- Beranda
- Berita dan Politik
Bukan Asli Betawi, "Lu", "Gue", dan "Cincong" Ternyata Terpengaruh Kultur Tionghoa
...
TS
doombringer2211
Bukan Asli Betawi, "Lu", "Gue", dan "Cincong" Ternyata Terpengaruh Kultur Tionghoa
Quote:
JAKARTA, KOMPAS.com - Eksistensi warga keturunan Tionghoa sudah diakui oleh penduduk Indonesia, terutama warga Jakarta.
Sejak ratusan tahun silam, penduduk etnis Tionghoa sudah tinggal di Jakarta, bersosialisasi, dan bercengkerama akrab dengan pribumi.
Hal tersebut rupanya juga berpengaruh terhadap sejarah dan kebudayaan di Jakarta sendiri. Jika kita menengok ke kawasan Pasar Baru, Glodok, hingga Kota, tampak jelas bentuk bangunan bergaya khas Tionghoa berjajar rapi di sepanjang jalan.
Ada yang disulap jadi toko, ada juga yang dibiarkan menjadi cagar budaya.
Begitu juga dengan makanan, gaya bicara, hingga pakaian sedikit banyak memengaruhi kehidupan warga Jakarta sampai saat ini.
Yang paling terasa adalah penggunaan kata–kata. Rupanya banyak dari kita tidak sadar bahwa sebagian kata yang kita pakai sehari–hari lahir dari bahasa Tionghoa pada zamannya.
Yang paling dekat yakni penggunaan kata “lu” dan “gue”.
Siapa sangka jika bahasa yang kerap dipakai anak muda sampai sekarang ini berasal dari kebudayaan Tionghoa.
Hal tersebut dipaparkan Alwi Shahab dalam bukunya yang berjudul Waktu Belanda Mabuk, Lahirlah Batavia.
Kata “cingcay” dan “cincong” juga terkadang kita pakai dalam bahasa pergaulan sehari–hari. “Cingcay” biasa diartikan untuk menutup sebuah percakapan yang berarti “sudahlah”.
Sedangkan “cincong” kerap dipakai untuk menyebut seseorang yang banyak bicara (banyak cincong).
Beberapa nama yang kita anggap sebagai bahasa asli Betawi juga ternyata merupakan bahasa Mandarin. Salah satunya “encang” yang berarti paman dan “encing” yang berarti bibi.
Selain itu, nama–nama makanan yang akrab di telinga kita rupanya berasal dari bahasa Mandarin.
Contohnya teh, kecap, juhi, lobak, kue, kucai, lengkeng, kuaci, dan tengteng merupakan nama–nama jenis makanan.
Menu hidangan utama yang sering kita santap sehari–hari pun ternyata ada yang berasal dari nama yang kerap dipakai etnis Tionghoa.
Contohnya bakso, siomai, lumpia, capcai, bacang, tongseng, mi, dan puyunghai.
Bahkan, soto yang selama ini dianggap sebagai makanan khas Indonesia ternyata merupakan nama dari bahasa Mandarin.
Beranjak dari makanan, ternyata hal yang sama juga terjadi dalam pemberian nama beberapa benda atau perabotan rumah tangga.
Nama–nama barang yang berasal dari bahasa Mandarin pun tercatat dalam buku sang budayawan Ridwan Saidi yang berjudul Profil Orang Betawi.
Beberapa di antaranya teko, piso (pisau), cawan, kemoceng, langkan (semacam bale–bale), pangkeng (kamar), cita, topo (alat pembersih kain), anglo (alat masak), kasut (kaus kaki), lonceng, loteng, sampan bakiak, wayang, gincu, genteng, dan masih banyak lagi.
Tidak bisa dimungkiri, warga turunan Tionghoa memang sudah tidak asing lagi dengan kegiatan dagang-berdagang.
Aktivitas jual beli sudah sejak lama dilakukan di Jakarta sehingga sedikit banyak memengaruhi bahasa warga setempat dalam berniaga.
Hal tersebutlah yang membuat munculnya beberapa istilah dari bahasa China yang akrab di telinga.
Beberapa di antaranya gotun (lima rupiah), captun (sepuluh rupiah), cepek (seratus rupiah), seceng (seribu rupiah), ceban (sepuluh ribu rupiah), dan masih banyak lagi.
Banyaknya bahasa China yang kita adaptasi membuktikan bahwa masyarakat memang sudah menyatu dengan warga keturunan Tionghoa. Itu juga yang menandakan warga pribumi dan pendatang dapat tinggal secara bersamaan dengan rukun dan damai.
Kita berharap rasa kebersamaan dan saling menghargai ini bisa terus terjalin hingga selamanya. Dengan hidup berdampingan, niscaya hidup rukun tanpa keributan atau konflik akan selalu kita nikmati hingga selamanya.
SUMUR
viniest dan 40 lainnya memberi reputasi
39
13K
Kutip
319
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
680.5KThread•48.6KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya