Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

venomwolfAvatar border
TS
venomwolf
5 Tahun Jokowi-JK, Apa Kabar Revolusi Mental?
Jakarta - Revolusi mental adalah salah satu program yang digaungkan Joko Widodo-Jusuf Kalla di awal periode 2014-2019. Lima tahun berselang, program revolusi mental dianggap tak pernah dievaluasi hingga ukurannya tidak jelas.

"Revolusi mental. Itu aja nggak pernah dievaluasi. Sampai sejauh mana progressnya. Kan nggak ada yang menyentuh tuh," kata Pengamat politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio kepada wartawan, Jumat (18/10/2019).

Baca juga: 5 Tahun Jokowi-JK, Tata Kelola Pemerintahan Jadi Sorotan

Hendri menjelaskan bahwa revolusi mental merupakan salah satu program Jokowi yang belum tuntas. Dia membeberkan beberapa indikasi yang menunjukkan bahwa program ini belum berhasil.

"Kalau revolusi mental berhasil, nggak mungkin ada isu radikalisme. Kalau revolusi mental berhasil, nggak mungkin ada buzzer-buzzer berkeliaran di timeline medsos itu," tuturnya.


Baca juga: Jokowi Kenang Kebersamaan dengan JK: Setiap Hari Terasa Spesial

Dia menyarankan agar Jokowi bisa melanjutkan sejumlah pekerjaan rumahnya yang belum tuntas. Beberapa di antaranya yakni yang dalam sembilan agenda prioritas.

"Banyak pekerjaan rumahlah. Saya sarankan, Pak Jokowi melanjutkan yang belum selesai. Kayak nawa cita ini kan belum selesai. Jadi, kayak teori spion aja. Melihat ke belakang, untuk maju ke depan. Begitu saja," ungkapnya.

Sementara itu, Direktur Populi Center Usep S Ahyar mengatakan bahwa Jokowi mesti kerja keras jika ingin melanjutkan program revolusi mental. Sebab, menurutnya, mental adalah sesuatu yang sulit diubah.

"Saya kira Pak Jokowi perlu kerja keras ya, jika ingin melanjutkan program revolusi mental di periode kedua ini. Soalnya revolusi mental ini ukurannya kan kan abstrak. Terus, di satu sisi mental ini memang sulit diubah, harus ada jangkarnya," kata Usep saat dihubungi, Jumat (18/10/2019).

Baca juga: Catatan 5 Tahun Jokowi-JK Bidang Hukum: UU KPK Baru hingga Kasus HAM

Meskipun ukuran keberhasilan program revolusi mental tidak jelas, namun dia menilai program ini masih jauh dari harapan. Hal ini bisa dilihat dari kondisi masyarakat yang terjebak dalam pusaran ujaran kebencian.

"Revolusi mental ini ukurannya memang tidak jelas. Kalau dibilang berhasil pun nggak bisa. Apalagi sekarang kondisi masyarakat seperti ini. Misalnya, mudah terpicu sama ujaran kebencian. Lalu, mental pejabat juga belum berubah dari ingin dilayani, jadi melayani," ungkapnya.

Sebelumnya, sejak awal kabinet kerja dibentuk, revolusi mental ini menjadi program pokok yang terus didengungkan. Bahkan, Jokowi mengatakan dia tak ingin revolusi mental sekadar jadi jargon.

"Saya lakukan besar-besaran. Saya memang tidak mau menjadikan jargon. Jangan jadi contoh. Misalkan untuk anak-anak kelas 1 sampai 2 tahun. Karena di situlah umur emas membangun karakter. Kita lakukan training-training kepada guru PAUD kepada guru TK dan SD," ungkap Jokowi dalam wawancara khusus dengan detikcom di Istana Bogor, Kamis (12/10/2017).

Jika merujuk pada laman resminya, definisi revolusi Mental adalah gerakan sosial untuk bersama-sama menuju Indonesia yang lebih baik. Pada periode kedua Jokowi, revolusi mental tetap akan dilanjutkan. (rdp/imk)
https://m.detik.com/news/berita/d-47...ental?single=1



Kerugian Akibat Korupsi Rp 200 T, Ekonom Sebut Ancam Pembangunan

TEMPO.CO, Jakarta - Kerugian akibat tindakan korupsi yang tertangani mencapai angka Rp 200 triliun. Tindakan tersebut juga akan mengancam sejumlah rencana pembangunan nasional.

Berdasarkan hasil riset para ekonom dalam rentang waktu 2001 hingga 2015, angka kerugian akibat tindakan korupsi di Indonesia telah menembus Rp203,9 triliun. Riset tersebut dilakukan oleh sejumlah ekonom dari berbagai instansi. Proyeksi kerugian korupsi secara keseluruhan minimal berada pada kisaran 2,5 kali dari angka kerugian awal.

Ekonom Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Rimawan Pradiptyo mengatakan angka tersebut baru mencakup kerugian akibat korupsi yang telah ditangani KPK.

"Angka real-nya saya yakin akan jauh lebih besar dari Rp200 triliun, karena biaya lain seperti opportunity loss tidak terhitung jumlahnya," katanya saat ditemui di Jakarta pada Jumat, 18 Oktober 2019.

ADVERTISEMENT

Rimawan menambahkan, tindakan korupsi dapat mengancam tiga sektor pembangunan nasional. Pertama, korupsi akan menghambat pembangunan infrastruktur pendukung.

Dalam Naskah Akademik "Rekomendasi Ekonom Terhadap Pelemahan Penindakan dan Pencegahan Korupsi" yang dikeluarkan para ekonom bersamaan dengan surat terbuka, pendanaan pembangunan infrastruktur di Indonesia tidak hanya bersumber dari APBN. Setidaknya, ada 15 proyek infrastruktur yang diinisiasi oleh pemerintah menggunakan skema private-public partnership (PPP).

Skema ini memungkinkan pemerintah bekerja sama dengan pihak swasta dan diharapkan membawa keuntungan bersama bagi kedua pihak. Untuk pihak swasta yang mendasarkan keputusan investasi berdasarkan kepastian keuntungan dari proyek, korupsi menjadi salah satu faktor yang memberikan
ketidakpastian bagi pebisnis dan mengurangi daya tarik dari suatu proyek.

Sektor kedua yang akan terhambat akibat korupsi adalah pembangunan SDM. Pembangunan SDM yang akan menjadi fokus pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin amat vital untuk menopang perekonomian. Hal ini semakin penting karena Indonesia tengah memasuki era digital dan ekonomi nilai tambah tinggi.

Korupsi terbukti menghambat pembangunan sumber daya manusia melalui sejumlah indikator seperti tingginya angka putus sekolah dan kematian bayi.

Selain itu, korupsi juga diketahui berdampak seperti halnya pajak regresif pada anggota masyarakat, yakni fasilitas publik akan sulit diakses oleh masyarakat yang relatif tidak mampu, sebagai dampak dari suap maupun praktik KKN lainnya.

Praktik korupsi juga akan berdampak pada efisiensi APBN. Selain mengurangi efektivitas belanja pemerintah, korupsi juga akan membebani APBN dari sisi pemasukan.

Selain membebani APBN pada tingkat pusat, korupsi juga mengakibatkan inefisiensi belanja di tingkat yang lebih rendah, contohnya Pemda. Hal ini terlihat berdasarkan temuan KPK pada 2009 lalu. Secara umum, kerugian negara akibat tindakan korupsi mencapai 35 persen dari total nilai pengadaan barang dan jasa pemerintah, baik pusat maupun daerah.
serapionleo
maleo.pejuang
tien212700
tien212700 dan 5 lainnya memberi reputasi
4
2.5K
45
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.3KThread41.1KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.