Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

i.am.legend.Avatar border
TS
i.am.legend.
Sejarah Banjir Besar Jakarta, Sejak Zaman VOC Hingga 2020


Sejarah Banjir Besar Jakarta, Sejak Zaman VOC Hingga 2020

Jakarta, CNN Indonesia -- Rentetan banjir besar Jakarta telah berlangsung lama bahkan bencana itu sempat terjadi tahun 1600-an, tepatnya saat Jan Pieterszoon Coen menjabat sebagai Gubernur Jenderal VOC.

Saat itu, Coen membangun sejumlah kanal dan sodetan Kali Ciliwung. Cara ini ia tempuh untuk mengatasi banjir yang melanda Batavia (sekarang DKI Jakarta), namun tak membuahkan hasil.

Banjir besar terjadi menerjang Jakarta tahun 1918 saat pemerintahan Gubernur Jenderal VOC Johan Paul van Limburg Stirum. Dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1920, Stirum mencanangkan Kanal Banjir Barat.

Pembangunan Kanal Banjir Barat itu dimulai dari Pintu Air Manggarai hingga Muara Angke. Saat itu, ketinggian air mencapai 1,5 meter di beberapa titik.

Menurut situs Historia, pada masa kolonial, pemerintah membentuk Department van Burgerlijke Penbare Werken (BOW) tahun 1918. Lalu diserahkan kepada Gemeentewerken atau badan yang mengurusi perhubungan dan perairan di tingkat kotapraja pada 1933.



Saat itu, pemerintah Belanda menggambarkan 25 ribu gulden (mata uang jaman penjajahan Belanda) untuk menanggulangi banjir di daerah Jembatan Lima, Blandongan, dan Klenteng.

Puncak pengendalian banjir di Jakarta diketahui terjadi pada 1913 sampai 1930. Tahun 1927, pemerintah sempat mengeluarkan 288.292 gulden.

Banjir Jakarta Tahun 1960 sampai 1970-an

Usai Indonesia dinyatakan merdeka dari penjajahan, masalah banjir kembali menjadi perhatian tahun 1965. Saat periode yang sama, pemerintah membentuk Komandao Proyek Pencegahan Banjir dan berganti nama menjadi Proyek Pengendalian Banjir Jakarta Raya tahun 1972.



Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin saat itu juga menggandeng pihak asing yaitu Netherlands Engineering Consultants untuk membangun waduk dalam kota serta pembuatan saluran baru seperti saluran Cengkareng dan Cakung.

Meski Ali telah melakukan perpanjangan saluran kolektor, normalisasi sungai sampai sodetan kali, banjir besar tetap terjadi awal 1976.

Banjir Besar Kembali Menerpa Jakarta tahun 2000-an



Saat kepemimpinan Sutiyoso (periode 1997-2007), Jakarta dilanda banjir besar tahun 2002 dan 2007. Namun, banjir tahun 2007 lah yang lebih luas dan banyak memakan korban jiwa.

Setidaknya ada 80 jiwa yang harus merenggut nyawa. Kerugian material akibat lumpuhnya perputaran bisnis saat itu mencapai triliunan rupiah dan warga yang mengungsi sekitar 320.000 ribu jiwa.

Curah hujan yang cukup deras menyebabkan tanggul jebol di Banjir Kanal Barat (BKB) aliran Kali Sunter. Akibatnya, kawasan Jatibaru-Tanah Abang dan Petamburan tergenang air setinggi 2 meter.

Era Sutiyoso pun berakhir, banjir besar lagi-lagi menerjang Jakarta tahun 2015. Saat itu, curah hujan masuk kategori ekstrem, (diatas 150 milimeter (mm) per hari) yakni 170 mm.

Curah hujan tinggi ini terjadi di Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Timur bagian utara, Tangerang, dan Pasar Minggu di Jakarta Selatan.

Empat tahun berselang tepatnya saat malam pergantian tahun 2020, Jakarta kembali diguyur hujan lebat tanggal 31 Desember 2019 sekitar pukul 17.00 WIB sampai 1 Januari 2020 sekitar pukul 11.00 WIB. Curah hujan yang mengguyur tercatat 377 mm per hari. BMKG menyebut curah hujan ini tertinggi sejak 1996.

Akibatnya ada 169 titik banjir di seluruh wilayah Jabodetabek dan Banten, seperti disampaikan Kapusdatin dan Humas BNPB Agus Wibowo. Titik banjir terbanyak berada di Provinsi Jawa Barat 97 titik, DKI Jakarta 63 titik dan Banten 9 titik.

Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa wilayah yang paling terdampak banjir adalah Kota Bekasi (53), Jakarta Selatan (39), Kabupaten Bekasi (32), dan Jakarta Timur (13).
(din/DAL)
sumber

******
Sejarah manusia ditulis untuk dipelajari dan jadi pelajaran berharga. Dengan sejarah kita bisa menarik sebuah kesimpulan untuk menentukan sebuah langkah besar.

Tertulis disana, bahkan seorang pemimpin kala itu, yang jelas-jelas seorang penjajah, memperhatikan wilayah yang dikuasainya untuk tetap aman. Tertulis jelas, JP Coen berusaha agar Batavia atau Jakarta bisa terbebas dari banjir. Usaha. Itu kata kuncinya.

Jujur. TS jelas tidak pernah merasakan jaman Kompeni dan dipimpin oleh JP Coen atau penerusnya. Tapi TS pernah merasakan Jakarta dipimpin oleh Bang Ali, seorang pemimpin yang punya karakter, tidak naif, tidak munafik, tidak jaim. Pemimpin yang berani berkata A ya A, B ya B. Bukan hari ini bicara A, besoknya C atau D. Atau bahkan Z.

Meskipun era Bang Ali, TS masih SD, tapi TS telah bisa merasakan Jakarta tertata rapi. Pepohonan yang rindang disana-sini, jalanan yang bagus dengan aspal mengkilat, sekolah yang bagus, dan buku pelajaran yang terjamin. Tebal penuh ilmu, bukan tebal penuh narasi yang dibuat-buat agar tebal.

Era Bang Ali banjir? Ya. TS merasakan beberapa kali, dan terbesar adalah tahun 1976. Tapi jangan berpikir bahwa air sungai yang meluap dulu sama seperti jaman sekarang. Meskipun banjir, hampir tak ada sedimen lumpur meninggalkan jejak. Airnya juga terbilang jernih. Bahkan ikan sepat, mujair, emas, peting, lele, gurame, gabus, bisa terlihat jelas penampakannya. Dan benar kata Anies Baswedan, tak ada anak-anak yang tak suka banjir. Semua suka. Bisa berenang bebas dan bermain air sepuasnya.

Tapi ini bukan soal anak-anak. Yang mungkin menganggap kondom adalah balon tiup yang bisa membuat senang. Bukan cuma banjir. Bahkan kondom jadi mainan sudah biasa dijaman TS kecil. Teman TS tuh yang suka mainin kondom punya bapaknya yang kumisnya melintang, yang tugas di Bea Cukai.

Ya. Ini bukan soal anak-anak. Ini soal banjir. Penanganan masalah banjir.

Lihat, betapa seorang pemimpin selalu berusaha menjadikan wilayahnya aman bagi masyarakat yang dipimpinnya.

Era Sutiyoso, banjir besar terjadi tanggal 2 bulan 2 tahun 2002. Apa kejadiannya sama dengan tahun 2020 ini? TS hanya ingin mengingat sebatas wilayah tempat TS tinggal. Itu banjir terparah yang TS alami. Jangan tanya bagaimana kondisi Kemang dan sekitarnya. Tenggelam! Kali Krukut menenggelamkan wilayah sisi kiri kanan tanpa ampun. Memutus jalur darat dari Blok M kearah Pancoran, Pasar Minggu, Ragunan.

Tapi banjir 2002 bukanlah banjir terluas. Tahun 2007 adalah banjir terluas. Jakarta lumpuh total. Korban jiwa dimana-mana. Namun apakah Sutiyoso sebagai Gubernur Jakarta kala itu dimaki-maki? Tidak. Koq bisa? Sebab Sutiyoso telah bekerja keras, berusaha membuat Jakarta lebih baik tanpa pencitraan. Meskipun banyak kekurangan, Sutiyoso banyak memberi pondasi bagi gubernur-gubernur seterusnya.

Jadi, sebenarnya yang dibutuhkan dari seorang pemimpin adalah niat baik, mau berusaha, mau dikritik, mau menerima saran. Menempatkan sesuatu pada porsinya tanpa berpikir untung rugi bagi dirinya. Mengutamakan masyarakat lebih dahulu. Mementingkan fungsi lebih dahulu sebelum bicara estetika. Tahu etika dibanding retorika.

Era Fauzi Bowo atau Bang Foke, pondasi makin dibuat. Masalah banjir tetap jadi prioritas utama. Mengapa? Karena semua sadar, kontur tanah Jakarta terletak lebih rendah diatas permukaan laut. Tapi semua tidak menyerah dan tidak boleh menyerah.

Era Joko Widodo atau Jokowi, pondasi yang dibangun Foke diteruskan tanpa dibantah. Bahkan pembangunan waduk Ciawi-Sukamahi diwujudkan setelah Jokowi menjadi Presiden.

Era Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok, dia menerima tugas dan mandat yang berat. Tak peduli dianggap tak berperikemanusiaan oleh beberapa pihak, penggusuran dilaksanakan demi kepentingan yang lebih besar dan luas. Bagi ibukota dan masyarakatnya. Bahkan berani menolak permintaan seorang ibu agar wilayahnya taj digusur dengan iming-iming memilihnya dalam Pilkada. Apa penggusuran ini hanya ada dan marak di era Ahok? Salah besar! Era Sutiyoso lah penggusuran marak dilakukan sampai-sampai Megawati yang jadi Presiden kala itu banyak dicaci maki masyarakat Jakarta. Seolah-olah Sutiyoso berbuat begitu atas arahan dan restunya.

Sekarang, era Anies Baswedan atau Abud, eh Abas, eh apalah sebutannya. Semua mandeg. Berhenti. Masalah banjir bukan lagi prioritas. Kenapa? Karena Anies pasrah pada kenyataan bahwa Jakarta lebih rendah dari permukaan laut. Pasrah. Anies bertumpu pada Sunatullah. Air masuk kedalam tanah. Mungkin pemikiran sederhananya, karena Jakarta lebih rendah dari permukaan laut, maka air yang mengalir ke laut dari seluruh sungai di Jakarta akan berbalik kembali ke gunung. Jadi yang terpenting adalah berdoa. Berdoa agar tidak hujan. Berdoa agar tidak banjir. Kalau hujan deras, anggap itu berkah. Kalau sampai banjir? Anggap itu musibah. Begitu mudah. Soal sungai? Biarkan apa adanya. Air lama surutnya? Buat lubang agar air bisa masuk kedalam tanah. Air tak masuk-masuk? Air tengah antri. Harusnya kita malu pada air yang rela mengantri, budaya yang hampir hilang di masyarakat kita.

Menurut Anies, seharusnya wilayah diatas Jakarta menahan air agar tak masuk Jakarta. Tak ada banjir kiriman tapi banyak genangan dimana-mana karena sampah yang meyumbat? Itu sampah kiriman dari luar Jakarta.

Jadi intinya, semua salah hingga Jakarta banjir. Kalau hujan lebat? Mungkin salah BPPT. Kan BPPT bisa merekayasa cuaca. Padahal negara-negara maju saja selalu mengantisipasi banjir tanpa bertumpu pada rekayasa cuaca.

BPPT tak kuasa merekayasa cuaca karena intensitas awan pembawa hujan terlalu besar? TS takut ngomongnya. Tapi mungkin Anies bisa menyalahkan Tuhan.

Ternyata JP Coen lebih berusaha dibanding Anies Baswedan. Dan itu fakta yang tak bisa dibantah.

Ngopi ah...


yoan1925
sebelahblog
4iinch
4iinch dan 66 lainnya memberi reputasi
63
12.9K
154
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671KThread40.9KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.