Quote:
Jakarta, CNBC Indonesia - Serikat buruh menuntut revisi PP 78/2015 tentang pengupahan pada unjuk rasa 2 Oktober lalu. Tuntutan ini sudah diketahui Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat perwakilan buruh datang ke Istana Bogor, awal pekan ini.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal dan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Nena Wea sempat dipanggil Presiden Jokowi di Istana Bogor, Senin (30/9/2019).
Kunjungan ke Istana dan demo, diklaim buruh sebagai strategi KLAP (Konsep, Lobi, Aksi, dan Politik) dalam memperjuangkan tuntutan buruh. Pada 2 Oktober, demo buruh memang tertib dan berlangsung singkat.
Selain revisi, PP 78, ada dua lagi permintaan buruh yaitu tolak revisi UU Ketenagakerjaan dan tolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Said Iqbal setelah demo 2 Oktober 2019, sempat mengatakan yang mungkin akan segera respons oleh pemerintah adalah revisi PP 78. Ia mengklaim Presiden Jokowi berjanji secepatnya akan diselesaikan.
Iqbal mengatakan nantinya, tiga tim akan duduk bersama membahas revisi PP 78 yang selama beberapa tahun terakhir diprotes oleh buruh. "Akan dibentuk tim unsur buruh, pemerintah, dan pengusaha," kata Iqbal kepada CNBC Indonesia, Rabu (2/10/2019).
Jika revisi benar dilakukan, maka peta penetapan dan besaran upah minimum provinsi (UMP) 2020 akan berubah. Perhitungan upah berdasarkan PP 78/2015 yang memasukkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi yang berlaku sejak 2015, bisa jadi akan berubah. Bagi pengusaha ini tentu jadi malapetaka, dalam arti tak memberi kepastian.
"Revisi PP 78/2015 pasti akan mengubah peta UMP yang nantinya tidak memberikan kepastian seperti sebelumnya," kata Wakil Ketua Umum Kadin bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial, Antonius Supit, Kamis (3/10/2019).
Baca:
Pengusaha: Bagaimana Kita Mau Bersaing Kalau Upah Naik Terus?
Ia mengatakan, penetalan upah berdasarkan PP 78/2015 sudah memberikan kepastian kepada pelaku usaha dan pekerja tidak dirugikan sebab menerima upah minimum di atas inflasi.
Namun, kalangan buruh keberatan sebab dalam penetapan upah, mereka tidak dilibatkan. Berbeda dengan aturan sebelumnya. Jika mengacu pada UU 13/2003, maka keputusan besaran UMP ditentukan berdasarkan survei kebutuhan hidup layak (KHL) di pasar yang kemudian didiskusikan di dewan pengupahan daerah Kota/Kabupaten yang melibatkan pemerintah, pengusaha, dan buruh dalam perundingan tripartit.
Baca:
Jokowi akan Bahas Soal Upah dengan Buruh, Apa Poin-poinnya?
Anton mengatakan, ketika berbicara mengenai isu ketenagakerjaan, hal ini semata tidak membawa kepentingan pengusaha, melainkan juga untuk kepentingan para pencari kerja yang sedang kesulitan mencari pekerjaan saat ini.
"Karena itu perlu ada kepastian atau kenaikan yang bisa diprediksi dan juga seimbang dengan produktivitas sebab filosofi UMP adalah safety net dan berlaku untuk masa kerja sampai setahun," katanya.
https://www.cnbcindonesia.com/news/2...taka-pengusaha
Ya ampun, jangan sampai Revisi ini terjadi dong pak. Kalau kenaikan UMPnya tidak pasti, bagaimana pengusaha bisa mengestimasi untuk tahun2 ke depan? Jangan ikuti kata2 buruh yang menginginkan kenaikan upah tidak lagi mengacu kepada produktivitas dan pertumbuhan ekonomi
Yang diinginkan pengusaha itu sebetulnya sederhana, kepastian dari pemerintah terkait UMP ini. Dan kebutuhan hidup masyarakat murah. Percuma upah besar kalau kebutuhan hidup besar. Lain halnya ketika upah standard tapi kebutuhan hidup murah, para pengusaha senang karena upah tetap dan buruh pun senang karena kebutuhan hidup murah.
Tolong jangan bebani pengusaha lagi pak. Persaingan semakin ketat. Kalau upah mahal bagaimana kita bisa bersaing?