nevertalkAvatar border
TS
nevertalk
Cadar Tak Melunturkan Nasionalismeku, Pengakuan Perempuan Eks PNS


Belum genap sebulan menjabat, Menteri Agama RI Fachrul Razi melontarkan wacana melarang penggunaan cadar di instansi pemerintahan. Ide itu segera menjadi polemik. Tapi jauh sebelum riuh, perempuan bercadar berstatus PNS juga sudah susah.
“BU, NANTI KALAU KITA BERTEMU, sapa-sapa ya,” tutur Syaidah kepada rekan sekerjanya.
Lha, gimana mau menyapa, mukamu ditutup begitu, ya gak kenal lah,” jawab perempuan yang dipanggil Syaidah sebagai ibu itu.
“Nanti saya towel bu,” balas Syaidah, tapi cuma berani berkata dalam hati. Dia tak sampai hati berkonfrontasi.



Syaidah, begitu perempuan tersebut ingin disapa, bertahun-tahun menjadi pegawai negeri sipil di salah satu lembaga penegakan hukum Indonesia.
Mulanya, semua berjalan baik-baik saja. Namun, sejak tahun 2016, ia memutuskan untuk mengenakan cadar yang dianggapnya tepat untuk mengekspresikan keyakinan.

Sadar menggunakan cadar masih belum lazim di lingkungan kantor, Syaidah awalnya memilih untuk melepas kain penutup muka saat bekerja.
Setahun kemudian, 2017, ia semakin merasa tak lagi perlu mengekang kebebasan berekspresinya sendiri, sehingga mengukuhkan sikap untuk menutup wajah saat berada di kantor.

Tapi, supaya tidak mencolok dan menuai kontroversi, Syaidah memilih jalan tengah, yakni menutup wajah memakai masker.
Memakai masker sebagai ganti kain cadar, tetap menuai kecurigaan dari rekan-rekannya di kantor. Sebab, Syaidah tak pernah melepas masker selama bekerja hingga pulang.

bercadar. (istimewa)
“Kenapa saya memilih masker? Itu untuk menghindari konflik tentang apa yang saya pakai di kantor,” kata Syaidah, pekan lalu.
“Apakah ibu merasa itu sebagai sikap mendiskriminasi?” tanya saya.
“Ini bisa dibilang diskriminasi, bisa juga tidak. Ya fitrahnya, pasti akan terjadi hal demikian kalau kita berbeda,” Syaidah menjawab diplomatis.

Sejak memutuskan bercadar, Syaidah banyak tidak dilibatkan dalam perjalanan-perjalanan kedinasan. Tak juga banyak dilibatkan saat kegiatan-kegiatan yang bersifat performatif.
Ia merasa banyak rekan kerja yang antipati, dan peluang untuk mendapat jabatan, stagnan. “Tapi secara umum, instansi saya begitu baik dan welcome, menerima saya.”
Atasannya tak pernah menyinggung tentang cara Syaidah berpakaian. Namun, ada pejabat lain yang sempat menegur atasannya untuk menegur Syaidah. Atasan Syaidah berkukuh, tak mau mengikuti saran tersebut.
“Kalau rekan sekerja?” kata saya.
“Tidak ada sih. Cuma beberapa orang yang secara langsung maupun tidak langsung menyampaikan, hati-hati beragama, jangan berlebihan. Jangan-jangan nanti masuk aliran sesat he-he-he.”

Sesat pikir
“PAK, SAYA MAU RESIGN. Pengin mengurus rumah tangga saja,” kata Syaidah kepada atasannya, tiga bulan lalu.

Sang atasan terkaget-kaget, “Lho, kenapa? Bukan karena cadar kan?”
“Bukan pak,” cepat-cepat Syaidah menjawab.
“Kalau karena cadar, jangan sampai berhenti lah,” si atasan mendesak.
Bener pak, bukan soal cadar.”
“Begini, begini, kalau soal cadar, kita cari win-win solutionnya ya,” kata sang atasan.
“Tidak pak, bukan karena cadar. Saya mau urus rumah tangga. Saya merasa banyak mengambil hak suami dan banyak berutang pengasuhan kepada anak.”
“Bener lho ya,” si atasan masih belum puas.

“Benar pak. Lagi pula, alasan utama saya adalah karena perintah Allah, sebaik-baiknya wanita adalah di rumah,” kata Syaidah memungkasi desakan atasan.
Selang tiga bulan, kala Syaidah sudah disibukkan mengurus anak dan rumah tangga, Menteri Agama RI Fachrul Razi melontarkan wacana agar tidak ada yang menggunakan cadar di lingkungan instansi pemerintah.
Wacana itu diskriminatif menurut Syaidah. Kalaupun jadi dilarang, alasannya sangat lemah. Cadar ataupun celana cingkrang, tak lagi bisa diidentikkan dengan agama tertentu, apalagi distigma radikal.
“Lihat saja, anak-anak milenial banyak bercelana cingkrang. Pak menteri tidak update soal mode kekinian,” kata Syaidah.
Ide itu, yang kekinian sudah diterapkan di Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, juga dinilai Syaidah tak tepat karena hanya sedikit perempuan PNS bercadar.
Tapi, Syaidah mengakui bisa jadi banyak perempuan PNS yang sebenarnya bercadar tapi tak bisa terang-terangan saat di tempat kerja, seperti dia dulu.
“Setahu saya, sewaktu masih menjadi PNS, lembaga yang cukup terbuka untuk pengguna cadar hanya Kementerian Keuangan,” tukas Syaidah.

Sekelompok wanita berlatih langkah-langkah prosesi pemakaman berdasarkan Alquran dan Sunnah di Masjid Al-Muttaqin di Jakarta, Indonesia pada tanggal 7 Januari 2018. Komunitas ini bertujuan untuk mengatasi prasangka terhadap stigma wanita bercadar yang buruk sebagai ekstremis dan teroris. [Anadolu Agency/Anton Raharjo]
Selain itu, menstigma cadar sebagai simbolisasi paham radikalisme kanan juga dinilai Syaidah ngawur. Memang banyak yang menyembunyikan kejahatan di balik cadar, namun bukan berarti mengurangi nilai niqab itu sendiri.
Syaidah mengakui, menjadi perempuan bercadar masih sulit di tengah masyarakat, meski sudah banyak yang mengenakannya.
Banyak perempuan bercadar masih didiskriminasi, baik di antara teman-teman, lingkungan, pun keluarga sendiri.
“Jadi, pemerintah tak perlu pula semakin menyusahkan kami dengan mencap cadar sebagai simbol radikal,” pintanya.

Tidak Pancasilais?
“AWAS NINJA, NINJA, ada ninja lewat,” kata seorang pemuda saat Indadari Mindrayanti saat memasuki masjid.
Lain waktu, ketika Indadari melintas, ada yang menceletuk, “Wuih… ada Batman lewat.”
Seiring ramai isu terorisme, orang-orang bercadar seperti Indadari banyak mendapat intimidasi. Mendapat sorakan yang mengina, sudah menjadi hal biasa baginya.
“Pernah disoraki sebagai ninja, batman, bahkan setan. Saya masuk minimarket, orang sekitar seperti merasa terancam, wajah mereka seperti ketakutan, khawatir. Biasa itu,” keluh Indadari kepada saya.
Indadari adalah Founder Niqab Squad, komunitas perempuan-perempuan bercadar di Jakarta. Menurutnya, nada-nada sumbang publik justru membuat perempuan bercadar melakukan otokritik.
Melalui komunitasnya, Indadari selalu mewanti-wanti agar para pemakai cadar tak lagi bersikap eksklusif di tengah masyarakat.
“Stigma seperti itu kan karena warga belum banyak tahu soal apa itu cadar dan nilai-nilainya. Kami harus ramah kepada mereka,” kata dia.
Indadari menuturkan, ada anggota komunitasnya yang berstatus PNS alias ASN, meski jumlahnya sedikit. Karenanya, dia menyayangkan adanya wacana melarang PNS bekerja mengenakan cadar di kantor.
Menurutnya, kebijakan itu sangat diskriminatif dan melanggar UUD 1945. Mengenakan cadar adalah hak berekspresi. Soal berekspresi, dilindungi oleh konstitusi.
Desainer pakaian muslimah dan hijab ini menyarankan agar pemerintah lebih bijak dalam menyikapi ASN yang bercadar. Jangan langsung melarang, namun memberikan solusi yang tepat dan tidak diskriminatif.
Menurut dia, paling banyak dalam sebuah kantor institusi pemerintah itu yang mengenakan cadar hanya satu atau dua orang.
Bisa saja PNS bercadar ditugaskan di balik meja, yang tidak berhubungan dengan pelayanan publik secara langsung.
Indadari juga menyatakan tidak setuju terhadap asumsi PNS bercadar tidak memunyai rasa Nasionalisme maupun Pancasilais.
“Anggota Niqab Squad ada yang menjadi guru SD, padahal gajinya kecil banget, tapi dia setia mengajar. Itu karena mereka mengabdi untuk bangsa dan negara.”


https://www.suara.com/news/2019/11/1...mpuan-eks-pns

WANITA SEBAIKNYA DIRUMAH KALO UDAH BERSUAMI, URUSI KELUARGA emoticon-2 Jempol

SETELAH RESIGN, HARUS BISA BERSOSIALISASI AMA TETANGGA

TAPI MANA BISA KENAL Y?

KAN MUKANYA KETUTUP emoticon-Hammer2
Diubah oleh nevertalk 19-11-2019 11:27
rizaradri
sebelahblog
akumidtorc
akumidtorc dan 10 lainnya memberi reputasi
11
6.3K
78
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670.7KThread40.7KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.