Indonesia menjadi salah satu negara yang dirugikan lantaran aksi ektremisme yang ada di berbagai dunia. Hal ini berdampak negatif pada hubungan antarumat beragama di Indonesia yang bisa terganggu.

Tetapi perlu disadari, aksi ektremisme yang dilakukan oleh kelompok tertentu tidak terlepas dari kemajuan teknologi. Bahkan terkait erat dengan globalisasi.

Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Wakil Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Komjen Pol Dharma Pongrekun di acara Indonesia Islamic Young Leaders Summit 2019.

Padahal, bangsa Indonesia sejak dahulu kala dikenal sebagai bangsa yang menjunjung semangat Bhinneka Tunggal lka, bersatu dalam keragaman. Tapi semangat ini mulai terkoyak sejak arus globalisasi menyerbu negeri ini dalam dua dekade terakhir.

Radikalisme dan terorisme dinilai bagian dari rekayasa ketakutan yang diciptakan oleh rezim globalisasi. Pola pikir manusia tidak akan bisa lepas dari dunia teknologi informasi dan komunikasi.

Rekayasa yang diciptakan rezim globalisasi ini menimbulkan pola pikir manusia dipenuhi rasa takut dan akhirnya mencari perlindungan kepada yang kuat.

Program globalisasi, meliputi uang, kekuatan dan kontrol populasi. Sedangkan, melalui strategi globalisasi dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM).

Yang jelas, globalisasi merupakan sistem dari suatu suprasistem yang bertujuan merekayasa kehidupan dengan cara memanipulasi pola pikir manusia melalui berbagai rekayasa ketakutan. Antara lain dengan rekayasa kecerdasan, rekayasa konflik dan penyerangan rekayasa.

Harus diakui bahwasanya globalisasi telah membawa kerusakan fatal bagi kehidupan umat manusia antara lain runtuhnya nilai-nilai sakral dalam kehidupan, raibnya keintiman hubungan sesama manusia, pudarnya integrasi sosial yang murni, serta perubahan gaya hidup yang meninggalkan moralitas dan agama.

Kita harus sadar dengan bahaya era kiwari ini. Oleh karena itu, kita perlu mencari jalan alternatif untuk mengatasinya.