Banjarmasin, dulu berjuluk kota seribu sungai. Hingga sekarang pun mungkin masih begitu, bagi sebagian orang. Bagi mereka yang senang mengkritik mungkin tidak.

Julukan itu menjadi sejenis mitos belaka. Bagaimana tidak, di hamparan seribu sungai nya Banjarmasin penuh sesak dengan bangunan-bangunan beton, ruko, kios, dan pemukiman yang selalu dibangun berdempetan tanpa memikirkan dampak negatifnya. Pemerintah daerah sendiri seolah lepas tangan dengan kenyataan yang ada, mungkin saja dipikirnya yang penting duit pajak bangunan lancar dan duit terus mengalir.

Sungai di Banjarmasin memang sangat terkenal, pada masanya. Dipakai untuk keperluan segala hal, transportasi dan berdagang. Namun sayangnya hal ini tidak dipandang oleh pemerintah daerahnya sebagai aset dan kearifan lokal yang mumpuni. Perkembangan transportasi air tidak sejalan dengan perkembangan infrastruktur yang ada di darat. Buktinya, untuk transportasi air sendiri sangat minim campur tangan pemerintah. Saya adalah pengguna transportasi air. Setiap hari, setiap pergi bekerja  saya selalu menggunakan jasa transportasi air untuk menyeberang menggunakan kapal peri. Keadaan kapalnya cukup memprihatinkan, jika malam penerangan kurang, serta sumber daya manusia yang kurang terkelola dengan baik. Jika saja pemerintah ikut serta dalam pengembangan transportasi air ini, saya yakin bahwa ke depan transportasi air di Banjarmasin tidak akan kalah dengan yang ada di Venesia. 



Ya, masih berjuluk kota seribu sungai buat mereka yang masih meyakininya. Namun hal lucu lain yang sering saya temukan di masyarakat ialah sering muncul pula julukan lain, seperti "kota seribu ruko" atau yang paling terkenal "kota seribu pemadam".

Berbicara tentang pemadam kebakaran yang ada di Banjarmasin. Tidak dapat dipungkiri, bahwa hampir di setiap gang, RT, dan setiap pemukiman warga memiliki pemadam kebakarannya sendiri. Bahkan terakhir tanggal 23 Agustus 2015 lalu MURI mencatat rekor Barisan Pemadam Kebakaran Swadaya Masyarakat Terbanyak. Bahkan tingkat se-Asia pun Banjarmasin memiliki pemadam terbanyak.



Jika musim kemarau tiba, mereka para "penjinak api" berhamburan keluar dengan atributnya masing-masing. Seorang kawan pernah berceletuk "Belum sampai pemadamnya, apinya sudah mati sendiri". Menggelikan memang, namun ketika kebakaran muncul jika kamu ada di Banjarmasin jangan coba-coba untuk tidak minggir, karena mobil pemadam tidak pandang bulu, siapapun pasti dilibasnya. Hampir seperti parade. Bahkan kobaran api yang sedang menyala di tempat kebakaran akan kalah dengan kobaran semangat para pemadam yang sedang memacu kendaraannya menuju ke tempat kebakaran.

Yang unik lagi, fenomena pemadam terbanyak di Banjarmasin ini tidak hanya sekadar isapan jempol belaka. Perlahan-lahan terbangun solidaritas yang tidak tampak di antara mereka. Hanya cukup dengan bermodalkan HT saja, kita sudah masuk ke dalam barisan para pemadam yang ada di Banjarmasin. Mungkin karena tingkat solidaritasnya yang terlalu tinggi. 

Pemadam kebakaran di Banjarmasin menjadi kearifan lokal tersendiri dan unik yang tidak akan pernah ditemukan di daerah lain. Begitu pula dengan sungainya yang mulai terbenam di antara bangunan-bangunan kokoh yang setiap hari terus dibangun. Saya takut jika 20 tahun yang akan datang sungai di Banjarmasin hanya akan menjadi mitos dan legenda belaka. Yang tersisa hanya beberapa selokan kecil di pinggir dan belakang rumah.



jangan lupa


Jangan lupa juga kunjungi HANCAU