Senja Di Bandara
Saya mencoba memberikan senyum terindah sambil mengulurkan tangan. Kau mencoba membalas, meski sebatas ringisan. Hujan menggambar cahaya menjadi suram. Senja yang muram. Hujan juga begitu terlatih memetakan gigil di pelupuk kaca. Dingin menyelimuti seluruh calon penumpang pesawat di ruang tunggu ini.
Bunyi pengumuman bahwa pesawat merah itu akan delay sekitar setengah jam lalu, membuatku de javu. Si merah lagi, si merah lagi. Mengapa sih dia suka diberikan rapor merah yang memualkan? Saya mengumpat.
Tadi, sejak turun dari taksi, saya sudah membayangkan kasur empuk. Saya telah membasuh tubuh dengan air suam-suam kuku. Mungkin masih ada sisa minuman di kulkas. Tentu ditemani kripik, suasana dingin menjadi sedikit, yah, menyegarkan. Sembari berbaring di kasur sambil menggonta-ganti channel, waktunya berburu film yang paling romantis di akhir pekan ini.
Brengsek! Tapi setelah pengumuman delay, hidup saya seakan punah. Sebuah lagu melow dari headphone, saya yakin tak akan berhasil mendinginkan rasa. Malahan menambah banyak antrian gerutu dan gerutuan. Kalau ada Olympiade Gerutuan Tingkat Dunia, mungkin saya akan menjadi pemenangnya.
Saya mencoba membunuh suntuk sembari membaca novel dengan tebal 400 halaman, yang sudah tiga kali saya khatamkan. Tapi jujur, ada beberapa halaman yang saya lewatkan, karena akan mengganggu pikiran saya tentangmu. Artinya, saya tentu akan mengingatmu lebih dalam.
Dan syukurlah, setelah kita duduk berhadapan, saya seolah mendapat durian runtuh. Entah kenapa hati saya berorak riang. Saya harus meminta maaf kepada si merah. Perantaranya, saya harus menunggu tak pasti. Perantaranya pula sehingga saya bisa bertemu dirimu. Dengan sebuah senyum ringisan. Dengan menjaga image sambil menyembunyikan tangan di balik kantung blazer. Artinya, apakah kau risih menerima uluran tangan saya dengan telapak kasar karena tak ada perempuan yang merawatnya?
Saya ingat pertengkaran itu di awal retaknya hubungan kita. Kau membuyarkan gairah meja makan di malam itu. Kau bercerita tentang gadis mungil, berwajah manis, yang tak mempunyai ayah-ibu. Kau sudah menanyakan ke induk semangnya, dan dia setuju-setuju saja. Kau bertanya kepada gadis mungil itu. Kau akhirnya mendapat pelukan girang darinya. Katamu, tangis tak terbendung. Kau pun setuju gadis mungil itu akan kita adopsi.
Dengar, bukan kita adopsi! Kau sendiri yang mau mengadopsinya. Saya merasa terhina. Saya tahu setelah kecelakaan hebat di kilang minyak itu, membuat saya kehilangan kejantanan. Saya diultimatum dokter tak akan bisa memberikanmu kepuasan bathin. Dengan mengaposi si gadis mungil, apakah kau ingin menyindir, saya tak bisa memberimu anak? Shit!
Padahal sperma saya tak masalah. Kenapa kau tak pernah menanyakan saya bagaimana kalau kita mengikuti program bayi tabung di Singapura?
Oya, ternyata saya menemukan bukti beberapa minggu kemudian. Bau parfum Bvlgary Man yang lengket di blousemu. Saya selalu marah-marah setelah itu. Saya tak pernah mau mendengar pertanyaanmu, apa sebenarnya masalah kita.
Dan bukti selanjutnya, saya melihatmu berulangkali dengan seorang lelaki tampan di beberapa restoran. Saya catat ada sekitar lima kali. Lagi-lagi kita bertambah sering ribut. Saya pun memutuskan kita pisah ranjang. Sebulan berselang pisah rumah. Setahun kemudian kita---sebenarnya saya yang ingin---berpisah untuk tak bertemu lagi. Bukankah itu lebih baik daripada kita seakan setumpuk bara dalam sekam, yang pada akhirnya akan menjelma api?
Sehingga berbulan lalu saya mendapat cerita dari teman akrabmu, bahwa lelaki yang sering bertemu dirimu adalah seorang dokter kandungan. Kau sebenarnya ingin bertanya banyak tentang seluk-beluk program bayi tabung. Dan mengenai parum itu, ya, Allah. Kenapa saya lupa kau adalah pemilik sebuah butik? Kau juga menjual parfum bermerk. Yah, saya sadar, terkadang sakit hati yang sengaja dibuat-buat, pada akhirnya membuat diri kalap. Jujur, saya waktu itu sangat kehilangan akal sehat.
Saya akhirnya tersentak. Ruang tunggu bandara mulai sepi. Kau pelan menepuk bahu saya. Saat itulah saya sadar, hanya seorang perempuan setengah tua yang saya lihat dari tadi. Saya menepuk kening dengan kesal. Ternyata kerinduan, apalagi dibarengi rasa bersalah, akan mempercepat kehilangan akal sehat. Dan saya semakin buta karena menginginkanmu.
---sekian---
Quote:
Original Posted By RifanNazhif►
sumber ilustrasi
Aku terbangun karena suara anak-anak ribut di depan rumah. Hari masih siang, tapi tidurku terhalang. Tadi malam aku bekerja shift malam. Ingin rasanya membentak anak-anak itu.
Aku mencari sendal dengan ujung jempol kaki. Melihat wajah kusut di cermin. Kurang tidur! Aku baru saja terlelap sekian menit. Ah, anak-anak itu.
Hampir saja aku membentak mereka, tapi urung. Aku melihat Anton di situ. Dia anakku yang bertubuh bongsor. Suka berseberangan denganku. Sering membantah. Hampir setiap hari dia ribut berebut ponsel, atau beragam lainnya dengan si bungsu.
Apa sih yang mereka bicarakan? Tak sadar, bukan membentak mereka, aku malah menguping.
“Ayahmu suka marah nggak?” Itu pertanyaan Anto kepada kawannya.
“Kadang-kadang. Kalau aku malas disuruh apa-apa, dia suka membentak. Tapi ketika tidak ada yang akan dikerjakan, dia lebih suka di belakang komputer. Atau sibuk bertelepon. Bila dia sedang senang, aku sering diajak jalan-jalan. Ayahmu suka marah nggak?”
“Enggak!”
“Asyik sekali! Aku ingin memiliki ayah yang demikian.”
Anton menghela napas. Dia melanjutkan, “Ayahku memang nggak pernah marah. Tapi sejak aku berumur empat tahun, dia mulai sering mengajariku agar pintar marah.”
“Maksudmu?”
Dan mulailah kenangan itu dikupasnya satu demi satu. Tentang seorang ayah yang pulang kerja hampir mirip banteng mengamuk. Si ayah menanyakan mana minumannya. Sementara seorang perempuan sedang menyuci pakaian di kamar mandi.
Si ayah marah-marah tak tahu aturan. Anton ada di antara mereka seakan kain gombal yang tak ada perasaan. Anton mungkin mulai berpikir, marah itu asyik. Si ayah berhasil perempuan itu menangis, ditambah sebuah engsel terlepas, hasil kesuksesannya memukul daun pintu.
“Pokoknya hampir tiap hari ayahku di rumah, kerjaannya marah-marah. Segala macam kata-kata jorok terbang dari mulutnya. Berbagai nama binatang berlompatan. Sejak itu aku mulai belajar bagaimana cara marah.” Mata Anton seakan tertawa bengis.
Dia merasa bersyukur karena akhirnya setelah berusia enam tahun, dia memperoleh adik baru berjenis kelamin perempuan. Dia pendam keinginan mempraktekkan cara marah hampir empat tahun. Artinya, saat itu adiknya mulai mengerti dengan orang yang sedang marah.
Maka ketika ayahnya marah-marah dengan perempuan itu sepulang kerja, timbul giliran Anton memarahi adiknya, sedangkan si ayah sedang tertidur. Segala upaya Anton lakukan. Dia selalu berusaha membuat keributan. Misalnya, dia meminta perempuan itu membuat semisal es susu. Maka dia katakan kepada adiknya, bahwa es susu itu bukan main lezatnya. Saat si adik merengek minta dibagi, mulailalah Anton marah-marah mengeluarkan kata-kata jorok dan seluruh nama penghuni kebun binatang.
Hasilmya, mulutnya mulai belajar bagaimana pedasnya cabe giling. Perempuan itu yang melakukannya. Dia meminta ampun, berjanji tak akan melakukannya. Tapi besok dan besoknya lagi, dia dengan senang mengulang lagi, meski gagang sapu mulai bisa bicara. Meski dia sering diisiolasi di kamar mandi. Alangkah nikmatnya!
Si ayah juga seakan tak tahu malu sering mengomel. Bahwa marah-marah itu tak baik. Temannya setan. Anton hanya bisa terseyum. Sungguh tak sopan melawan guru. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Itu artinya marah yang dia punya, levelnya harus lebih tinggi dari level marah si ayah.
Rumah pun bagai kapal pecah oleh suara. Bising sekali setiap hari. Keributan yang memang diciptakan. Menciptakan amarah membara yang bisa membakar siapa saja.
Anton berdiri. “Asyik kan menjadi pemarah itu? Ayah berhasil mengajariku. Sekarang aku harus bekerja lagi.” Dia seakan tentara siap perang mendatangi seorang gadis kecil yang sedang bermain anak-anakan. Boneka-boneka berhamburan dia tendang. Suara tangis terdengar, diikuti lengkingan istriku dari dapur. Sementara aku hanya bisa terduduk lesu di depan cermin. Melihat wajah seorang lelaki; ayah yang gagal mendidik anakya.
-----
Quote:
Original Posted By RifanNazhif►
sumber ilustrasi : pixabay
Gua masih duduk di kafe itu dengan seragam putih abu-abu. Bingung, kan? Padahal senja jingga benar-benar lelap, setelah tadi telah berhasil merawat sore yang singkat. Jam menunjukkan pukul delapan tepat, selepas Isya.
Harusnya anak putih abu-abu malam ini sedang di rumah sedang menonton film Korea. Ada setangkup kacang rebus di depan gua. Semangkok mie kuah instan belum dijamah. Pun segelas besar teh manis yang masih mengebul.
Andai pun ada anak putih abu-abu duduk kongkow di kafe, paling tidak sudah mengenakan blouse mewah. Bibir memasta mewah. Kerjap mata hasil polesan make up. Dan tentu saja parfum mahal menguar seluruh kafe, membuat jakun setiap cowok turun naik, membayangkan yang tidak-tidak.
Lu kenal Leo? Siswa baru di SMA 37. Sudah keren, tongkrongannya Pajero hitam metalik. Dapat lu bayangkan betapa bangga berhasil menjadi mangsa cintanya.
Gua sendiri takjub ketika perburuan cinta ini menemui sasaran. Tiga hari setelah kami mulai dekat, dia mengajak gua ketemuan di Kafe Mawar Hitam ini.
Bukankah itu membanggakan?
Apa tanggapan Loli, Priska, Mira---geng cewek gokil---bila tahu Leo akhirnya memetik gua.
Bukankah itu membanggakan? Bagaimana mungkin cewek rumahan tapi bukan murahan seperti gua bisa jalan bareng dengan cowok idaman milenial. Diajak ketemuan di kafe tongkrongan cowok-cowok tajir dan keren lagi. Hello, siapa yang sanggup menolak?
Jangan salahkan gua tak pulang ke rumah selepas sekolah. Gua bayangkan Mama akan banyak petuah dan larangan. Bla-bla-bla, anak cewek putih abu-abu belum boleh jalan dengan cowok. Keluar rumah pada malam hari yang dingin, banyak angin, masuk angin, gembung, siapa yang tanggung jawab? Iya, kalau yang diperoleh akhirnya titel MBA, tapi kalau bukan titel, bagaimana? Ah, peduli amat.
Gua menunggu hari gelap dengan sowan ke beberapa mall. Hampir pukul tujuh malam, gua memasuki kafe, duduk paling sudut, di sisi remang. Bukan karena gua ingin merasakan romantis cinta bersama Leo. Semata-mata gua tak ingin ada kerabat dekat mengetahui keberadaan gua di kafe ini.
Tapi sampai semalam ini batang hidung Leo belum kelihatan. Gua mulai panas dingin. Apalagi serigala-serigala cowok seperti mulai mengendus keberadaan gua.
"Hai, sendirian, ya?" Nah, apa yang gua takutkan mulai terjadi. Seorang cowok tinggi-besar, berjambang, menunjukkan wajah nafsunya.
"Oh, tidak! Gua sedang menunggu, teman."
"Cowok atau cewek? Kalau teman lu cewek, baiknya kita duduk bareng. Minum sama-sama itu, kan asyik!"
"Teman gua cowok," tekan gua.
Untunglah kafe itu termasuk solider, sesama cowok dilarang saling mendahului, Bagaimana kalau tak solider? Gua yakin akan menjadi kornet yang siap dinkimati.
Pukul setengah sembilan malam, Leo belum terlihat. Apakah dia sengaja mengerjai gua?
Gua mulai ngeri pulang ke rumah. Apa alasan gua baru pulang sekolah selarut ini? Bla-bla-bla, gua mau jadi apa?
Gua melihat di layar ponsel ada lima panggilan tak terjawab dari Mama. Mampus gua! Entah apa jadinya ini.
Tiba-tiba ada suara ribut di luar kafe. Terdengar suara tembakan. Seluruh pengunjung kafe menghambur. Gua berjalan tertunduk di belakang mereka. Saat itulah gua melihat Leo dipiting seorang polisi. "Leo?!" ucap gua tak percaya dengan sangat lirih.
"Leo itu temanmu, ya?" Seseorang di sebelah saya mencoba bertanya. Gua mengangguk samar. "Kasihan, masih muda sudah menjadi pengedar narkoba."
Pengedar narkoba? Gua terbelalak. Gua semakin terbelalak melihat siapa teman gua berbincang itu.
"Kita itu harus pintar-pintar memilih dan memilah teman. Jangan hanya dia pujaan kaum milenial, kita menjadi gelap mata.
Sepuluh menit kemudian, setelah dia menyelesaikan urusannya di kantor polisi, kami akhirnya membelah malam kota, dengan mengendarai Toyota. Gua merasa amat takut.
Dia memeluk kepala gua. "Sudah! Semua urusan rumah, Om yang bereskan. Om akan jelaskan kepada mamamu. Asal kau lebih selektif lagi memilih kawan."
"Gua janji, Om." Gua memeluk pinggangnya erat-erat.
---sekian---
Quote:
Original Posted By RifanNazhif►
sumber
Kali ini tentang Mak Onah yang berjualan nasi uduk dan lontong di pertigaan jalan, sejauh selemparan batu dari tempatku mengajar.
Sepertinya dia berusia lebih tua berapa tahun dari Ebok, ibuku. Atau, apakah usia mereka sepantaran? Hanya tekanan ekonomi yang membuatnya lekas tua.
Meski istri selalu menghidangkan sarapan menarik yang mengantarkanku berangkat kerja, tapi tetap saja aku sarapan sedikit. Buah tangan Mak Onahlah yang akhirnya berhasil menggenapkan kenyang. Apakah karena sarapan kreasi istriku kalah enak dari buatannya? Tidak juga. Atau, apakah...? Oh, aku yakin ini sebab aku tak dapat menanggung rindu kepada Ebok. Perempuan tua itu
keras kepala diajak pindah ke rumahku. Katanya dia betah berkampung. Agar lebih dekat bila ingin menjenguk Abak, ayahku, di pekuburan pinggir kampung?
Kendati malam sekali pun.
Bila demikian aku harus mengalah. Hanya bisa mengelus dada.
Dan pagi itu karena terlambat bangun, terlambat pula aku mengicip sarapan dari Mak Onah. Mudah-mudahan dia hapal untuk menyisakan sepiring-dua nasi uduk, sebab laparku sering dobel.
Tapi aku salah, isi termosnya masih penuh nasi uduk. Di etalase berjejer lontong berselimut daun pisang. Lalu, ke manakah dia pergi? Aku celingak-celinguk, dan akhirnya melihatnya terseok, keluar dari satu gang, bersama anak kecil.
Siapa anak itu? Anaknya? Ah, mustahil! Atau? Ya, anak kecil itu mungkin cucunya.
Melihatku sedang berdiri di dekat warungnya, dia salah-tingkah. Dia terburu menyiapkan sarapanku, dan terburu pula mengurusi anak itu.
Dia akhirnya berhasil membujuk anak itu dengan sebuah balon. Saat dia menghidangkan teh panas di depanku, aku sontak bertanya, "Anaknya ya, Mak Onah?" Dia melotot dan mengatakan bahwa anak itu cucunya. Aku menjawab dengan kekehan. "Orang tuanya mana?" lanjutku.
"Bapaknya lagi ngebengkel."
"Ibunya?"
"Ke Malaysia. Dia diterima menjadi tkw. Dua hari lalu berangkat. Dia kerja di sana selama dua tahun."
What? Lama sekali hingga dua tahun? Mak Onah hanya tersenyum sambil mengejar anak itu. Nakal betul si bocah.
Kasihan Mak Onah. Kenapa anak-mantunya berbuat begitu? Aku terbayang seorang ibu muda yang terlihat repot mengurus anaknya. Dia berulangkali terbangun malam karena si anak ngompol atau ingin susu. Berkali pula dia tak jadi shalat karena mukenanya terkena ompol. Berkali, dan berkali.
Ketika beranjak besar si anak mulai bandel. Berulangkali membuat modar kepala anak tetangga. Harus keluar-masuk sekolah untuk menyelesaikan permasalahan kenakalan. Lalu, dia dewasa, pacaran, dan ngebet kimpoi.
Ibu itu meminjam sana-sini, menjual harta ke sana-ke mari, agar pernikahan anaknya sukses dan membanggakan.
Apakah cukup sampai di situ? Oh, tentu saja tidak. Seharusnya setelah anak menikah, maka tugasnyalah yang menyenangkan ibu. Membiayai hidupnya. Tapi ternyata si ibu harus berjibaku mencari nafkah. Bahkan tak tahu malu, anak-mantu terkadang nebeng hidup.
Apakah saat ingin hidup lebih mapan, anak-mantu tega membuat ibu menjadi babu? Memomong cucu yang nakal nggak ketulungan?
Kasihan Mak Onah. Dia mencoba terlihat ikhlas, meski hatinya hancur. Aku tak sadar meneteskan air mata saat membayar sarapanku.
Sesampai di kampus, aku telepon Inong. Aku minta dia berhenti kerja dan harus memomong anak sendiri. Ebok bukan babu kami.
Inong terkekeh. "Sejak kapan kita sudah punya anak. Mas?"
Aku menyeka keringat di tengkuk,k lalu menepuk kening, merasa malu.
---sekian---