- Beranda
- Stories from the Heart
Nauryn
...
TS
ecrivain
Nauryn
Quote:
PROLOG
Quote:
Kau tahu apa hal yang terbaik dari bulan Mei?
Hujan yang masih terkadang datang, memberi seruak petrichor yang kau benci.
Kau memang aneh. Tapi entahlah, aku tergila padamu.
Teduh yang menggiring mendung. Menjadi hujan yang tadi datang.
Aku suka hujan, setidaknya dia bisa memberiku harap, menahanmu sekejap, sebelum kita terpisah berbatas senja yang melarut. Walau seringkali kita terpisah tanpa tatap.
Kau tahu apa hal yang terbaik dari bulan Mei?
Kau. Ketika kau buat diriku jatuh. Terjerembab jauh. Tersesat. Kadang ingin pergi namun selalu berhasrat kembali.
Kau memang lancang. Tapi entahlah, aku tergila padamu.
Dan semua jejak di pikiranku, membawaku kembali ke masa itu. Ketika kau dan aku masih berupa sepasang orang asing yang tidak pernah tahu akan ada kisah terjalin di kemudian hari.
Quote:
Sore ini mendung kembali menggelayut di langit kota ini. Memberi gradasi warna dari biru cerah menuju kelabu yang nyaris pekat, memberikan pacu di dalam kepalaku untuk bergegas tiba di rumah sebelum hujan turun. Tidak, aku tidak membenci hujan, aku hanya tidak suka kehujanan, karena itulah aku bergegas.
Tapi sialnya kondisi lalu lintas seperti tidak memberi restu atas rencanaku itu. Seperti hari-hari lainnya, jam pulang kantor memang selalu menyumbangkan kemacetan yang mengesalkan.
Belum lagi lontaran makian orang-orang yang tak sabaran bersahutan dengan bunyi klakson dari kendaraan orang-orang yang tak kalah tak sabarannya.
Aku? Dengan sepeda motorku, aku hanya perlahan menyusuri lajur kiri jalan ini, sambil memerhatikan apakah ada halte atau shelter yang bisa kusinggahi, karena rasanya lebih baik menepi sejenak dan menunggu hujan turun lalu reda kembali, karena langit sudah semakin gelap saja.
Beruntung, tidak sampai 300 meter kudapati sebuah halte yang tak ditempati oleh satu orang pun. Padahal dengan cuaca seperti ini, sudah selayaknya halte itu penuh, atau nyaris penuh, diisi oleh orang-orang yang satu frekuensi denganku: tidak suka kehujanan. Entahlah, mungkin orang-orang lebih memilih untuk melanjutkan perjalanan, berpacu dengan waktu, berlomba dengan cuaca, berbalap dengan rintik air yang nampaknya segera jatuh dari langit.
Aku pun memarkirkan sepeda motorku dan bergerak duduk di sisi kiri halte tersebut, seolah menantikan dan menghitung mundur detik-detik turunnya hujan.
Mataku hilir mudik menatap jalan raya, memerhatikan laju kendaraan yang kadang merayap kadang lancar, sambil sesekali menatap langit melihat pergerakan awan hitam yang sepertinya sudah siap menumpahkan air dari tubuhnya, tetes demi tetes.
"Lepasin!!" teriakan seseorang membuyarkan lamunanku, suara seorang wanita dengan posisi berdiri sekitar 3-4 meter di sisi kananku. Nampaknya sedang bertengkar dengan pasangannya yang kini terlihat mencengkeram erat pergelangan wanita itu. Entah dari mana datangnya.
"Gak bakal aku lepasin sebelum kamu ikut aku pulang!" seru si pria.
"Nggak!!" teriaknya semakin kencang seraya menarik tangannya dari cengkeraman pria itu. Sepertinya si pria sedikit mengalah dan melepaskan cengkeramannya. Mereka beberapa saat berpandangan.
"Kamu gak usah keras kepala!!" bentak pria itu.
Wanita itu mulai mengalihkan pandangannya ke arah lain sambil sepertinya menahan ledak tangis yang sudah di ujung tenggorokan. Aku salah tingkah dan mulai berpura-pura tidak memerhatikan mereka.
Si pria mengarahkan kembali wajah wanita itu dengan tangannya ke arahnya, "Pulang gak?!!"
Dengan tatapan tajam, wanita itu menepis tangan si pria, "Gak sudi!!"
Tanpa kusangka si pria mengambil posisi tangan tinggi, bersiap mendaratkan sebuah tamparan di pipi wanita itu.
Aku refleks mengambil langkah panjang menuju mereka dan menahan gerak tangan pria itu dengan genggaman tanganku. "Weisss Gak gini, bro, sikap sama cewek!"
Dia meronta melepaskan genggamanku, ujung telunjuknya langsung mengarah wajahku begitu dia berhasil melepaskan diri. "Ga usah ikut campur! Ini urusan kami!"
"Anda melakukan kekerasan di tempat umum, ini sudah bukan ranah pribadi lagi" ucapku cenderung datar. Dia menatapku lekat.
Sambil menarik lengan si wanita dan menempatkannya di belakangku, aku bersiap jika pria itu tiba-tiba menyerangku. Tatapan si pria kini lebih lekat, lebih tajam, seiring pandangan beberapa orang yang hilir mudik di trotoar yang hanya sesekali memandangi kami lalu berlalu.
"Silakan pergi" kataku dengan isyarat dongakan kepala.
Tapi sialnya kondisi lalu lintas seperti tidak memberi restu atas rencanaku itu. Seperti hari-hari lainnya, jam pulang kantor memang selalu menyumbangkan kemacetan yang mengesalkan.
Belum lagi lontaran makian orang-orang yang tak sabaran bersahutan dengan bunyi klakson dari kendaraan orang-orang yang tak kalah tak sabarannya.
Aku? Dengan sepeda motorku, aku hanya perlahan menyusuri lajur kiri jalan ini, sambil memerhatikan apakah ada halte atau shelter yang bisa kusinggahi, karena rasanya lebih baik menepi sejenak dan menunggu hujan turun lalu reda kembali, karena langit sudah semakin gelap saja.
Beruntung, tidak sampai 300 meter kudapati sebuah halte yang tak ditempati oleh satu orang pun. Padahal dengan cuaca seperti ini, sudah selayaknya halte itu penuh, atau nyaris penuh, diisi oleh orang-orang yang satu frekuensi denganku: tidak suka kehujanan. Entahlah, mungkin orang-orang lebih memilih untuk melanjutkan perjalanan, berpacu dengan waktu, berlomba dengan cuaca, berbalap dengan rintik air yang nampaknya segera jatuh dari langit.
Aku pun memarkirkan sepeda motorku dan bergerak duduk di sisi kiri halte tersebut, seolah menantikan dan menghitung mundur detik-detik turunnya hujan.
Mataku hilir mudik menatap jalan raya, memerhatikan laju kendaraan yang kadang merayap kadang lancar, sambil sesekali menatap langit melihat pergerakan awan hitam yang sepertinya sudah siap menumpahkan air dari tubuhnya, tetes demi tetes.
"Lepasin!!" teriakan seseorang membuyarkan lamunanku, suara seorang wanita dengan posisi berdiri sekitar 3-4 meter di sisi kananku. Nampaknya sedang bertengkar dengan pasangannya yang kini terlihat mencengkeram erat pergelangan wanita itu. Entah dari mana datangnya.
"Gak bakal aku lepasin sebelum kamu ikut aku pulang!" seru si pria.
"Nggak!!" teriaknya semakin kencang seraya menarik tangannya dari cengkeraman pria itu. Sepertinya si pria sedikit mengalah dan melepaskan cengkeramannya. Mereka beberapa saat berpandangan.
"Kamu gak usah keras kepala!!" bentak pria itu.
Wanita itu mulai mengalihkan pandangannya ke arah lain sambil sepertinya menahan ledak tangis yang sudah di ujung tenggorokan. Aku salah tingkah dan mulai berpura-pura tidak memerhatikan mereka.
Si pria mengarahkan kembali wajah wanita itu dengan tangannya ke arahnya, "Pulang gak?!!"
Dengan tatapan tajam, wanita itu menepis tangan si pria, "Gak sudi!!"
Tanpa kusangka si pria mengambil posisi tangan tinggi, bersiap mendaratkan sebuah tamparan di pipi wanita itu.
Aku refleks mengambil langkah panjang menuju mereka dan menahan gerak tangan pria itu dengan genggaman tanganku. "Weisss Gak gini, bro, sikap sama cewek!"
Dia meronta melepaskan genggamanku, ujung telunjuknya langsung mengarah wajahku begitu dia berhasil melepaskan diri. "Ga usah ikut campur! Ini urusan kami!"
"Anda melakukan kekerasan di tempat umum, ini sudah bukan ranah pribadi lagi" ucapku cenderung datar. Dia menatapku lekat.
Sambil menarik lengan si wanita dan menempatkannya di belakangku, aku bersiap jika pria itu tiba-tiba menyerangku. Tatapan si pria kini lebih lekat, lebih tajam, seiring pandangan beberapa orang yang hilir mudik di trotoar yang hanya sesekali memandangi kami lalu berlalu.
"Silakan pergi" kataku dengan isyarat dongakan kepala.
NadarNadz dan 5 lainnya memberi reputasi
6
561
Kutip
6
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.3KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru