indrainiesta28Avatar border
TS
indrainiesta28
Habis-habisan Menjaga Ekonomi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gelisah. Boleh jadi ini yang dirasakan Joko Widodo memasuki periode kedua kepemimpinannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Maklum, kondisi perekonomian tampak kian babak belur dihantam kuatnya tekanan ekonomi global. Hal ini ditandai dengan lesunya kinerja mesin penopang utama pertumbuhan ekonomi, yaitu konsumsi, investasi, dan ekspor.

Tak heran, sejumlah lembaga keuangan dunia kompak memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi RI tahun ini. Terbaru, Bank Dunia kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2019 jadi 5% dari sebelumnya 5,1%.

Pemangkasan tersebut seiring dengan kondisi ekonomi global yang makin tak pasti. “Risiko penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi terjadi di tengah ketidakpastian global yang baru,” kata Lead Economist Bank Dunia Indonesia Frederico Gil Sander.

Sander menjelaskan, perang dagang yang berlanjut antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok dapat membebani pertumbuhan regional dan harga komoditas.

Keadaan tersebut berdampak buruk pada pertumbuhan ekonomi Indonesia dan juga neraca transaksi berjalan.

Sementara Asian Development Bank (ADB) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini dari semula sebesar 5,2% menjadi 5,1%.

“Revisi dilakukan seiring dengan kinerja ekspor dan investasi Indonesia yang menunjukkan tren melemah,” kata Winfried Wicklein, Kepala Perwakilan ADB untuk Indonesia.

Proyeksi tersebut sejalan dengan hasil survei Bank Indonesia (BI) yang menunjukkan adanya pelambatan sejumlah indikator ekonomi pada kuartal III-2019. Sebut saja, Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), dan Indeks Penjualan Riil (IPR), yang semuanya melorot.

Begitu juga dengan survei perbankan BI, yang mengindikasikan adanya perlambatan pertumbuhan kredit baru pada triwulan III-2019.

Merespons kondisi makro yang tengah lesu darah, pemerintah gencar merancang rencana dan sejumlah strategi. “Semua upaya sedang kami siapkan dan perbaiki,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution.

Guna mengenjot investasi, misalnya, pemerintah bakal mengeluarkan jurus-jurus baru demi menarik minat investor. Setelah berupaya memikat investor melalui insentif fiskal, pemerintah kini menyiapkan perombakan “besar-besaran” terkait perizinan yang dianggap menghambat investasi.

Omnibus law

Upaya ini sekaligus merupakan respons pemerintah terhadap pernyataan Bank Dunia terkait iklim bisnis di Indonesia. Rilis Bank Dunia menyebutkan, tidak ada satu pun perusahaan asal China yang mau merelokasi pabriknya ke Indonesia dalam dua bulan terakhir.

Perusahaan asal China lebih memilih memindahkan basis produksinya ke Vietnam, Thailand dan Meksiko. Alasannya, perizinan usaha di ketiga negara itu jauh lebih sederhana.

Demi memperbaiki perizinan berusaha, pemerintah tengah mengevaluasi 72 peraturan terkait perizinan investasi. Dari jumlah itu, tercatat 10 peraturan ekspor-impor yang dianggap menghambat proses bisnis yang turut direvisi dan ditargetkan kelar dalam waktu dekat.

Salah satu beleid yang akan direvisi adalah Permendag No. 17/2018 tentang Perubahan Kedua Atas Permendag Nomor 127/M-DAG/PER/12/2015 tentang Ketentuan Impor Barang Modal dalam Keadaan Tidak Baru (BMTB).

Kelak, tak diperlukan lagi rekomendasi untuk impor barang modal, termasuk dalam kondisi bekas. Kemudahan ini sangat diperlukan investor yang ingin merelokasi pabriknya ke Indonesia. Mereka dimudahlan sebab bisa membawa barang modal permesinan dari lokasi lama ke Indonesia.

“Jadi nanti tidak ada rekomendasi, bisa langsung, asal calon investor membuktikan itu untuk investasi, dan tidak untuk diperjualbelikan,” kata Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita.

Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono mengatakan, pemerintah akan terus membenahi kemudahan perizinan berusaha untuk menjamin kepastian usaha dan investasi.

Selain ekspor-impor, pemerintah juga menyiapkan omnibus law yang bertujuan untuk memudahkan perizinan berusaha.

Omnibus law

Upaya ini sekaligus merupakan respons pemerintah terhadap pernyataan Bank Dunia terkait iklim bisnis di Indonesia. Rilis Bank Dunia menyebutkan, tidak ada satu pun perusahaan asal China yang mau merelokasi pabriknya ke Indonesia dalam dua bulan terakhir.

Perusahaan asal China lebih memilih memindahkan basis produksinya ke Vietnam, Thailand dan Meksiko. Alasannya, perizinan usaha di ketiga negara itu jauh lebih sederhana.

Demi memperbaiki perizinan berusaha, pemerintah tengah mengevaluasi 72 peraturan terkait perizinan investasi. Dari jumlah itu, tercatat 10 peraturan ekspor-impor yang dianggap menghambat proses bisnis yang turut direvisi dan ditargetkan kelar dalam waktu dekat.

Salah satu beleid yang akan direvisi adalah Permendag No. 17/2018 tentang Perubahan Kedua Atas Permendag Nomor 127/M-DAG/PER/12/2015 tentang Ketentuan Impor Barang Modal dalam Keadaan Tidak Baru (BMTB).

Kelak, tak diperlukan lagi rekomendasi untuk impor barang modal, termasuk dalam kondisi bekas. Kemudahan ini sangat diperlukan investor yang ingin merelokasi pabriknya ke Indonesia. Mereka dimudahlan sebab bisa membawa barang modal permesinan dari lokasi lama ke Indonesia.

“Jadi nanti tidak ada rekomendasi, bisa langsung, asal calon investor membuktikan itu untuk investasi, dan tidak untuk diperjualbelikan,” kata Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita.

Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono mengatakan, pemerintah akan terus membenahi kemudahan perizinan berusaha untuk menjamin kepastian usaha dan investasi.

Selain ekspor-impor, pemerintah juga menyiapkan omnibus law yang bertujuan untuk memudahkan perizinan berusaha.

Omnibus law merupakan beleid yang menggabungkan sejumlah aturan menjadi satu undang-undang (UU) sebagai payung hukum baru terkait perizinan investasi.

“Hal ini sebagai upaya pemerintah menyederhanakan perizinan dan regulasi terkait kemudahan berusaha melalui penerapan omnibus law untuk menarik investor domestik dan asing,” jelas Susiwijono.

Menurutnya, omnibus law akan dimulai dengan penataan kembali kewenangan. Jadi, setiap undang-undang yang mengatur penyerahan kewenangan langsung kepada menteri atau kepala daerah, itu sebenarnya merupakan kewenangan presiden yang dilimpahkan kepada menteri dan kepada daerah.

“Intinya adalah mengintegrasikan kebijakan antar lembaga untuk meningkatkan kemudahan berusaha. Harapannya, tak ada lagi perizinan usaha yang tumpang tindih dan berbenturan antar kementerian dan pemerintah daerah,” ujar Susiwijono.

Perbaikan iklim investasi juga dilakukan dengan revisi bidang usaha pada Daftar Negatif Investasi (DNI), serta simplifikasi perizinan berusaha dan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK). “Itu semua bertujuan untuk menarik investasi,” ujarnya.

Membidik Afrika

Menggenjot ekspor juga menjadi fokus utama pemerintah saat ini. Menurut Susiwijono, upaya tersebut dilakukan melalui simplifikasi prosedural, efisiensi logistik, serta diplomasi ekonomi dan peningkatan pasar.

Antara lain, dengan meningkatkan promosi melalui trade expo, business forum, dan business matching Indonesia, termasuk juga dengan membuka pasar ekspor baru.

Contoh, penugasan khusus kepada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Indonesia Eximbank untuk mendorong ekspor dengan membuka peluang bagi eksportir masuk ke pasar nontradisional. Salah satunya ekspor ke Afrika yang diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) 787 Tahun 2017.

Upaya menggenjot ekspor juga dilakukan dengan meningkatkan produk ekspor yang terlibat dalam global value chain (GVC). Susiwijono menuturkan, kondisi ekspor Indonesia saat ini lebih berfokus pada bahan baku yang tidak memiliki pertambahan nilai, sehingga tidak menjadi aktor yang signifikan dalam CGV.

Kita butuh produk-produk berteknologi tinggi agar bisa berkontribusi dalam GVC. “Nah, industri manufaktur itu menjadi motor utamanya. Agar kita memiliki industri manufaktur yang mampu menghasilkan barang berteknologi tinggi, kita harus meningkatkan kualitas SDM dan iklim investasi yang kondusif,” papar Susiwijono.

Di sisi lain, pemerintah juga fokus menekan impor guna mengurangi defisit neraca dagang. Salah satu terobosan yang sudah mulai diterapkan adalah melakukan substitusi impor atas komoditas dan barang tertentu, yang selama ini memberatkan neraca perdagangan sehingga menyebabkan defisit, contohnya migas.

Substitusi impor saat ini telah dilakukan pemerintah melalui pengembangan biodiesel yang telah mencapai B20. Dalam waktu lima hingga 10 tahun ke depan, Indonesia diharapkan bisa mencapai B100 dan tak perlu lagi impor migas. Sebab, kebutuhan migas domestik sudah dapat dipenuhi dalam negeri menggunakan biodiesel berbahan baku kelapa sawit.

Sebagai salah satu penopang pertumbuhan ekonomi, pemerintah juga menaruh perhatian serius terhadap daya beli masyarakat. Namun demikian, Susiwijono meragukan bila daya beli masyarakat saat ini mengalami pelambatan.

“Terlalu dini menyimpulkan penurunan daya beli masyarakat karena saat ini transaksi ekonomi dan aktivitas masyarakat beralih ke sektor digital,” ujarnya.

Namun demikian, pemerintah tetap menaruh perhatian serius terhadap masalah ini dengan membuat program padat karya tunai, meningkatkan Program Keluarga Harapan (PKH), cash transfer dan bantuan sosial lainnya.

Peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia juga dapat didorong dengan pengoptimalan infrastruktur jalan tol, kereta api, pelabuhan, dan bandara yang akan dihubungkan dengan pusat perekonomian.

Menurut Susiwijono, infrastruktur yang maju dan berkualitas dibutuhkan untuk mengurangi biaya logistik, mendorong pertumbuhan dan pemerataan ekonomi Indonesia, sehingga cita-cita bangsa untuk keluar dari kondisi middle income trap dapat tercapai.

Implementasi setengah hati

Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindrawardana mengatakan, kondisi makro ekonomi saat ini memang harus mendapat perhatian serius pemerintah. Beberapa indikator makro, seperti terungkap dari hasil survei BI, menujukkan kondisi sebenarnya.

Di sektor manufaktur, misalnya, banyak pabrikan padat karya yang mulai bertumbangan karena kalah bersaing dengan produk-produk impor.

“Contohnya pabrikan produk komponen elektronik, baja, piping, hingga hilir migas itu semua sedang sulit,” ujarnya.

Daya beli masyarakat juga terpukul anjloknya harga ekspor komoditas tambang dan perkebunan. Di tambah serapan tenaga kerja sangat rendah karena minimnya investasi di sektor padat karya.

“Sektor pariwisata juga tidak secerah yang diharapkan, penjualan retail offline dan online juga semakin marak produk impor. Artinya, alarm lampu kuning harus dinyalakan,” tukasnya.

Menurut Danang, seluruh program pemerintah untuk mengungkit potensi ekonomi sudah cukup bagus. Hanya saja , ada kelemahan di tingkat implementasi yang tidak pernah maksimal.

“Selama ini implementasinya masih setengah hati, tidak tuntas, jadi ya mengawang-awang. Maka para investor luar negeri lebih banyak menunggu kepastian implementasi program-program itu,” ujarnya.

Pieter Abdullah, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, berpendapat, pemerintah harus mampu mengeksekusi semua program supaya Indonesia bisa keluar dari potensi pelambatan pertumbuhan ekonomi.

“Jadi harus fokus mendorong permintaan domestik dengan memanfaatkan semua kebijakan, baik moneter, fiskal dan sektor riil,” ujarnya.

Tanpa terobosan berarti, menurut Pieter, pertumbuhan ekonomi tahun ini bakal stagnan di angka 4,95%- 5,05%.

Semoga, jurus-jurus baru pemerintah kali ini manjur.

https://insight.kontan.co.id/news/ha...enjaga-ekonomi

Semoga periode kedua membaik ya emoticon-I Love Indonesia (S)
scorpiolama
scorpiolama memberi reputasi
1
1.5K
21
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670.6KThread40.7KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.