Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

mambaulathiyahAvatar border
TS
mambaulathiyah
Dewi Ambarwati
Dewi Ambarwati
Part 1

"Rakai Ambar! Lihat!" Suara Dwipa, bawahan sekaligus pengawalku yang gagah membuatku segera berlari ke arahnya. Telunjuknya mengarah pada sebuah perkampungan yang sudah habis dilalap api. Sisa bau gosong daging panggang membuat bulu kudukku berdiri.

"Periksa, Dwipa. Bawa dua prajurit bersamamu," perintahku sambil memicingkan mata menatap sekelebat kain merah yang terbang di udara dengan cepat.

"Lalu, Rakai?"

"Tak usah hiraukan aku. Periksalah. Jika sudah selesai tembakkan saja anak panahmu dan aku akan datang."

Dwipa mengangguk, dua prajurit dibawanya dan aku menunggu tanda mereka di antara rimbunan pohon jati besar dengan bunyi burung hantu yang memilukan.

Tidak lama, busur panah Dwipa melesatkan dua anak panah yang menancap di pohon jati belakangku.

Kenapa dia melesatkan dua anak panah?

"Celaka! Rakai! Mereka dibantai habis." Bunyi pesan pertama.

Namun, sebelum aku sempat membaca pesan yang kedua serangan anak panah yang banyak mulai memburuku. Aku mengeluarkan kipas mustika dan menarikan gelombang tenaga dalam bersamanya. Dengan sekali hempas anak panah yang menyerangku jatuh berceceran.

"Siapa kau!" Aku berteriak sambil mengambil langkah seribu mengejar pria berbaju lorek coklat dengan penutup muka bergambar harimau. Gerakan gesit seringan udara. Langkah kakinya yang cermat menandakan dia adalah ahli bela diri kelas tinggi. Satu serangan dari senjata rahasianya hampir saja mengenai tubuhku.

Sayang, senjata itu memang luput dariku tapi berhasil membuyarkan konsentrasiku. Lelaki itu menghilang diantara celah jurang yang tinggi dan dalam. Suara desah napasku pun menggaung di antaranya.

Sial. Aku kehilangan jejak. Kemudian kubuka pesan kedua yang terselip dari anak panah Dwipa.

"Lari. Rakai. Jebakan!"

Aku segera bergegas kembali ke lokasi awal, kemudian terus berlari menuju perkampungan yang tadi terbakar. Nyawa Dwipa terancam bahaya.

***

Perkampungan di depanku sudah habis terbakar api. Tiang-tiang yang kokoh sebelumnya telah terhapus menjadi puing-puing tak berarti. Asap dan bekas pertarungan tertinggal di sana. Bau daging gosong menusuk hidungku. Hingga kulihat sosok itu, berpakaian warna merah bata dengan tali pengikat kepala dengan simbol kerajaan Loyala di kepalanya.

Dwipa. Batinku memanggil.

"Dwipa!"

Aku segera terbang di antara banyaknya korban pembantaian dan mendapati tubuh itu telah tak bernyawa. Wajah Dwipa hancur tersayat. Satu tangannya terkepal.

"Dwipa! Bangun! Kau sudah berjanji kepada Sahiya. Dwipa! Dwipa!"

Kenapa semua ini harus terjadi sekarang, saat seharusnya Sahiya, teman terbaikku menikah dan mendapatkan kebahagiaannya?

Apa yang akan kukatakan kepada Sahiya. Dewi cantik putra kerabat raja itu haruskah bersedih untuk kedua kalinya? Lalu kedua prajuritku yang tadi bersama Dwipa memanggilku dari belakang.

Wajahnya penuh darah, tubuhnya penuh luka.

"Rakai. Kami diserang. Prajurit satu kehilangan lengan," katanya melirik satu temannya yang menahan derita lukanya.

"Segera kembali ke kadipaten. Temui Raden Rahayu dan mintalah pengobatan."

"Baik, Rakai. Lalu Rakai?"

"Aku masih ada urusan," jawabku singkat.

"Bantu aku menguburkan Raden Dwipa. Dan kabarkan kematiannya kepada Romo Adiwilarang dan Den ayu Sahiya. Bawalah ini bersama kalian." Aku melepas ikatan kepala Dwipa dan menyerahkannya kepada dua prajuritku tadi.

Mereka mengangguk dengan wajah penuh kesedihan. Kesederhanaan Dwipa adalah cermin teladan seorang ksatria yang sangat welas asih kepada prajurit bawahannya. Dia, juga seorang sahabat yang baik, bawahan yang selalu bisa mengingatkan kesalahanku.

"Satu lagi ...."

Aku membisikkan sesuatu kepada mereka. Mereka mengangguk dan segera pergi setelah pemakaman Dwipa.

Tepat saat ingatanku melamunkan bayangan kesedihan penduduk kadipaten, seorang anak menangis nyaring di belakangku.

"Kakak ... Kakak ...." ucapnya parau. Tubuhnya menggigil. Wajah lucunya pucat menahan sakit dan dia ambruk di dekatku. Melihat mata sipitnya yang tidak selebar orang Jawa sepertinya dia bukan warga sini. Dia juga tadi memanggilku apa? Bukan bahasa sini. Saat kubuka pakaian robek di dadanya, bekas ajian tapak besi gunung Jonggring menembus ulu hatinya.

Aku menggumamkan satu nama. Raka Damar? Hanya dia satu-satunya pewaris ajian sakti yang sudah punah ini. Mungkinkah?

Namun, dia tak mungkin sejahat itu.

Bersambung ....

Ada yang suka silat atau beladiri? Stay tune di sini 😘🥰

Catatan :

Rakai : Nama gelar seorang penguasa wilayah
Kakak : panggilan untuk saudara yang lebih tua bangsa Champa
Raka : Sebutan untuk saudara yang lebih tua di era Majapahit
Diubah oleh mambaulathiyah 06-02-2020 05:45
grg.
nona212
fakhrie...
fakhrie... dan 30 lainnya memberi reputasi
27
5.5K
69
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.