Novianti686Avatar border
TS
Novianti686
Bu Imas, Penuntun Jalan Menuju Cahaya


Bu Imas, Penuntun Jalan Menuju Cahaya


Inspiring People


Matahari masih malu-malu menampakkan sinarnya, adzan subuh pun belum berkumandang. Perempuan berusia empat puluh tahun itu sudah sibuk dengan segala rutinitas pagi menjalankan tugas seorang ibu dan istri. Berbenah rumah, menyiapkan sarapan dan makan siang, baju seragam anak-anak, juga segala keperluan untuk dirinya dan sang suami beribadah menyongsong hari berikhtiar mencari rezeki dan Ridho Illahi. Tidak ada gurat lelah di wajah itu, bibir tipisnya selalu menebar senyum. Kata yang terucap selalu memberi makna, hatinya penuh dengan rasa syukur dan ikhlas yang tak terhingga. Dia adalah Imas Rofi'ah, seorang guru yang bekerja tanpa lelah, menjalankan tugas tanpa berharap balas jasa.

"Ayah, ibu berangkat. Hari ini Sabtu, jadi ibu ngajar di dua tempat, SMP PERKAPEN lanjut ke Sekolah Terbuka."

Sang suami yang baru menyelesaikan sholat subuh, bergegas keluar dari kamar, " ayah antar sampai terminal. Jangan lupa bawa payung atau jas hujan, pulangnya kalo susah cari angkutan umum pake ojek aja."

Bu Imas tersenyum, "liat nanti, Yah. Sayang uang kalo naik ojek." Diraihnya tas kerja yang sudah disiapkan sejak semalam.

"Kalo gitu, sepulang urusan dari Kota, ayah jemput ibu ke Sekolah Terbuka. Ngajar sampe jam berapa?"

"Jam empat sore, semua keperluan si Teteh sama Ade udah disiapin," ucapnya lagi.

Masih pukul 5.15 pagi, namun waktu baginya sangat berharga. Dia harus memberi contoh baik, bahwa disiplin itu penting diterapkan meski harus menempuh perjalanan sangat jauh. Tidak ada alasan untuk terlambat, kecuali untuk sesuatu hal diluar kuasa manusia.

Setelah mencium kening kedua anaknya yang sedang menyiapkan diri untuk sekolah, Ibu Imas berangkat menuju terminal dengan diantar sang suami. Dia mengeratkan mantel, udara dingin pagi selalu lancang membelai kulit Bu Imas. Kerudung yang digunakan berkibas-kibas diterpa angin pagi yang sedikit ganas. Jalanan berbatu dan becek, mengajarkan si kuda besi yang dipacu sang suami semakin tangguh melaju mengantar sang guru menebar ilmu.

Fajar mulai menyingsing, jingganya masih terlihat samar. Terminal pun mulai ramai, si ibu duduk di salah satu angkutan pedesaan, berdesakan dengan penumpang lain yang baru kembali dari pasar.
SMP PERKAPEN(Persatuan Karyawan Perkebunan) adalah sebuah sekolah yang berada di ujung Kabupaten Bandung, berdiri megah di atas gunung dan dikelilingi perkebunan Teh. Dulu saat PTPN (PT. Perkebunan Negara) masih berjaya, banyak sekali anak-anak buruh dari perkebunan teh melanjutkan sekolah di sekolah ini. Namun setelah PTPN tidak lagi seperti dulu, banyak dari anak-anak yang harus mengubur mimpi melanjutkan sekolah karena tersendat biaya. Tidak hanya anak-anak yang harus mengubur mimpi, tetapi juga banyak sekolah PERKAPEN yang kini tinggal nama seiring dengan hilangnya masa jaya PTPN. Ah, ironis bukan? tidak bisa dipungkiri di saat pendidikan menjadi yang utama sebagai tolak ukur kemajuan sebuah negara, mereka yang mau belajar malah harus memaksa diri memupus mimpi meraih cerahnya masa depan.



(Pict: Koleksi Pribadi: SMP NEGERI PERKAPEN RANCABALI - CIWIDEY-KAB. BANDUNG-JaBar )

Selain Bu Imas dan para rekan guru, yang harus berjuang mengejar waktu untuk sampai sekolah, para murid pun sama. Mereka berangkat pagi-pagi buta, menembus perjalanan panjang sekitar 7KM dengan berjalan kaki. Tidak ada gurat lelah di wajah mereka. Meski setelah selesai sekolah, para murid itu harus pulang tergesa memburu waktu untuk membantu orang tua mereka bekerja. Ya, sekolah dan bekerja menjadi sebuah kewajiban untuk para malaikat kecil itu. Meski pada kenyataannya, banyak dari para orang tua yang memandang sebelah mata tentang dunia pendidikan. Karena menurut mereka tidak bisa dijadikan jaminan hidup lebih baik. Hanya buang waktu dan uang, malah menghambat para bocah itu untuk membantu bekerja mengais rezeki untuk kelangsungan hidup dan sesuap nasi.




(Pict. Koleksi Pribadi, SMP PERKAPEN)

Angkotan pedesaan berhenti tepat di gerbang sekolah yang dulu pernah gagah dan berjaya. Kini wajah sekolah ini dibuat terpaksa tetap terlihat seperti itu, agar pendidikan tetap berada di puncak utama. Bu Imas yang sejak tadi menikmati perjalanan dengan melukis masa depan dalam angan, terhenyak dari lamunan. Sebaris senyum terkembang, saat kernet angkutan mengingatkan bahwa sudah sampai tujuan. Selembar uang sepuluh ribu diberikan sebagai ongkos.

Perempuan itu turun dari kendaraan dengan wajah dibuat cerah, meski sebenarnya kantuk dan lelah masih mendera. Dia mencoba menghirup segarnya udara pagi, berharap kantuk segera sirna. Senyum kembali terkembang saat celoteh para siswa menghiasi pendengaran, ini yang menjadikan hidupnya berwarna, berbunga dan semakin bersemangat. Sirna semua keluh kesah akan kekhawatiran atas masa depan, karena gaji pas-pasan dan keahlian tutup lubang gali lubang menjadi solusi hidup Bu Imas dan rekan sejawat lainnya. Untuk bu Imas dan suami, selalu mencari cara untuk segera menutup semua lubang itu. Salah satu di antaranya dengan menyambi mengajar di tempat lain dan menerima tawaran sebagai pengelola sebuah Taman Pendidikan Anak. Dengan harapan lubang-lubang yang sudah tertutup tidak kembali digali. Lelah, pasti. Tetapi semua dilakukan dengan Lillah, dirinya berharap semua menjadi berkah meski tidak melimpah. Keceriaan anak-anak menjadi penghiburan yang teramat sangat di saat hati tengah dilanda gulana karena kenyataan sering kali tidak sesuai dengan harapan.

Dulu saat PTPN masih hidup, para guru pun ikut hidup. Para karyawan perekebunan tidak segang mengumpulkan urunan untuk sekadar penambah ongkos bagi guru-guru yang masih berstatus honorer atau sukwan. Namun kini, harapan tinggal harapan, seiring terjun bebasnya masa kejayaan PTPN maka terjun bebas juga keadaan ekonomi masyarakat sekitar. Jangankan membayar biaya sekolah dan memberi urunan untuk kesejahteraan para guru, untuk makan dan biaya hidup pun, mereka harus bersusah payah untuk mendapatkan sejumlah rupiah.

Tidak mudah mengabdikan diri di sekolah yang berada di pelosok negeri, di mana perekonomian berada di bawah rata-rata. Para orang tua ada yang perduli namun banyak juga yang memandang sebelah mata. Menyedihkan memang, tapi inilah peran perempuan berkerudung ini, terus menebarkan ilmu tanpa lelah. Mengantar para bocah itu meraih asa untuk mendapatkan masa depan lebih cerah. Tidak hanya melulu pendidikan formal yang diajarkan, Bu Imas pun membekali mereka dengan berbagai kerajinan tangan dan keahlian mengolah makanan yang bisa dipasarkan, sebagai bekal jika kelak mereka dewasa dan tidak bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.

Kreatif itu menjadi hal utama untuk tenaga pengajar di sekolah ini. Dikarenakan banyak keterbatasan alat peraga pendidikan, maka alam menjadi solusi sebagai alat peraga yang memudahkan kegiatan belajar mengajar. Kegiatan ini menjadi hal yang ditunggu para siswa, selain menyenangkan juga membuat mereka refresh dengan segala kepenatan pelajaran sekolah dan bekerja.


(Pict. Koleksi Pribadi, Siswa SMP PERKAPEN)

Selepas mengajar di SMP PERKAPEN, dia kembali mengejar waktu untuk mengajar di Sekolah Terbuka yang dinaungi sebuah sekolah negeri di kota kecil ini yaitu SMU Negeri 1 Ciwidey. Agan dan Sista bisa bayangkan, perjalanan panjang menembus waktu dari atas gunung menuju kota, bukanlah perjalanan cahaya yang bisa dilakukan sekelebat mata. Namun entah terbuat dari apa raga Bu guru satu ini, tanpa lelah dengan suka rela dirinya mengejar waktu demi murid-murid SMU Terbuka yang sengaja menyenggangkan waktu Sabtu dan Minggu nya untuk belajar. Ya, para siswa Sekolah Terbuka itu berharap masa depan lebih baik dengan pendidikan setara.

Para murid SMU Terbuka, terdiri dari karyawan toko, pabrik juga para remaja yang menikah muda. Tidak bisa dibohongi, banyak dari masyarakat pedesaan yang terpaksa menikah muda karena menuruti keinginan orang tua yang ingin segera lepas dari kewajiban. Atau mereka yang baru sadar bahwa pendidikan itu penting adanya, tidak hanya untuk kebutuhan bekerja, tetapi juga untuk mereka membangun rumah tangga lebih sejahtera.




(Pict. Koleksi Pribadi, SMU TERBUKA)

Lillah, itu yang membuat perempuan ini selalu semangat menjalani semuanya. Jangan pernah Agan dan Sista tanya berapa gaji yang didapat oleh para pengajar ini. Bu Imas dan rekan, tidak bekerja demi uang. Meski sebenarnya kebutuhan hidup tidak bisa di esok lusa-kan, dan tidak bisa dipungkiri jika bekerja adalah untuk menafkahi keluarga dan diri sendiri. Tetapi jika sudah cinta, bukan hanya uang yang menjadi ukuran, tapi rasa kewajiban yang tertanam dalam diri. Jika tidak orang-orang seperti Bu guru Imas dan rekan, masihkah ada orang-orang yang perduli terhadap dunia pendidikan di pelosok negeri yang semakin miris ini?

Agan, Sista, ini lah yang membuat Ane menjadikan sosok Ibu Imas ini sebagai Inspiring People Ane dalam thread kali ini. Rasa syukur dan perjuangannya, tidak bisa terukur oleh rupiah. Dia mengajarkan setiap orang dengan kesabaran, syukur tanpa mengeluh. Motto hidup Bu Imas: "Berbakti pada mahluk hidup dan juga mahluk mati," terdengar sangat ambigu, namun bermakna dalam bagi Ane yang menjadikanya tauladan.

Untuk Bu Imas, kesuksesan murid-muridnya adalah bonus luar biasa yang tidak ternilai nominal. Apa yang dilakukannya seperti yang tertulis dalam sebuah hadis riwayat al- Bukhari dan Muslim, sbb:

“Demi Allah, jika Allah memberi petunjuk kepada satu orang berkat ajakanmu maka itu jauh lebih baik (bagimu) daripada kekayaan paling berharga."

Itulah beliau, wujud nyata dari hadis riwayat yang Ane baca.

Ada secuil harapan yang pernah diucapkan bu Imas pada Ane, yang selama ini hanya tersimpan dalam hatinya sebagai sebuah doa, yang entah. Yaitu, harapan: andai PTPN kembali berjaya, andai para buruh perkebunan kembali bekerja, andai perekonomian kembali normal, mungkin tidak akan ada anak-anak yang terhambat pendidikannya karena faktor keadaan. Juga para tenaga pengajar tidak akan dilema seakan berada di ujung tanduk kematian. Namun semua hanya harapan ambigu seorang guru yang belum tentu ada yang mau tahu. Karena semua terasa semu, untuk berharap terlalu banyak pada para penguasa yang begitu terlihat tangguh.

Ane sendiri memiliki harapan dan doa; andai diberi kesempatan dan rezeki melimpah, ada rasa ingin melakukan hal yang sama di saat kelak sudah lepas dari pekerjaan yang terikat waktu. Jujur jika bertemu dengan beliau selalu ingin mendekap tubuhnya erat, meski tanpa kata, Ane ingin sampaikan bahwa, "you are my inspiring woman in my life." Tidak mudah menjalani hidup sebagai wanita bekerja, berpacu dengan waktu antara kewajiban di rumah dan kewajiban sebagai penebar cahaya.

Akhir kata, semoga thread ini bermanfaat dan memberi inspiring kepada GanSis yang membaca. Juga menjadikan Bu Imas dan para rekan pengajarnya sebagai inspiring people GanSin agar lebih menghargai makna hidup dan kesempatan yang telah kita dapat. Bekerja dengan Lillah dan bersyukur atas semua pencapaian adalah kata kunci utama menuju cahaya ketenangan jiwa. Itu inti yang Ane dapat dari seorang Bu Imas, penuntun jalan menuju cahaya.


Bandung, 26 Nopember 2019
#NoviYanti
#Novianti686






Diubah oleh Novianti686 26-11-2019 12:46
AdelineNordica
darmawati040
nona212
nona212 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
757
4
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Event from Kaskuser
Event from KaskuserKASKUS Official
3.3KThread621Anggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.