Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

venomwolfAvatar border
TS
venomwolf
Harus Diakui & Diresapi, Ekonomi RI Tidak Baik-baik Saja
Jakarta, CNBC Indonesia - Perlambatan ekonomi domestik semakin nyata di depan mata. Berbagai data terbaru menggambarkan bahwa ekonomi Indonesia tidak baik-baik saja.

Teranyar, Bank Indonesia (BI) merilis data penjualan ritel periode September yang hanya tumbuh 0,7% year-on-year (YoY). Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang tumbuh 1,1% dan menjadi laju terlemah sejak Juni.




Secara kuartalan, BI menyebut penjualan ritel pada kuartal III-2019 tumbuh 1,4% YoY. Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang mampu naik 4,2% YoY, apalagi periode yang sama tahun sebelumnya yang mencatatkan pertumbuhan 4,6% YoY.

Baca: Alakadarnya, Penjualan Ritel September Cuma Tumbuh 0,7%

Kemarin, BI sudah mengumumkan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang juga menunjukkan perlambatan. IKK pada Oktober berada di 118,4, turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 121,8.

IKK menggunakan angka 100 sebagai titik awal. Angka di atas 100 menandakan konsumen masih optimistis menghadapi kondisi perekonomian saat ini dan masa mendatang.

Namun IKK Indonesia menunjukkan penurunan yang konsisten dalam lima bulan terakhir. Bahkan angka Oktober merupakan yang terendah sejak Februari 2017. Artinya, tingkat optimisme konsumen kian luntur.



Baca: Parah, Keyakinan Konsumen RI Terendah Sejak Februari 2017!

Dua hal ini menjadi penegas bahwa konsumsi rumah tangga domestik sedang melambat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat konsumsi rumah tangga tumbuh 5,01% pada kuartal III-2019. Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 5,17% dan menjadi laju terlemah sejak kuartal III-2018.

Padahal konsumsi rumah tangga adalah kontributor utama pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB). Pada kuartal III-2019, peranan konsumsi rumah tangga mencapai 56,52%. Tidak heran kala konsumsi rumah tangga melambat pertumbuhan ekonomi juga ikut lesu menjadi 'hanya' 5,02%, terendah sejak kuartal II-2017.


Inilah akibatnya kalau perekonomian masih bergantung kepada komoditas. Berdasarkan data BPS, ekspor Indonesia didominasi oleh lemak dan minyak hewan/nabati (terutama minyak sawit mentah/CPO) dan bahan bakar mineral (utamanya batu bara).

Sepanjang 2019 harga batu bara acuan di pasar ICE Newcastle (Australia) anjlok 32,94%. Akibatnya, laba perusahaan batu bara turun parah. Selama Januari-September 2019, laba PT Bayan Resources Tbk (BYAN) ambrol 45,99% sementara PT Indika Energy Tbk (INDY) dan PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM) malah berbalik dari untung menjadi buntung.

Begitu korporasi minim laba, maka dampaknya tentu dirasakan oleh para karyawannya. Konsumsi rumah tangga pun terpukul.


BPS mencatat konsumsi rumah tangga melambat di hampir seluruh kelompok pengeluaran. Berikut perinciannya:



Oleh karena itu, jangan pernah bosan untuk mengingatkan para pembuat kebijakan agar membangun industri pengolahan/manufaktur. Sumber daya alam Ibu Pertiwi yang begitu melimpah jangan dijual begitu saja. Jadikan sebagai bahan baku untuk industri manufaktur.

Dengan begitu, Indonesia akan menikmati nilai tambah dari sumber daya alam. Lapangan kerja pun terbuka luas, sehingga pada akhirnya mampu mendongkrak konsumsi rumah tangga.

Masalahnya, deindustrialisasi di Indonesia sudah sulit untuk disangkal. Sudah cukup lama pertumbuhan industri manufaktur berada di bawah pertumbuhan ekonomi umum.



Baca:Gawat! Industri Makin Suram, Masuk Jurang Deindustrialisasi


Bagaimana caranya untuk membangun industri manufaktur? Memang perlu upaya all out, tetapi ya harus dilakukan.

Dari sisi penawaran, BI sudah melonggarkan kebijakan moneter dengan penurunan suku bunga acuan sampai empat kali sejak awal 2019. Plus pelonggaran Giro Wajib Minimum (GWM).

Harapannya adalah suku bunga kredit perbankan bisa ikut turun sehingga menumbuhkan minat korporasi untuk mengakses pembiayaan. Mengutip Statistik Perbankan Indonesia edisi Agustus 2019, suku bunga Kredit Modal Kerja memang dalam tren turun.




Namun sepertinya minat pengajuan kredit baru belum terlalu baik. Survei Perbankan keluaran BI edisi kuartal III-2019 menunjukkan pertumbuhan penyaluran kredit baru melambat. Perlambatan pertumbuhan kredit baru tercermin dari Saldo Bersih Tertimbang (SBT) pada kuartal III-2019 yang sebesar 68,3%, lebih rendah ketimbang kuartal sebelumnya yaitu 78,3%.

Baca:Ekonomi Melambat, Rakyat Tunggu Gebrakan Jokowi dan Menteri!

Jadi kalau dari sisi penawaran sudah dilakukan upaya perbaikan, tinggal di sisi permintaan. Di sini menjadi tugas pemerintah untuk memastikan bahwa iklim investasi sudah kondusif sehingga dunia usaha mau menanamkan modalnya.

Bagaimana caranya? Bisa dengan insentif fiskal. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjanjikan akan menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan dari 25% menjadi 20%.

Namun ini bukan langkah yang mudah, karena harus melalui amandemen UU PPh yang melibatkan DPR. Pemerintah harus menyusun naskah akademik, dan kemudian DPR membuat Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) serta mengundang masukan dari para pemangku kepentingan.

Setelah proses itu kelar, baru bisa masuk masa pembahasan di komisi terkait. Proses pembahasan ini tentu memakan waktu. Ribet lah pokoknya.

Kemudian, Presiden Jokowi juga menjanjikan sebuah terobosan besar untuk menarik investasi bernama omnibus law. Nantinya, aturan ini akan mengumpulkan puluhan regulasi terkait investasi menjadi satu. Jadi investor tidak perlu melihat puluhan regulasi, cukup mengacu pada satu saja.

Baca:Masih Ada 7,05 Juta Pengangguran, Jokowi Siapkan Omnibus Law

Akan tetapi, lagi-lagi ini akan harus melalui prosedur legislasi di parlemen. Selain itu, ada potensi omnibus law akan membentur tembok tinggi karena belum diatur dalam UU No 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Jadi, sekarang bola ada di pemerintah. Kira-kira apakah berbagai 'pemanis' untuk menarik investasi itu bisa dipercepat atau tidak? Kalau masih lama, ya investor keburu memilih Vietnam.

Baca:Benarkah Urus Izin Pendirian Usaha di RI Ribet? Cek Faktanya!

Saat Indonesia kesulitan mendatangkan investasi, Indonesia selamanya akan terjebak dalam siklus boom-burst harga komoditas. Mau seperti ini terus?


TIM RISET CNBC INDONESIA

https://www.cnbcindonesia.com/news/2...ik-baik-saja/3

serbuuu bong.. emoticon-Takut (S)
dede4141
sebelahblog
4iinch
4iinch dan 3 lainnya memberi reputasi
4
2.2K
31
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.7KThread41.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.