Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

lostcgAvatar border
TS
lostcg
Kisah Kaum Permalim di Aceh Singkil
Kisah Kaum Permalim di Aceh Singkil

Jumat, 25 Oktober 2019 08:50

   



NURHALIMAH ZULKARNAEN, S. Sos., pegiat budaya dan alumnus Sosiologi Agama di Universitas Islam Negeri UIN Ar-Raniry, melaporkan dari Singkil - IST

OLEH NURHALIMAH ZULKARNAEN, S. Sos., pegiat budaya dan alumnus Sosiologi Agama di Universitas Islam Negeri UIN Ar-Raniry, melaporkan dari Singkil

PARA penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa bukanlah entitas yang aneh di negeri ini. Di Aceh Singkil pun, kampung halaman Hamzah Fansyuri dan Syekh Abdurrauf, komunitas ini ada. Mereka menyebut dirinya orang-orang ugamo (agama) permalim.

Tak banyak yang menjadi pengikut ugamo permalim di Aceh Singkil, terlebih mereka adalah penghayat kepercayaan yang tidak aktif menyebarkan, apalagi memaksakan kepercayaannya kepada orang lain. Dalam satu Kecamatan Danau Paris di Aceh Singkil, hanya ada 20 penganut permalim.

Cukup jauh jika Anda ingin ke sana dari pusat kota Singkil, karena harus melewati berbagai kelokan dan tebing-tebing yang berjajar tanaman sawit. Rumah ibadah mereka pun hampir rubuh, berlubang di sana-sini, dan tentu saja bau kemenyan yang menusuk hidung. Rumah ibadah itu sudah lebih tua daripada Kabupaten Aceh Singkil, berdiri sejak 1956.

Di antara tanah lapang di pinggir jalanan Kampung Sikoran, Kecamatan Danau Paris, di  Aceh Singkil, berdiri lesu dengan warna abu-abu dan cat hijau yang lapuk diterpa panas sebuah rumah ibadah. Di pintu depan rumah ibadah itu tertulis: Himpunan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Persatuan Ugamo Permalim Adat Budaya Baringin Indonesia. Nah, itulah tempat ibadah orang-orang ugamo permalim.

Sebelum saya uraikan lebih lanjut tentang permalim, mari kita lirik Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) agar lebih paham makna kata permalim. Kata ini berasal dari bahasa Batak yang merupakan sistem kepercayaan tertua dalam suku Batak, disebut juga agama raja-raja, berisi kepercayaan bahwa seluruh alam diciptakan oleh Ompu Mulajadi Nabolon yang dipercaya berdiam di langit ketujuh. Penganutnya terkadang menyebut permalim dengan pelbegu. Di dalam rumah ibadah mereka di Danau Paris terdapat kentongan, mimbar, bendera pedang bermata dua, bendera merah putih lusuh, dan tak lupa lukisan wajah Raja Sisingamangaraja XII.

 Seorang lelaki berkopiah yang merupakan Ketua Cabang Permalim bernama Sailon Berutu (72 tahun) menyambut kedatangan kami. Ia memakai batik dan menghadap dupa, membakar kemenyan. Rumah ibadah itu masih sepi. Setelah basa-basi, obrolan pun dimulai dengan kepulan asap kemenyan dan rokok bersahutan. Pada satu titik kalimat di tengah kepulan asap, Nek Sailon Berutu berseru lantang, “Selamanya kami akan menegakkan adat budaya dan menentang kapitalisme kafir!”

Jujur, saya kaget mendengarnya. Persepsi saya mengenai mereka yang animistik dan penuh dengan filosofi yang muluk-muluk terbantahkan sudah. Nek Sailon Berutu tetap memegang prinsip Rasa Sisimangaraja XII. 

Pembicaraan pun mengalir dan sejumlah penganut kepercayaan permalim mulai berdatangan, terlebih hari itu (Sabtu) adalah hari di mana mereka akan beribadah di rumah ibadah mereka. Tak banyak yang datang, hanya sehitungan jari, dan berusia lanjut semuanya.  Mereka adalah orang-orang tua yang tak pernah gentar atas keyakinannya, tak mengalah meski didakwahkan pada agama yang lain dan ‘lebih resmi’. Dengan bangga mereka menyebut bahwa di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, mereka sebagai penganut ugamo permalim, mempunyai hak beribadah, dan berkumpul. Rumah ibadah mereka pun telah diresmikan pada tahun 1956 dengan SK Mendikbud RI Nomor 1/089/F8/F2/1980.

Payung hukum bukan hal utama yang meneguhkan keyakinan mereka, karena mereka berpegang teguh pada kepercayaan dan kebaikan, menjaga alam, dan menentang imprealisme.

Di sisi lain, saya juga menemui penganut ugamo permalim yang menjadi tenaga pengajar di sebuah sekolah. Dia menyatu dengan masyarakat dan senantiasa membagikan lauk-pauk ke tetangga tanpa pernah peduli apa agama tetangganya. Mengalienasi diri tak pernah ada dalam kamus mereka. Bagi mereka, beragama adalah pilihan dan tak ada yang perlu direpotkan dengan pilihan manusia dalam cara menyembah Tuhan.

Menariknya, saat kami tengah berbincang, seorang lelaki datang, beliau menjabat Penasihat Parsatian Permalim, Murjin (67 tahun) namanya. Belakangan saya ketahui beliau diantar oleh anaknya yang beragama Islam ke rumah ibadah. Saya menahan diri untuk bertanya hal personal, tapi tanpa aba-aba dia menjelaskan seolah membaca pikiran saya. “Saya tak pernah memaksa anak-anak saya untuk beragama seperti keyakinan saya. Anak-anak saya ada yang Islam, ada yang Katolik, dan Protestan. Semua masih anak-anak saya,” ujar Pak Murjin. Entah kenapa saya lega mendengar hal itu, sebuah ungkapan yang jarang diucapkan di zaman di mana orang-orang beragama dengan keras dan memaksa.

Kampung Sikoran memang seperti fiksi, mirip cerita negeri utopia tentang manusia-manusia yang saling menerima. Ia mengherankan dengan keberagaman dan cara beragama yang menakjubkan bagi kita yang terbiasa hidup di tengah hiruk-pikuk pergulatan keyakinan dan spritualitas yang berubah menjadi perdebatan seraya membidik orang-orang yang berbeda mazhab, aliran, keyakinan, dan agama yang lain seperti kita.

Di kampung Biskang, Danau Paris, Sikoran, Napa Galuh, dan daerah terdekatnya hampir tak ada perbedaan. Semua orang beragama dan punya pegangan masing-masing. Meskipun ugamo permalim menjadi minoritas, mereka mengakui bahwa mereka tak pernah didiskriminasi oleh sentimen masyarakat yang berbeda keyakinan di sana.

Ugamo permalim berasal dari tanah Batak sejak beribu-ribu tahun lalu. Sesampai di  Aceh mereka tetap menjadi permalim yang taat dan dengan bangga mereka sung bendera pedang bermata dua dari Sisingamangaraja XII di rumah ibadah mereka serta memuji Kerajaan Aceh yang telah bekerja sama dengan nenek moyang mereka. Mereka senang hidup di Aceh, bendera di rumah ibadah mereka adalah jenis bendera ‘Zulfaqar’ (baca: Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah I) yang dipakai ureung Aceh untuk melawan musuh abadi bersama kala itu: kapitalisme Belanda kafir! (Aceh: Belanda kaphe!) Bendera merah, pedang bermata dua, serta bulan, matahari, dan bintang adalah kebanggaan mereka.

Orang-orang tua yang menganut ugamo permalim itu hidup santai dan bersahaja. Makan dari hasil bertani dan berkebun. Tak ada yang mereka takutkan dengan agama dan kepercayaan mereka. Mereka genggam erat adat, mereka berkumpul, dan berdoa, sesekali menyampaikan berbagai cerita sejarah keberanian perang Raja Sisingamangaraja XII, dongeng-dongeng, dan puisi, di rumah ibadah mereka yang amat sederhana.

Mereka tetap tenang, meski usia kian senja dan barangkali ugamo mereka bakal punah. Asap dupa dan rokok tetap mengepul!

https://aceh.tribunnews.com/amp/2019...ngkil?page=all

Baguslah, semoga aja bisa ditiru kota lainnya
sebelahblog
sebelahblog memberi reputasi
1
2K
11
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.5KThread41.3KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.