Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

gegerorion124Avatar border
TS
gegerorion124
Dendam Tumbal di Gunung Sumbing


Ini terakhir kali gue ingetin lu, ya, La. Batalin rencana lu naik bareng si Dika. Bahaya. Lagian mending lu putusin aja tuh anak.


Ucapan Flo masih saja mengiang di telingaku. Entah apa maksud gadis itu, yang pasti sepanjang pendakian konsentrasiku buyar. 

Memang, awalnya ajakan Dika untuk mendaki, kutolak. Namun, saat kutahu tujuannya Gunung Sumbing, tak pikir lama untuk aku mengiyakannya. Ini impianku. Mendaki miniatur Gunung Rinjani. Dan kini, kakiku sudah menjejaknya.

.

Sesampainya di sumber mata air, kami istirahat sejenak. Aku segera mengisi botol-botol kosong. Di saat yang sama itulah, kurasakan seolah ada seseorang yang menguntit. Namun, saat kutengok ke belakang, tak tampak siapapun juga. Kuusap tengkuk yang tiba-tiba dingin. Aku pun segera berlalu. 


ilustrasi


Ilaa ....

Langkahku terhenti. Sayup kudengar seorang wanita memanggil nama kecilku. Spontan aku menoleh. Kutajamkan mata, juga pendengaran. Mana tahu aku salah dengar. Bisa saja itu halusinasiku semata. Ternyata hanya ranting-ranting pepohonan yang berjatuhan.

.

Setelah melalui jalur yang aduhai, tibalah kami di Camp Gajah. 

"Kita diriin tenda di sini aja. Sebelum subuh kita bisa lanjutkan pendakian lagi," ucap Irwan --sang ketua. Sebagai anggota kami hanya mengikuti arahannya saja. 


Sebenarnya menurut informasi yang aku baca di laman on-line, Camp Gajah ini anginnya kencang. Karena memang tak ada pepohonan rindang. Padang sabana terhampar kuning keemasan sepanjang mata memandang di saat kemarau. Sungguh indah. 

Kuhirup dalam-dalam oksigen di sekitar. Tak dapat kupungkiri pemandangan ini membuat siapa saja terpesona. Kupejamkan mata. Meresapi suasana saat ini. 


ilustrasi


Ila ... pulanglah! Di sini bahaya.

Aku tersentak.

Flo? Sial! Si bawel itu mengekor kemana pun rupanya. Tapi, Flo 'kan tak memiliki lesung pipi. Lantas, yang barusan? 

Aku berusaha mencari sumber suara. Tapi sepertinya sia-sia belaka. 


"Laaa!!!" 

Ririn melambai serta mengangkat tinggi-tinggi selimut bonekaku. Kuacungkan ibu jari tanda setuju. Gadis itu kulihat masuk kembali ke tenda. Mungkin dia hendak melanjutkan rumpiannya bareng Sisi si kutu buku. 

Di luar kian dingin. Kuputuskan masuk tenda. Meski niat hati ingin menyaksikan sunset, tapi raga ini sepertinya enggan. 

"Lu, tadi ngomong ma siapa? Anak tenda sebelah, ya?" cecar Ririn tepat ketika aku merebahkan badan. 

Sejenak aku berpikir. Anak tenda sebelah? Perasaan tak ada siapa-siapa tadi di luar.

"Ih, lu mah, La. Diajak ngomong malah bengong. Kesambet lu ntar," umpatnya kesal. Aku hanya tersenyum menanggapi ulah Ririn. Antara bingung dan geli lihat mukanya yang kesal.


Di Camp Gajah ini, selain rombongan kami, yang terdiri dari 2 tenda, memang  ada tiga tenda lain. Dari perkenalan yang singkat siang tadi, mereka bilangnya berasal dari Bandung. 

.

Petang pun beranjak. Angin masih bertiup kencang. Rasanya malas sekali untuk keluar tenda. Namun, teriakan Irwan yang begitu heboh, membuatku penasaran. Kulongokkan separuh badan. Tampak  pemuda itu tengah merentangkan kedua tangannya sembari menatap langit. Rupanya pemuda itu terpesona oleh hamparan jutaan bintang di langit malam sana. 




ilustrasi

Wuuushhh!!!


"Ka--ka-- kamu siapa?"

Jauhi Laila!

"...."

Laila. Pacarmu. Gadis yang akan kau habisi.


Samar dari kejauhan terdengar pertengkaran yang menyebut-nyebut namaku. Sesekali lengkingan tawa begitu tajam terdengar di telingaku.

Kuikuti sumber keributan itu. Langkahku terhenti. Seperti suara Dika. Tapi, siapa perempuan yang bertengkar dengannya. Bukankah Ririn dan Sisi ada di tenda. 

"Reniii!" Seorang lelaki yang berasal dari Bandung itu tiba-tiba merangsek ke arah perempuan di hadapan Dika. 

Aku terlonjak seketika. Menoleh kiri kanan. Tak ada orang lain lagi selain kami berempat. Kukira sekarang pun kami berada jauh dari tenda. Karena hanya terlihat gundukan-gundukan kecil dari tempatku berdiri.


"Kumohon, keluarlah dari tubuh adikku Reni, wahai Nona. Kami tidak ada urusan denganmu." Kulihat lelaki itu bersimpuh dengan tangan menangkup di depan wajahnya. 


Tiba-tiba tubuh perempuan itu --Reni ambruk. Beruntung lelaki yang bersimpuh tadi dengan cepat menangkapnya.

"Aawwhh," pekikku tatkala kulihat sesosok perempuan yang begitu mirip denganku tengah berdiri di samping tubuh Reni. 

Seketika kurasakan ribuan bintang seolah membenamkanku. Pening melanda. Hingga tubuh ini tersungkur di atas padang sabana. 

.

Entah sudah sejak kapan aku dikelilingi teman-teman. Ririn dan Sisi kini memelukku erat. Tampak Irwan yang berdiri tak jauh dari Dika. Dika! Pemuda itu penampilannya begitu kacau.


Ilaa adikku. Pulanglah. Nyawamu terancam di sini.


Perempuan misterius itu? Bagaimana mungkin dia tahu namaku?
Adik? Ya, Tuhan, suratan apa ini? Tiba-tiba seorang perempuan mengakui aku sebagai adiknya di tempat seperti ini pula.

Mulutku seolah terkunci. Aku hanya dapat mendengar ungkapannya yang kurasakan begitu memilukan. Wajah tirusnya sungguh pucat. Apa dia belum makan? Tapi, sorot matanya …. 
Meremang lah bulu kudukku. 


Jauhi dia, Laila.


Kuikuti arah telunjuk Perempuan itu. Tatapannya jatuh pada Dika yang terduduk lemas dengan wajah tertunduk. 


Dua puluh tahun lalu, bapaknya melenyapkanku.

Suara perempuan itu tiba-tiba memelan.

Bapaknya melenyapkanku demi tumbal kekayaan keluarga mereka. Dulu, aku begitu terpedaya dengan segala kebaikannya. Hingga mau dinikahi meski hanya di bawah tangan. Namun, semua itu hanyalah kedok semata. Keluarga mereka sangatlah kejam, Ila. Jauhi Keluarga Wikarma.


Kenyataan apa ini? Dika? Tumbal? Kekayaan? Otakku kian berputar mencerna semuanya. 


Tinggalkan dia. Saat ini kau lah target selanjutnya. Karena syarat tumbal ada pada dirimu seutuhnya.

Kupijit keras pelipisku. 

Ingatkah kau dengan kematian sepupumu yang penuh dengan cakaran?


Mbak Laili? Sekuat tenaga kukumpulkan kepingan ingatan akan masa kecil. 

Ya, aku mengingatnya. Hari itu saat aku baru saja masuk TK, para lelaki berseragam mengantar jasad seseorang, Mbak Laili-- anak sulung Pakde. Menurut cerita, jasadnya hampir sulit dikenali karena bekas cakaran di mana-mana.

Saat itu tidak akan kulupa begitu saja, hari dimana aku kehilangan Mbak Laili dan juga kakek untuk selamanya. Kematian kakek begitu mendadak. Cerita ibu, kakek terkena serangan jantung saat tahu musibah menimpa Mbak Laili.

Mengingat itu semua membuat gelap seluruh penglihatanku. Namun, sesaat sebelumnya masih kudengar isak tangis Ririn, memanggill namaku. Juga raungan Dika begitu memedihkan telinga. Dan, lengkingan tawa puas arwah Mbak Laili yang memecah pekatnya malam. Mungkin dendamnya sudah terpenuhi. Terakhir, pekikkan seluruh temanku memanggil-manggil nama Dika.


*******
Tamat

September 2019


.Cerita ini hanyalah karangan semata.















 






 
Diubah oleh gegerorion124 30-09-2019 04:25
sebelahblog
someshitness
4iinch
4iinch dan 10 lainnya memberi reputasi
11
8.6K
27
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.1KThread83.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.