Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

hanifahbidamAvatar border
TS
hanifahbidam
Monyet-monyet Hutan Plangon





Aku meletakkan patung monyet itu di ruang tamu. Terlihat sangat unik dan pastinya, siapa pun yang melihat akan berdecak kagum. Aku yakin, tidak banyak orang yang memiliki patung seperti ini. Sungguh beruntung bisa mendapatkannya secara cuma-cuma.


"Kak, apaan itu?" tanya Naila, adikku. Aku tersenyum.

"Ini barang antik, Naila. Bagus, kan?"

Sesuai dugaanku, Naila bergidik. Ia bukan tipe orang yang menyukai hal-hal unik atau antik. Ia terlalu penakut sebenarnya.

"Kenapa disimpan di ruang tamu? Kenapa gak di kamar kakak saja?"

Naila mendekat. Sepertinya, ia mulai tertarik.

"Lho, kalau di kamar, cuma kakak yang lihat, kalau di ruang tamu, semua orang bisa."

"Tapi aneh, Kak. Jelek tau, ngeri juga. Keliatannya kayak asli."

"Memang asli."

"Hah?" Naila memasang wajah kaget. Kemudian kembali melirik patung monyet.

"Maksud Kakak?"

"Iya, patung monyet ini, asli. Kamu tahu, Hutan Plangon?"

Naila menggeleng.

"Pernah dengar cerita tentang monyet-monyet Plangon yang dikutuk?"

Naila lagi-lagi menggeleng.

"Iya, beberapa orang mengatakan bahwa monyet-monyet di Taman Wisata Plangon adalah para prajurit yang dikutuk oleh Pangeran Panjunan."

"Kenapa dikutuk?"

"Karena mereka menyerah kepada Belanda dan tidak melindungi Pangeran lagi."

Naila melihat lebih lama patung itu.

"Kak, balikin lagi patungnya. Kakak beli dimana? Naila takut."

"Lho, kok takut? Lagian, ini dapat dari temen, dikasih. Masa dibalikin lagi, gak sopan tau."

Setelah berkata begitu, aku berlalu ke kamar meninggalkan Naila yang sepertinya terpengaruh dengan apa yang barusan kuceritakan. Padahal, apa yang kuceritakan itu mungin hanya cerita rekaan dari orang-orang jaman dulu. Lagipula, jika itu benar, memangnya kenapa? Toh, hanya patung monyet. Patung tidak bisa bergerak atau berbicara.

"Kak?" suara Naila lagi. Rupanya, ia mengikutiku sampai ke kamar.

"Ada apa?" tanyaku.

"Perasaan Naila gak enak sama patung itu. Balikin, ya, Kak?"

Aku menghela napas. Ini berlebihan. Aku menyesal bercerita tentang monyet Plangon kepada Naila.

"Gini deh, patungnya dipindahin ke kamar Kakak aja, ya?" bujukku.

Naila terdiam sebentar.

"Oke," jawabnya singkat. Bagus, aku tidak perlu mengembalikannya.


Sekarang, patung monyet itu tepat di kamarku. Aku melihatnya dan pasti akan selalu melihatnya. Tak dapat kupungkiri memang dari sorot mata patung monyet itu, seperti terdapat pancaran mistis. Namun, itu tak masalah. Aku tetap menyukainya.


Saat malam menjelang, aku tertidur. Aku memimpikan hal aneh. Aku bermimpi tentang patung monyet. Patung itu jadi bisa berbicara. Dia menjelma seseorang dengan pakaian prajurit. Memintaku untuk mengembalikannya ke Hutan Plangon.

Kemudian, aku terbangun dengan keringat di sekujur tubuh. Mimpi itu terasa nyata. Namun, sekali lagi, aku yakin. Ini hanya bunga tidur yang tak berarti apa-apa. Ini karena aku terlalu hanyut dalam cerita kemarin.


***


"Kak!" serunya bersemangat. Aku melemparkan senyum.

"Nai pengen wisata ke Plangon!"

"Wisata? Lho, kamu kan, kuliah?"

Naila menggeleng. "Aku libur, hehe. Boleh, gak? Lagian, Cirebon gak terlalu jauh. Aku mau ke sana, Kak. Kemarin, pas aku baca di internet, ternyata tempat itu menarik, Kak. Aku pengen ...."


Kalau sudah menyangkut keinginan adikku satu-satunya, aku tak bisa menolak. Sama seperti keinginannya kemarin saat ia ingin patung monyet itu pindah.

"Emang kamu gak takut?" tanyaku. Berusaha untuk mengalihkan keinginannya.

"Bukannya yang kemaren itu cuma cerita bohong? Semacam, mitos, kan?"

Aku mengangguk. Lagipula, jika aku berkata itu benar, pasti Naila akan membahas soal patung monyet itu lagi.


"Boleh, ya?"

Tidak ada pilihan, selain mengangguk. Tak apalah, sekalian menjernihkan pikiran dari kesibukan kantor. Beruntung, aku mengambil cuti tiga hari. Memang, tadinya aku ingin menghabiskannya hanya mengunjungi teman dan bersantai, sama seperti kemarin saat berkunjung ke rumah Rudi, si pemilik barang-barang antik.


"Ayo, dong, Kak. Siap-siap!"

"Iya, kamu aja yang siap-siap. Cewek kan, lama dandan. Kalau cowok, cukup ganti baju aja, gak perlu pake bedak."

Ucapanku membuat Naila tersenyum. Ia beringsut ke kamar. Apa ini baru pertama kalinya Naila berwisata? Dia bersemangat sekali, ya ampun.


***


Setibanya di sana, kami disambut oleh Gapura Plangon yang unik. Gapura unik yang bergaya Hindu Majapahitan dan deretan undakan di belakangnya, merupakan penanda pintu masuk ke perbukitan Plangon, Cirebon.

"Tau, gak? Cerita soal tempat ini?"

"Tau lah, mitos tentang monyet kemarin itu?"

Aku menggeleng. "Bukan lah, ini tentang asal-usul tempat ini. Pangeran Panjunan dan Pangeran Kajaksan, empat abad yang lalu, mereka mencari tempat tenang demi menyelesaikan masalah-masalah. Mereka akhirnya menemukan bukit ini. Meskipun harus bertarung dulu dengan Arya Jumeneng demi medapatkan bukit ini. Mereka menang dan bisa menjadikan tempat ini sebagai tempat menenangkan diri."

Naila menatapku sambil tersenyum. "Aku udah tau, Kak! Haha."

Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Ah, pastinya Naila sudah membacanya di internet kemarin.

"Lalu, soal monyet-monyet yang dikutuk, udah tahu semuanya?"

"Iya, aku baca soal itu juga, Kak."

Beberapa anak tangga sudah kami lewati, monyet-monyet menyambut. Kawanan monyet itu terdiri dari monyet kecil dan dewasa. Seperti meminta pajak dari kami.

Segenggam kacang kuberikan. Mereka sedikit rakus. Naila meringis melihatnya. Ia sedikit merasa takut.

"Gak apa-apa, Nai," ucapku seraya memainkan tangan agar monyet-monyet itu tak terlalu dekat.


Namun, ada satu hal yang janggal. Ketika aku dan Naila telah sampai di puncak bukit dan melewati makam. Ada sebuah warung di sana, tapi tak ada siapapun. Orang-orang yang berlalu lalang sedari tadi di tangga, juga tak kulihat. Kemana mereka? Mendadak, semuanya menjadi sepi.

"Kak? Makin dingin, ya, di sini," Naila mendekat padaku.

"Iya, mungkin cuacanya."

Perlahan, kawanan monyet semakin banyak. Jumlahnya mungkin ratusan. Mengelilingi kami.

"Kak? Mereka kenapa?"

Salah satu monyet besar, yang kuduga adalah bos dari semua monyet, menatapku sinis. Entah mengapa, langit menjadi gelap sekarang. Ini aneh. Kakiku terasa tak bisa digerakkan.

"Kak?"

"Tenang, Nai," ucapku dengan gemetar.

"Kembalikan, monyet itu!" suara adikku berubah menjadi seperti seorang lelaki tua. Aku tersentak. Naila melotot dan mencengkeram erat tanganku.

"Nai?!" Aku mencoba melepaskan tangannya yang mencengkeram semakin kuat. Bahkan, kukunya sampai menancap.

"Kembalikan monyet itu!" teriaknya lagi. Aku jatuh tersungkur ketika berhasil terlepas. Tanganku berdarah. Dengan susah payah, aku bangkit.

"Aku akan mengembalikannya. Kembalikan adikku sekarang!"


Naila ambruk. Aku tak bisa berkata-kata. Kawanan monyet membubarkan diri. Sementara Si Bos dengan santai melewatiku. Matanya masih sinis. Aku menatap langit yang kembali seperti semula. Beberapa orang yang tadinya kupikir tidak ada sama sekali, bergerak ke arah aku dan Naila.

"Ada apa, Kang? Si Nengnya kenapa?" tanya salah seorang.

"Ini, tadi ...."

Kalimatku tertahan. Naila membuka matanya. Aku bernapas lega. Kurasakan tanganku yang perih. Darah mengucur dari sana. Apa tadi itu? Mimpi? Halusinani atau apa? Mungkinkah, peringatan?


"Kak? Aku takut, kita pulang aja, Kak."

Aku mengangguk. Naila menangis. Ini salahku. Aku akan meminta penjelasan kepada Rudi. Patung monyet itu. Ya, patung monyet itu pasti adalah awal dari kekacauan ini.

Di sepanjang perjalanan pulang, tak henti aku memaki Rudi di dalam hati. Kulihat Naila tertidur pulas. Rasa perih di tanganku semakin menjadi. Ini sangat memuakkan sekarang.


***

"Halo, Rud? Jujur kamu! Patung monyet itu dari mana?"

"Lho, kenapa memang?"

"Gila kau, hampir saja aku dan adikku celaka. Pokoknya, sekarang, kau datang ke rumah, buat balikin patungnya ke Hutan Plangon!"

Tak ada suara lagi dari Rudi.

"Heh! Jawab!"

"Maaf, patung itu ...."

"Kenapa? Patung itu kenapa?"

"Aku bukan pemilik sebenarnya."

Sial! Aku tidak tahu ternyata Rudi menipuku.

"Datang sekarang! Kalau kau tidak datang, akan aku laporkan ke polisi!"


Telepon ditutup. Aku serius. Jika Rudi tidak datang, aku benar- benar akan membuatnya menerima hukuman.


***

Sudah sore. Rudi baru datang. Aku menatapnya tajam.

"Dari mana monyet itu?" tanyaku. Rudi hanya tertunduk. Kalau tidak ditahan, mungkin aku sudah menonjok wajahnya berkali-kali, tapi aku tahu itu tidak ada gunanya saat ini.

"Jawab!"

"Maaf, patung itu, memang monyet Plangon yang diawetkan."

Aku menarik napas panjang. "Jadi, kau dengan tega mengambil monyet dari sana dan mengawetkannya?"

"Bukan, bukan aku."

"Lalu, siapa?"

"Anjar."

"Anjar siapa?"

"Temanku di Cirebon."

"Gila kamu! Mau bawa-bawa patung itu."

"Iya, awalnya emang gak ada kejadian apa-apa. Dia kasih patung itu sebagai tanda terima kasih karena aku menjenguknya."

"Dia sakit, Rud?"

Rudi mengangguk.

"Bodoh. Bisa saja, karena perbuatannya itu dia jadi sakit. Kamu gak mikir, Rud?"

"Awalnya gak gitu. Soalnya, kamu tahu kan, aku suka barang-barang unik. Sama kayak patung itu juga."


"Bodoh, kamu, Rud. Dan kenapa malah memberikannya padaku?"

"Aku sedang sakit saat kau berkunjung. Sebagai tanda terima kasih, aku ingin memberi sesuatu yang berharga."

"Dasar gila!"

Rudi diam. Meskipun aku memakinya berkali-kali, percuma saja. Pikirannya terlalu naif.

"Sekarang apa? Kita ke Cirebon?"

Tanpa menjawab, aku menyeretnya ke luar. "Memangnya, kemana lagi?"

Setelah membuat Rudi masuk ke dalam mobil, aku ke kamar membawa patung monyet. Kemudian, menyuruh Rudi memegangnya.

"Lihat mata monyet itu. Kamu gak mikir, Rud?"

Rudi terlihat ketakutan. Aku tahu dia gemetar. Biar saja, dia harus merasakan ketakutan yang sama denganku. Bahkan, sepanjang perjalanan, ia ketakutan.

"Monyet ini, seperti bergerak-gerak," ucapnya setelah setengah jam perjalanan.

"Diam, Rud."

"Tapi, ini sangat aneh."

"Pegang saja patungnya, jangan sampai jatuh."


Rudi pun, kembali diam. Aku berusaha fokus ke jalanan. Meskipun tanganku masih terasa perih.


Pukul enam petang, aku dan Rudi baru sampai di Plangon. Taman wisata Plangon buka 24 jam. Jadi, ini tak masalah.

Aku menyeret Rudi. Ia masih gemetar memegangi patung.

"Kita harus ke puncak bukit. Di sana, lebih banyak kawanan monyet."

Rudi tak menjawab. Hawa dingin mulai menusuk. Aku bisa mendengar suara napas Rudi dan suara napasku. Suasana sangat sunyi. Beberapa monyet, seolah mengawal kami untuk terus sampai ke puncak.

Ketika sudah sampai, aku mulai merasakan kembali perasaan itu. Ketika hawa menjadi sangat dingin, dan ratusan monyet mengelilingi.

Rudi mendekat, "Bagaimana ini?"

"Letakkan patung itu."

Rudi kemudian meletakkannya kemudian kembali merapat padaku.

"Kalau kamu begitu penakut, jangan macam-macam dengan hewan. Apalagi, hewan yang berasal dari tempat yang dilindungi."


Rudi mengangguk. Ratusan monyet mengerumuni patung itu. Aku dan Rudi segera pergi.

Malam itu juga, saat aku sampai ke rumah dan tidur, aku bermimpi. Mimpi aneh tentang patung monyet yang berubah menjadi monyet sungguhan di Hutan Plangon. Monyet itu kemudian berbaur bersama monyet lain. Aku juga melihat monyet paling besar menatapku dengan sinis.


Hutan Plangon memang menawarkan banyak keunikan, keindahan, juga sejuta misteri di dalamnya.





*Lokasi: Taman Wisata Plangon (Cirebon, Jawa Barat)

Tasikmalaya, 2019






*gambar: https://cdn.pixabay.com/photo/2017/0...23109_1280.jpg
denbagoes01
nona212
tien212700
tien212700 dan 5 lainnya memberi reputasi
6
893
3
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Cerita Pejalan Domestik
Cerita Pejalan Domestik KASKUS Official
2.1KThread2.6KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.