Ramainya pemberitaan mengenai Kerajaan Agung Sejagat di Purworejo memang geleng-geleng kepala. Jika diperhatikan, menurut klaim sepihak dari “Sinuhun” Totok Santoso Hadiningrat, mereka telah memiliki pengikut atau yang biasa disebut Followerratusan orang. Berdasarkan tampilan beberapa foto yang viral itu, wajah-wajah pengikutnya tampak tanpa dosa atau memang malas menggunakan logikanya. Bagaimana para pengikutnya dengan begitu mudahnya mempercayai sebuah isu yang kebenarannya masih belum teruji dengan benar?

source:googleimage

Pengakuan Totok Santoso yang mendaku sebagai raja, kemungkinan memiliki gangguan jiwa delusi. Meski untuk mengarah ke kesimpulan itu diperlukan sebuah pemeriksaan oleh pihak yang berkompeten, akan tetapi bila merujuk pada tindak-tanduk suami Dyah Gitarja ini, hipotesa seakan menuju kepada hal tersebut. Selain menceritakan hal-hal yang absurd, semisal meminta Amerika Serikat mengembalikan kekuasaannya, entah kekuasaan apa yang dimaksud, bahkan menyatakan jika Pentagon sesungguhnya adalah kepunyaan Kerajaan Agung Sejagat, bukan milik pemerintah yang saat ini Presidennya bernama Donald Trumph. Pernyataan super delusi bukan? Atau malah beneran edan?

Munculnya fenomena aneh-aneh dari warga +62 ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah. Sebab ditengarahi motif ekonomi turut serta bermain dan berperan besar dalam perkara ini. Berdasarkan informasi dari berbagai sumber, pihak “kerajaan” mewajibkan pengikutnya untuk membayar sejumlah uang, atau katakanlah “upeti” jika ingin menjadi bagian dari keluarga besar kerajaan tersebut. Nominalnya juga tidak sedikit. Upeti tersebut nantinya akan di konversi menjadi seragam ala kerajaan. Dengan demikian, pemakai seragam tersebut, nantinya akan ditasbihkan menjadi keluarga besar kerajaan yang memiliki lambang mirip dengan lambang milik Nazi, lengkap dengan bintang Daud ala Israel. Nah….!!!

source:googleimage

Motif ekonomi dalam Kerajaan Agung Sejagat ini mengingatkan penulis akan kejadian kelam beberapa tahun silam tentang “Yang Mulia Dimas Kanjeng Taat Pribadi”. Beliau, dianggap manusia sakti yang dengan kesaktiannya sanggup menggandakan uang. Sialnya, pengikut Dimas Kanjeng juga banyak dan beberapa diantaranya justru memiliki gelar akademik yang seharusnya mampu berpikir dengan baik dan benar. Meski modus berbeda, sepertinya Kerajaan ala Totok Santoso bernuansa sama. Memanfaatkan orang-orang yang diberi anugerah otak, namun enggan untuk menggunakannya.

Pendidikan adalah ruh dari sebuah bangsa. Doktrinasi demikian selalu ditanamkan sejak dini oleh pemerintah kepada penduduknya di negara-negara maju. Filosofis tersebut pula yang mengakar di benak bangsa Yahudi yang tersebar di seluruh dunia. Seperti yang sering didengar oleh Albert Einstein dari orangtuanya.

Jika metode dan kualitas pendidikan telah tepat sasaran, hal-hal yang di luar nalar akan berguguran dengan sendirinya karena dimentahkan oleh logika. Jika pun masih ada, namun tidak akan menimbulkan gelombang tsunami kebodohan yang menyeret banyak orang dalam pusarannya.

Oleh karena itu, butuh komitmen dan keseriusan dari pemerintah dan pihak lain yang terkait untuk menemukan formula yang sesuai agar kebodohan semakin berkurang melalui sistem pendidikan yang baik. Selain berkualitas, pemerataan pendidikan di setiap jengkal bumi pertiwi ini adalah sebuah keharusan.

Penulis yakin, pengikut Kerajaan Agung Sejagat, Dimas Kanjeng Pribadi, Kerajaan Ubur-ubur, maupun penipuan-penipuan modern lainnya dengan pola yang canggih, disebabkan karena rendahnya daya kritis. Dalam hal ini, pendidikan seharusnya memainkan peranannya lebih. Atau memang penduduk negeri ini doyan akan hal-hal yang bombastis demi menepikan persoalan hidupnya yang pelik? Ya nggak tahu juga…