ternyata Kakek yang duduk di sebelah. Ia menunjuk pada petugas yang memeriksa tiket. Tiket diserahkan, tetapi mata tak henti menatap sekitar. Lagi terasa aneh, keadaan di sini sangat ramai dibanding sebelumnya. Kereta terkesan begitu penuh. Apa aku tertidur cukup lama? Sampai tidak tahu jika kereta tengah berhenti di stasiun lain, dan penumpang banyak yang masuk.

Aku mengucek mata beberapa kali, memastikan jika keadaan ini benar adanya. Tubuh kembali bersandar, aku menghela napas berat. Apa yang dipikirkan sudah benar-benar mengganggu waktu istirahat sepanjang perjalanan.

"Ada kerusakan mesin ... ada kerusakan mesin!" Terdengar suara teriakan. Para penumpang semua menjadi panik, mereka berlarian ke sana dan ke mari.

Termasuk si Kakek di sebelah yang melafalkan doa-doa, sesekali ia menangis sembari meneriakkan kalimat takbir dan zikir. Jantungku berdetak cepat, merasakan ketakutan yang luar biasa. Lari ... mau lari ke mana? Lompat pun itu hal yang tidak mungkin. Aku berdiri memeluk ransel, tubuh ini bergetar hebat dengan keringat dingin mengucur deras.

Ini akhir hidupku. Aku akan mati, pulang hanya dengan membawa nama, dan ....
Cittt ... braakk!

Aku tersentak dengan napas yang terengah, keringat pun mengucur deras. Kecelakaan itu? Hanya mimpi? Aku bangkit, lantas kembali menerobos pandangan ke sekitar. Ini orang-orang yang sama sebelum tadi tertidur, bahkan Kakek sebelah pun masih ada. Ia tertunduk sembari mengetuk-ngetuk tongkatnya membuat suasana hening ini terasa merinding.

"Kek, permisi. Bisa hentikan suara tongkat itu," pintaku. Namun, tak ia gubris.

"Kek, permisi ... Kek." Aku menepuk bahunya beberapa kali. Perlahan kepalanya mengarah ke arahku. Netra ini membulat saat bola mata itu meleleh mengeluarkan cairan kental berbau anyir. Aku berdiri dan menjerit ketakutan, semua orang mengarah ke mari. Muka pucat dan tatapan dingin dengan sosok-sosok menyeramkan itu memandangku tajam.

Jantungku berdetak cepat, napas terengah menahan sesak. Bak terjebak dalam kereta yang dipenuhi mayat hidup. Ada tubuh yang tergantung di atas, sosok yang duduk di bawah meronta tak punya kaki, sebuah tangan yang merayap tanpa tubuh, orang yang duduk dengan badan rusak dan luka bakar. Belum lagi bau hangus dan anyir yang seketika membuat perut terasa mual.

Dengan membaca ayat kursi dan semua hafalan yang aku mampu, kaki melangkah melewati sosok Kakek yang masih menatap tajam. Aku menangis tersedu berharap kereta berhenti dan segera turun. Satu demi satu sosok menyeramkan itu aku lalui. Tatapan mereka lurus ke depan, tak ada yang menyentuh bahkan mengganggu. Hanya saja, suara tangisan dan tawa melengking membuat hawa mistis semakin kuat.

Aku terpejam beberapa detik saat melewati anak kecil yang berdiri tepat di hadapan tanpa luka, hanya saja pakaiannya sedikit bernoda merah. Ia melambai ke arahku dan berjalan perlahan. Apa maksudnya aku harus mengikuti arahannya?

Masih dengan melafalkan ayat suci Al-Quran, aku melangkah mengikuti gadis misterius itu. Ia mendekati pintu dan membukanya, sementara kereta masih melaju begitu kencang. Apa dia menyuruhku melompat? Ini namanya bunuh diri.

Tidak ... aku tidak mau.
Jamari mungil itu menunjuk ke arah luar, tatapan si kecil begitu sendu. Aku membalas netra indah itu dengan saksama, seolah mengisyaratkan kejujuran—bahwa ia menunjuk sesuatu yang benar.

Dadaku semakin sesak, saat memandang ke bawah, menyaksikan laju kereta yang begitu cepat. Pandanganku beralih kembali ke dalam, Wajah-wajah dingin dan pemandangan mengerikan yang membuatku mual itu memaksa untuk memutuskan sesuatu.
Aku menutup mata sejenak, merasakan kencangnya angin yang menerpa di pintu kereta yang terbuka. Ya, sudah kuputuskan. Dengan segala keyakinan dan tak henti mengucap asma Allah, aku melompat memasrahkan diri pada Penguasa langit dan bumi.

Aku menutup mata, menyerahkan jiwa dan raga. Tubuhku seolah terasa melayang, sampai aku terperanjat, saat pundak ini terasa ditepuk oleh seseorang. Mata pun memaksa terbuka, membelalak menyaksikan sesuatu di luar dugaan.

Apa? A-aku di mana?

Netra menatap sekitar dengan pikiran bingung. Aku sudah berada di stasiun yang sama, tempat menunggu kereta saat akan berangkat ke kampung. Aku masih merasa bingung, menatap wajah-wajah yang sudah tidak asing bagiku. Mereka melontarkan banyak pertanyaan, membuat kepala berdenyut hebat.

Lebih membuatku tak mengerti, saat orang-orang memelukku, sementara bibir pun masih terasa kelu.

"Kamu ke mana saja, Neng? Beberapa hari ini kami mencarimu. Bahkan kamu tidak ada kabar. Ibu khawatir," ucapnya berurai air mata.

Banyak sekali orang bahkan polisi. Mereka mengucap alhamdulillah dan memelukku bergantian.

"Bapak sampai minta tolong Pak Kyai untuk menemukanmu, Nak. Allah masih melindungimu ... terima kasih, Gusti."
Entah, aku tidak mengerti. Mulut seolah terkunci ... masih merasa aneh dengan situasi ini. Hampir tak bisa membedakan, apa ini nyata? Apa mereka manusia, atau bahkan sejenis dengan sosok yang ada di kereta?


Entahlah.

Misteri Kereta Api Gaib
Diubah oleh dinilisdianti 10-02-2020 00:59
nona212
nona212 memberi reputasi
1
1.1K
5
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Buku
BukuKASKUS Official
7.7KThread4KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.