Muara, Ya, itu namaku. Aku diberi nama Muara dengan harapan aku selalu menjadi tujuan akhir dari setiap orang, maka tak ada lagi pilihan selain aku. Akupun berharap begitu, berharap menjadi tujuan akhirmu tanpa ada orang lain yang membuatmu memutar arah.

Namun sekarang aku tak percaya diri dengan arti namaku itu. “Ra, kapan kamu pertama kali jatuh cinta?” ia bertanya padaku. Selama ini aku hanya jatuh cinta dua kali, cinta pertama dari seseorang yang harus kulupakan akibat keputusannya menikah dengan wanita lain, dan kedua padamu. 

“Aku pernah menjalin hubungan lebih dari sepuluh kali, dan yang terlama sebelum kamu”, ia berkata dengan polosnya.

Aku sudah tahu, namun mengapa aku harus tau? Tak penting bagiku sebanyak apa kamu berpacaran dan jatuh cinta sebelumnya. Yang penting pada akhirnya kamu memilihku. “Itulah masalahnya Ra, aku masih mencintai wanita yang empat tahun lalu bersamaku”, ungkapnya.

Apa ini? Tiba-tiba aku menjadi tak mengerti, otakku tak mampu menerima jenis informasi ini. Petir menyambar dalam dadaku. Aku bertanya dalam hati. Lantas, selama ini? Apa arti dia memilih bersamaku? Apa arti dari kata dia menyukaiku sebelum ini?

“Aku Trauma Ra, aku Trauma dengan hubunganku dulu yang kandas. Dan aku sakit melihat dia sekarang bahagia bersama orang lain. Aku tak siap terluka dan tersakiti lagi”.

What The! Bagaimana denganku? Bagaimana dengan hatiku? Bagaimana dengan traumaku? Bagaimana dengan usahaku membuka hati untukmu? Bagaimana dengan usahaku mengerti dirimu? Bersabar saat kau menghilang berbulan-bulan, bersabar menuggu kabarmu di tengah malam, bersabar menunda waktu tidur demi menjadi “diarymu” setiap malam.

Ia memposisikan dirinya sebagai korban, lantas bagaimana denganku? pertanyaan itu berkecamuk dalam hati. Lebih dari itu, mulut ini seakan sudah tak kuasa berkata-kata. Aku juga orang yang trauma, aku juga sedang berusaha bangkit dan lukanya masih belum kering sejujurnya.  Anehnya aku hanya bisa terdiam, tak cukup lagi tenagaku.

Baiklah, ku kumpulkan sisa tenaga dan otak warasku untuk memulai bertanya.

“Aku mengerti kau apa adanya, aku bahagia saat kau bilang dulu memilihku. Hingga sekarang, akupun akan berusaha mengerti kenyataan bahwa aku sebenarnya tak pernah memiliki hatimu. Aku serahkan semua padamu, jenis cinta seperti apa yang kau mau? Jika kau masih ingin mencoba bersamaku, mari kita jalani. Jika tidak, akupun tak memaksa karena ada beberapa hal di dunia ini yang tak bisa dipaksakan. Salah satunya adalah hati”.

Setengah mati ku utarakan isi hati, setengah mati ku kumpulkan tenagaku untuk menyampaikannya. Namun sampai hati, satu patah katapun tak keluar dari mulutnya. Dua jam aku menunggu, jawabnya hanya,”aku akan pikirkan lagi!”

Seketika aku pergi dan berkata, tak perlu kau pikirkan. Biar aku yang mundur, aku yang pergi. Kau bahkan tak tahu jenis cinta bagaimana yang kau ingini, bagaimana kau tahu akan cinta yang tulus? Aku pergi agar kau bisa mengejar jenis cinta yang membuatmu tak bisa pergi dari masa lalu itu. Aku tahu diri sebagai orang yang hanya menemanimu kala kau butuh. Aku tak tahu jenis cinta macam apa hingga tak bisa kau utarakan.

Tulus, aku ucapkan selamat tinggal semoga kau bahagia.

-MUARA-