LordFariesAvatar border
TS
LordFaries
“Susi Susanti: Love All” dan Nasionalisme Etnis Tionghoa


Film Susi Susanti: Love All sejatinya bukanlah film biopik legenda hidup srikandi bulutangkis Indonesia. Setelah tuntas menontonnya, saya memaknainya lebih dari sekadar cerita kisah hidup dan perjuangan Susi. Film ini punya pesan lebih besar dari itu.

Bila film ini hanya berfokus pada kisah Susi Susanti, film seharusnya berakhir saat Susi meraih medali emas cabang bulu tangkis tunggal putri di Olimpide Barcelona tahun 1992. Itu adalah puncak kariernya sebagai olahragawan.

Film ini juga bukan kisah drama percintaan. Karena bila iya, filmnya seharusnya berakhir ketika ia menikahi Alan Budikusuma. Mereka disebut pengantin olimpiade karena mengawinkan dua emas Olimpiade Barcelona. (Alan meraih emas tunggal putra.)

Namun Susi Susanti: Love All tak hanya bicara tentang Susi atau kisah cintanya. Pesan film ini lebih besar dari sekadar kisah hidup orang Indonesia pertama yang meraih emas di ajang olahraga terakbar dunia bernama Olimpiade. Pun juga lebih penting dari kisah romantis dua anak manusia yang menemukan cinta lalu bersatu di pelaminan.

Pesan utama film ini—sebuah debut film panjang yang menjanjikan bagi Sim F, yang dikenal sebagai sutradara video klip dan iklan—adalah cinta tanah air tanpa reserve. Soal nasionalisme dan patriotisme yang tergambar di film ini lebih menyita perhatian ketimbang kisah hidup Susi (dimainkan Laura Basuki). Cerita perjalanan hidup Susi Susanti hanya dipinjam untuk menyampaikan pesan tentang nasionalisme, berikut problematikanya terutama pada keturunan Tionghoa.

Saya membaca beberapa ulasan yang mengkritik film ini gagal fokus. Ada betulnya. Memang, bila menonton film ini dengan harapan menonton sebuah biopik yang runut dan fokus pada jatuh bangun si tokoh utamanya, bakal kecewa. Ada sejumlah distraksi di sana-sini yang bikin penonton merasa filmnya cerewet. Terlalu banyak yang ingin disampaikan.

Namun, bila mendudukkan film ini sejak awal sebagai civic education alias pelajaran ketatanegaraan, penonton akan mendapatkan pelajaran berharga.

Momen kunci film ini bukan dimulai saat Susi kecil mengalahkan juara bulu tangkis di acara Agustusan. Tapi di ruang rapat Try Sutrisno (dimainkan Farhan) petinggi ABRI (kini TNI) yang mengurusi bulu tangkis.

Kita tahu, bagi sebuah rezim otoritarian, supremasi di bidang olahraga amatlah penting. Ia dipakai sebagai cara instan untuk membetot perhatian dunia dan negeri sendiri, membangkitkan rasa nasionalisme, serta menjauhkan rakyat dari keinginan memprotes rezim atas derita hidup (pelanggaran HAM dan kebebasan berpendapat tak dihargai).

Cabang olahraga yang paling mungkin dipakai rezim Orde Baru untuk tujuan itu adalah bulu tangkis. Namun banyak yang jago main bulu tangkis nyatanya berasal dari etnis Tionghoa.

Kita juga tahu, di masa Orde Baru, etnis Tionghoa diperlakukan tak adil. Hak politik dan warga negara mereka dikebiri. Sebagai warga negara, mereka ditempatkan sebagai warga kelas dua yang diharuskan menunjukkan dokumen bernama SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia).

Di masa lalu itu pula, prasangka terhadap etnis Tionghoa dilestarikan. Karena hak politik dicabut, hanya di bidang ekonomi mereka diberi keleluasaan. Namun itu pun diberikan demi menjamin keberlangsungan koruptif rezim.

Di sini kita paham sikap mendua Orde Baru pada etnis Tionghoa: tak sah mengakui kewarganegaraan mereka, namun memanfaatkan potensi ekonominya.

Sepanjang sejarah bangsa ini kita telah menyaksikan berbagai peristiwa kerusuhan yang menempatkan keturunan Tionghoa sebagai target sasaran amuk massa. Itu berakar pada kebencian etnis yang mulanya ditanam pemerintah kolonial Belanda. Penjajah itu memberlakukan kebijakan segregasi berdasar golongan etnis pada rakyat Nusantara. Yang dianggap warga kelas satu adalah warga Eropa kulit putih, yang kedua keturunan Tionghoa, dan ketiga warga pribumi.

Lantaran yang Tionghoa lebih sering berurusan dengan pribumi, maka persinggungan antar etnis ini kerap melahirkan konflik.

Status quo sejak zaman kolonial itu dilanggengkan rezim Orde Baru. Apalagi, menyusul parahara politik 1965, etnis Tionghoa di Indonesia dicap bagian dari China komunis. Peristiwa itu memaksa ribuan keturunan Tionghoa eksodus ke China. Otomatis mereka kehilangan status kewarganegaraannya.

Dua di antara orang tersebut adalah Liang Chiu Sia (Jenny Zhang) dan Tong Sin Fu (Chew Kin Wah). Keduanya jadi harapan rezim Orde Baru memajukan bulu tangkis agar gengsi bangsa terangkat jelang ajang Sudirman Cup pertama di pertengahan 1980-an. Liang Chiu Sia kemudian menjadi pelatih Susi.

Bagi Chiu Sia, Susi adalah tiket emasnya untuk mendapatkan status kewarganegaraan. Rezim Orde Baru padanya menegaskan praktek yang diistilahkan dalam bahasa latin sebagai “quid pro quo”, lakukan apa yang diminta maka akan diberi imbalan yang diinginkan.

Hanya saja, imbalan itu tak kunjung diberikan. Termasuk kemudian juga pada Susi Susanti yang telah berprestasi menjuarai berbagai turnamen bulu tangkis dunia. Kita melihatnya ditelepon langsung Presiden Soeharto. Sang presiden menaruhkan harapan padanya. Tapi di saat bersamaan ia dipersulit saat mengurus SBKRI. Kekesalan Susi memuncak ketika secara terbuka ia mempertanyakan status kewarganegaraannya.

Tidak hanya itu, ketika kerusuhan 1998 melanda, keluarga Susi turut jadi korban. Rumahnya di Tasikmalaya dilempar molotov. Saat itu terngiang ucapan kakak Susi, prestasinya mengharumkan Indonesia di pentas bulutangkis tak bisa menjamin ia dan keluarga selamat dari kerusuhan rasial.

Film memperlihatkan, saat kerusuhan Mei 1998, tim bulu tangkis Indonesia, yang kebanyakan etnis Tionghoa, tengah bertanding di Hong Kong. Mereka didemo warga di sana atas perlakuan brutal warga Indonesia pada etnis Tionghoa saat terjadi kerusuhan.

Kita tahu, saat kerusuhan toko-toko milik etnis Tionghoa dibakar massa. Sejumlah perempuan Tionghoa juga dikabarkan dirudapaksa. Wajar bila warga China dan Hong Kong protes atas kejadian tersebut. Namun menempatkan protes pada pemain bulu tangkis Indonesia terasa paradoksal.

Di Hong Kong pula kita menyaksikan krisis nasionalisme yang menghinggapi para atlet. Mereka mempertanyakan kembali status mereka sebagai orang Indonesia. Saat itulah Susi bangkit, mengenakan jaket putih bertuliskan “INDONESIA”. Ia sudah menentukan pilihannya.

“I am Indonesian,” katanya pada reporter CNN. “I always be.”

Itulah puncak film ini buat saya. Namun banyak orang tak menanggapnya demikian. Tak mengapa.

Yang tampaknya orang luput menyimak pula adalah Susi Susanti; Love All adalah bentuk pernyataan sikap orang di belakang film ini: Daniel Mananta. Di kredit film ia disebut sebagai produser dan eksekutif produser. Artinya, ia salah satu otak film ini sekaligus yang mendanainya.

Kita tahu Daniel, bekas VJ MTV Indonesia, keturunan Tionghoa. Sejak awal dekade kedua abad ke-21 ia menjadi bagian dari semangat nasionalisme yang menghinggapi kalangan muda. Gerakan nasionalisme baru ini tercermin lewat istilah “Indonesia keren”, good news from Indonesia, dan beberapa lainnya.

Daniel sendiri menyongsongnya dengan slogan “Damn I Love Indonesia”. Slogan ini ia tarik jadi berbagai produk berupa kaos, topi, jaket dan berbagai produk lain. Daniel sampai membuka toko untuk menyebarkan virus nasionalismenya.

Jujur, saya bukan penggemar nasionalisme ala Daniel Mananta dkk. Buat saya, ekspresi nasionalisme yang dikristalkan dengan istilah “Indonesia keren” punya problematikanya tersendiri.

Pertama, kalau Anda ingat muasal gerakan ini dahulu, adalah jawaban kita setelah mendapati inferioritas kita pada negeri jiran, terutama Malaysia. Kita merasa kalah, terutama dari segi ekonomi dan bagaimana negeri ini diurus. Waktu itu kita juga marah karena Malaysia kita anggap “mencuri” kesenian dan tradisi budaya yang kita anggap asli Indonesia. Gerakan “Indonesia keren” ini lantas lahir sebagai penghibur.

Kedua, sungguh mengharukan memang bahwa kebangkitan nasiolisme masa kini tak dikomandoi rezim (baca: negara), melainkan lahir dari bawah, dari kesadaran nasionalistik warga negara. Hal ini seolah mengamini tesis utama Ben Anderson bahwa sebuah nation atau negara-bangsa adalah komunitas yang terbayangkan (imagined communities), orang yang tak saling mengenal dan terdiri atas latar belakang berbeda namun hidup dalam suatu daerah yang luas membayangkan diri sebagai sebuah komunitas bersama.

Akan tetapi kecintaan berlebihan yang hanya tercermin lewat simbol-simbol nasionalisme ini (kaos, jaket, mug, dll), dikhawatirkan pada gilirannya akan melahirkan sifat fasistik dan chauvinistik rakyat.

Nah, dengan menggagas dan mendanai Susi Susanti: Love All, Daniel membawa nasionalisme “Indonesia keren” ke tikungan lain. Ia tak sekadar bicara nasionalisme yang simbolistik (film ini banyak mendramatisasi nasionalisme lewat pilihan kreasi visualnya), tapi juga menyampaikan paradoks ketika menyangkut etnis Tionghoa.

Sebagai keturunan Tionghoa, Daniel tentu merasakan diskriminasi rasial atas etnisnya. Tapi mau bagaimana lagi, ia kadung cinta pada negeri ini. Damn I love Indonesia, cetusnya.

Sebagai pernyataan sikap produsernya tersebut, Susi Susanti: Love All bisa kita maknai lebih dalam. Filmnya bisa kita baca sebagai persembahan dari etnis Tionghoa buat bumi pertiwi. Persembahan itu disertai pesan yang bunyinya kira-kira begini: walau negara dan bangsa ini telah memarginalkan kami (baca: etnis Tionghoa) sedemikian rupa, kami tetap mencintai negeri ini. (*)

https://kronologi.id/2019/10/26/susi...tnis-tionghoa/

Nunggu Blu-ray nya emoticon-Big Grin
ndoto
sebelahblog
4iinch
4iinch dan 5 lainnya memberi reputasi
6
3.1K
27
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670.7KThread40.7KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.