Suka dukadalam hidup adalah sesuatu yang wajar.Seseorang pasti pernah merasakan sukacita, baik yang bersebab maupun yang tak bersebab. Sebaliknya pasti juga pernah mangalami dukacita. Sewaktu-waktu memang seseorang wajar dan perlu mengalami dukacita. Tetapi akan merugikan jika kita terjebak dalam duka, lalu tak sanggup merayakan kehidupan dengan penuh sukacita. Duka memiliki akar. Saat akar ini dibiarkan tumbuh, niscaya kita memetik buah duka.
Setidaknya ada tiga akar duka yang umum dipelihara manusia. Pertama, keinginan yang kuat pada sesuatu. Kedua, kemelekatan pada sesuatu yang disenangi atau dicintai. Yang ketiga, penghargaan diri. Ane akan mengurainya lebih lanjut. Dimulai dengan tentang keinginan sebagai akar duka yang paling umum.
Spoiler for 1.:
Quote:
Memang sewajarnya seseorang memiliki keinginan, termasuk untuk meraih keadaan yang menyenangkan. Hanya saja, jika keinginan ini tidak dituntun kesadaran murni, pasti membuahkan dukacita. Maka perkara keinginan perlu kita mengerti secara akurat.
Raga memiliki berbagai kebutuhan yang, saat ditunggangi persepsi pikiran, akan memunculkan keinginan. Contoh, raga membutuhkan minum karena haus. Pikiran dengan persepsi dan preferensinya mengarahkan kita untuk menginginkan es jeruk. Pola ini bisa berkembang menjadi semakin rumit seiring dengan kompleksitaspikiran. Maka seseorang bisa menginginkan banyak hal yang melampaui kebutuhannya. Duka muncul ketika keinginan ini tak terpenuhi dan diri tak siap menerima kenyataannya.
Dan memang semakin banyak keinginan, semakin sulit untuk memenuhinya. Maka, sungguh bijaksana jika seseorang bisa mengendalikan keinginan sehingga semakin jarang mengalami duka akibat tak terpenuhinya keinginan.
Sebenarnya tak masalah menikmati berbagai macam kesenangan, baik yang menyenangkan raga maupun jiwa. Wajar juga jika seseorang menginginkannya. Yang perlu disadari, ketika menginginkan berbagai kesenangan itu dan kemudian kecewa atau marah saat tak terpenuhi, sesungguhnya kita tengah membuat duka bagi diri sendiri.
Seorang yang berkesadaran murni justru tak punya banyak keinginan. Ia siap menikmati apa yang ada. Di pikirannya tak banyak beban, ambisi, dan obsesi. Tapi saat ada anugerah berupa kesenangan bagi jiwa raga, ia bersikap penuh terima kasih dan mampu menikmati semua itu.
Spoiler for 2.:
Quote:
Berikutnya, duka yang muncul akibat kemelekatan. Untuk mengatasi ini, bukan berarti kita tak boleh memiliki sesuatu. Kepemilikan itu wajar, dan kita bisa memiliki apapun tanpa melekat padanya. Kemelekatan adalah kondisi jiwa ketika kita takut kehilangan sesuatu yang dimiliki, karena terlalu senang dan mencintainya. Saat sesuatu yang kita senangi dan cintai itu benar-benar hilang, duka pun muncul.
Sekali lagi, merupakan kewajaransekaligus bagian dari hukum semesta bahwa seseorang memiliki sesuatu. Entah itu rumah, barang, kekasih, atau apa pun. Kita hanya dituntun untuk tidak terjebak dalam penderitaan akibat kemelekatan pada apa yang dimiliki. Derita muncul ketika kita dipenuhi rasa takut dan khawatir milik kita diambil orang atau hilang.
Akar duka ini bisa dipangkas dengan kesadaran bahwa segala keberadaan material yang merupakan milik kita memang tak akan selamanya bersama kita. Ada waktu datang, ada waktu pergi. Saat datang sebagai milik kita, nikmati saja. Saat pergi, ya lepaskan. Inilah sikap memiliki tanpa melekat. Jiwa kita tidak terikat sesuatu di luar dirinya yang tidak kekal. Apa pun dari luar diri yang menjadi milik kita, sesuai hukum alam, memang pasti akan sirna pada waktunya.
Bisa juga kita melekat pada sesuatu yang tidak dimiliki. Objek kemelekatan demikian disebut angan-angan yang menjadi tujuan atau obsesi. Ini tentu juga membawa derita.
Spoiler for 3.:
Quote:
Akar duka berikutnya, penghargaan diri. Kita memberi penilaian atau harga diri pada diri kita sendiri. Saat tidak dinilai atau dihargai sesuai standar kita, maka kita marah, kecewa, dan sakit hati. Umumnya, hatiseseorang terluka saat ada pihak lain yang merendahkan dan menista dirinya. Saat luka jiwa ini tetap menganga, saat itulah duka bersamanya.
Akar duka yang satu ini bisa dipangkas dengan memilih untuk tidak memiliki harga diri. Tak usah menilai diri begini dan begitu. Anggap saja kita nilainya 0, atau tak punya harga. Inilah salah satu manifestasi kesadaran sejati. Maka, saat ada orang lain mengatakan begini dan begitu, kita tak merasa direndahkan atau dinistakan. Karena kita memang sudah rendah serendah-rendahnya. Taka da yang bisa membuat kita lebih rendah lagi.
Atau pakai metode kebalikannya: sadari bahwa bagaimanapun kondisi ragawi kita, sejatinya di dalamnya ada Jiwa Agung.Dan jiwa ini tetap agung meski orang lain merendahkan dan menistakannya. Tak ada kata-kata dan tindakan orang lain yang bisa meruntuhkan keagungan jiwa kita.
Kehidupan adalah momen pembelajaran bagi Sang Jiwa. Sejatinya bumi adalah satu taman surgawi, tempat yang teramat indah, di mana kita bisa bertumbuh sembari menikmati keindahannya. Hanya karena tindakan kita sendiri yang melencengdari prinsip harmoni, bumi berkurang keindahannya dan di beberapa tempat malah menjadi neraka mengerikan.
Quote:
Sumber Tulisan: Catatan Leluhur Jawa: Suwung.
Sumber Gambar:Cek Disini.
Diubah oleh nohopemiracle 29-09-2019 14:06
d0dittt dan 19 lainnya memberi reputasi
20
6.9K
Kutip
119
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Inspirasi
10.5KThread•6.7KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru