alfikrisagaAvatar border
TS
alfikrisaga
Pernikahan Terlarang Sunda Dan Jawa


"Raden, pernikahan antara Suku Sunda dan Jawa itu terlarang. Kata orang tua, pernikahannya akan kurang langgeng, kurang bahagia dan kurang sejahtera dan Ibu merasakannya sendiri."

~

Lir ilir, lir ilir ...
Tanduri wus sumilir ...
Tak ijo royo-royo ...
Tak sengguh temanten anyar ...
Tak sungguh temanten anyar

Bocah angon, bocah angon ...
Penekno Blimbing Kuwi ...
Lunyu-lunya
Kanggo basuh dodot iro ...
Kanggo basuh dodot iro

Katanya, tak ada yang lebih membahagiakan daripada menjadi anak-anak. Lihatlah lima belas anak yayasan itu, tawanya begitu renyah. Seperti tak ada beban sama sekali. Asyik benar mereka menyenandungkan lagu tradisional Jawa itu, walau lupa-lupa-ingat dengan syair dan liriknya. Tak mengapa, yang terpenting bagi mereka adalah sudah melakukan persiapan untuk acara festival budaya bulan depan.

Latihan menyanyi sore ini dipandu oleh Nyai dan Yudistira. Mereka berdua masih berusia dua puluhan. Keduanya mengajari anak-anak dengan tulus dan penuh kehangatan.

Nyai, gadis berjilbab itu merupakan ketua harian dan pengasuh yayasan. Yayasan ini jugalah yang membesarkannya. Sedangkan Yudistira bukan pengasuh tetap yayasan. Dia tamu dari Surakarta.

Latihan menyenandungkan tembang Jawa tersebut mendadak terhenti ketika seorang anak berkerudung lusuh dengan napas terengah-engah masuk ke ruangan aula yayasan sembari berteriak, "Nyai ... Nyai ... ada keluarga pesantren di rumah Bu Sri!"

Semua yang ada di ruangan refleks menoleh ke arah anak tersebut. Nyai langsung berdiri--tentu karena tadi namanya disebut.

"Eneng, ucapkan salam dulu atuh!" tegur Nyai.

"Assalamu'alaikum, maaf Nyai!" tutur anak perempuan yang biasa dipanggul Eneng itu. Seisi ruangan kontan menjawab salam. Dengan keadaan masih panik, Eneng melanjutkan ucapannya, "gawat, Nyai! Gawat pisan!"

"Gawat kenapa, Neng?" Dahi Nyai mengernyit, bingung. "Coba jelaskan dengan lebih tenang."

Eneng menarik napas, lalu berbicara dengan cepat dan dengan nada sangat panik, "Itu, Nyai! Ada keluarga pesantren di rumah Bu Sri Sundari. Dia mau menjodohkan Nyai dengan Gus Yusuf."

"Apa? Perjodohan?!" Nyai langsung berdiri.

"Iya, Nyai. Perjodohan," Eneng menunduk mantap dengan napas tersengal-sengal, "Ayo, Nyai! Kita ke sana sekarang!"

Nyai mengangguk. Dia menoleh pada Yudi, "Titip anak-anak dulu, ya Den Yudi. Saya izin ke rumah Bu Sri sebentar."

"Eh, tapi--," belum selesai Yudi menjawab, Nyai sudah lari meninggalkan ruangan. Eneng mengekor di belakang. Mereka bergerak menuju rumah Bu Sri Sundari yang letaknya tak jauh dari yayasan.

"Ada apa, Den Yudi?" tanya anak-anak. Mereka tampak kebingungan.

"Ndak ada apa-apa. Kalian di sini sama Den Yudi dulu, ya ...." Lelaki tampan berwajah Jawa itu mencoba menenangkan anak-anak. Mereka mengangguk.

Sementara itu, sesampainya di depan rumah Bu Sri, Nyai segera mengetuk pintu--walau sudah terbuka--sembari mengucapkan salam. Eneng memilih berdiri di luar, dia tak berani masuk.

Bu Sri dan keluarga pesantren berdiri sembari menjawab salam. Tampak ada Kiai Sepuh dan strinya yang biasa dipanggil Nyai Kiai. Nyai mencium tangan istri Kiai Sepuh, juga kepada Bu Sri. Gadis itu kemudian dipersilakan duduk.

"Cantik, kamu tahu 'kan niat baik dari kedatangan kami ke sini?" tanya istri Kiai Sepuh.

Nyai menggeleng--walau tadi Eneng sudah memberi spoiler, tapi dia bersikap tidak tahu saja, "Saya kurang tahu, Nyai Kiai. Apakah ada acara pesantren yang mengundang yayasan lagi? Mohon maaf, saya dan anak-anak tidak bisa hadir."

Istri Kiai Sepuh menghembuskan napas. Dia menoleh kepada Bu Sri. Keduanya saling tatap.

Jujur, sebenarnya, Nyai panik. Dia benar-benar tak ingin menikah dengan Gus Yusuf, anak bungsu dari Kiai Sepuh. Dua minggu yang lalu, laki-laki itu pernah mempermalukan Nyai dan anak-anak yayasan dengan mengusir dari acara pesantren. Alasannya karena anak-anak yayasan mengambil makanan tamu yang ada di meja depan sebelum acara dimulai. Anak-anak itu juga membuat berantakan kursi yang sudah dipersiapkan panitia karena asyik lari-larian. Nyai sudah meminta maaf atas kenakalan anak-anak tersebut. Permohonan maaf ditolak, dia dan anak-anak disuruh angkat kaki. Saat itu, Nyai Kiai dan Kiai Sepuh tak ada di lokasi sehingga dengan berat hati mereka meninggalkan tempat tanpa izin terlebih dahulu.

"Saya mohon maaf atas kekhilafan anak kami kemarin, Nyai," tutur istri Kiai Sepuh.

"Tak perlu meminta maaf pada saya, Nyai Kiai. Saya tidak baik-baik saja. Anak-anaklah yang menangis ketakutan karena dibentak. Mereka sangat bersedih. Apalah daya kami yang hanya anak-anak yatim piatu," tutur Nyai dengan wajah menahan rasa kesal.

"Nyai!" Bu Sri menegur, "kamu bicara apa? Istigfar!"

Nyai menunduk. Bu Sri memohon maaf atas perkataan Nyai kepada Kiai Sepuh dan istri. Keduanya memaklumi.

"Nyai, apakah kamu mau menjadi bagian dari keluarga pesantren?" tanya Kiai Sepuh.

Nyai mengangkat kepala, memasang wajah seolah kurang paham, "Menjadi bagian dari keluarga pesantren?"

"Iya, kami ingin menjodohkan kamu dengan putra bungsu kami, Gus Yusuf," tutur Kiai.

Nyai menoleh pada Bu Sri. Beliau tersenyum, seolah menyerahkan jawaban sepenuhnya pada anak pungutnya itu.

"Kamu 'kan sudah ta'aruf dengan Gus Yusuf, Nyai, tiga bulan lalu selama hampir setengah tahun. Dan kalian bukahkah saling suka?" lanjut Kiai Sepuh.

Nyai terdiam. Iya, dia berta'ariuf dengan Gus Yusuf selama enam bulan. Dan itu adalah ta'aruf yang cukup membahagiakan hatinya. Gus Yusuf adalah laki-laki yang sangat populer di Kabupaten. Anak ulama ternama, wajahnya tampan, suara ketika azan dan MTQ sangat merdu. Tapi, kejadian kemarin benar-benar tak mengenakan. Menepis semua kekaguman itu dan bermanuver menjadi sangat kecewa. Nyai sungguh kecewa.

"Bagaimana, Geulis?" Nyai Kiai bertanya.

"Mohon maaf, Nyai Kiai. Saya belum bisa menerima perjodohan ini."

Kiai Sepuh dan Nyai Kiai terkejut. Dulu ketika Gus Yusuf serta gadis yayasan itu mengakhiri ta'aruf, mereka seperti orang yang saling mencintai. Hal ini dibuktikan dengan Nyai yang suka mengirim makanan kepada Gus Yusuf.

"Lho, kenapa?" Wajah Nyai Kiai tampak tersinggung.

"Assalamu'alaikum." Seseorang berdiri di bingkai pintu. Memecah ketegangan. Semua menoleh sambil menjawab salam. Orang tersebut melanjutkan ucapannya, "Nyai tidak bisa menerima rencana perjodohan ini karena akan menikah dengan saya."

Nyai membulatkan mata. Kiai Sepuh dan sang istri saling tatap. Bu Sri pun mengernyitkan dahi. Semuanya terkejut bukan main.

Orang tersebut kemudian masuk ke dalam, menyalami Kiai Sepuh sembari memperkenalkan diri, "Nama saya Yudi dari Surakarta. Saya calon suami Nyai."

"Oh, baik-baik," Kiai Sepuh mengangguk-angguk. Dia mengerti sekarang. Tak lama setelah itu, beliau dan sang istri memilih untuk meminta diri. Pamit. Bu Sri menjadi tak enak hati. Beliau terus-menerus meminta maaf kepada keluarga pesantren sembari mengantarnya hingga meninggalkan rumah. Sementara Nyai terduduk bingung.

Bu Sri kemudian kembali ke rumah. Wanita separuh baya itu memohon Nyai untuk mengecek anak-anak di yayasan karena tak ada yang menjaga. Sementara Yudi diminta tetap di sana untuk berbincang dengannya.

Setelah Nyai meninggalkan rumah Bu Sri, pemilik yayasan tersebut menutup pintu terlebih dahulu.

"Jangan di sini, Den Yudi. Kita ke ruang sebelah, ke ruang keluarga. Ibu khawatir ada yang dengar percakapan kita," cakap Bu Sri.

"Nggih, Bu." Yudi mengangguk takzim. Dia mengekor di belakang Bu Sri, sebelumnya akhirnya duduk di sofa jadul di ruang keluarga.

"Apa yang kamu ucapkan tadi di hadapan kami itu serius, Den?" Bu Sri bertanya.

"Tentu saja, Bu. Saya sangat mencintai Nyai. Saya ingin menikahi dia. Kita sudah saling kenal sejak saya pertama datang ke sini ketika masih SMA. Tapi, Ibu seperti lebih menjodohkannya dengan Gus Yusuf. Padahal Ibu tahu 'kan soal perasaan saya?" ujar Yudi panjang lebar.

Wanita paruh baya yang selalu mengenakan kebaya dan sarung kain batik itu terdiam. Raden Mas Yudistria Purbaningrat atau Yudi itu adalah anak asuhnya di padepokan Purbaningrat, Surakarta. Sejak bercerai dua puluh tahun yang lalu, Bu Sri memilih menjadi abdi dalem di padepokan tersebut, pergi jauh dari Kuningan dan meninggalkan segala kenangan pahit dengan mantan suami.

Bu Sri Sundari dapat diterima sebagai 'babu' di sana karena almahurm Ayahnya adalah kolega keluarga Purbaningrat. Dia diamanati menjaga dan mengasuh cucu keluarga padepokan yaitu Yudi.

Yudi yang sudah lulus sarjana dua tahun lalu, kini bekerja di perusahaan firma bisnis dan surat kabar milik trah Purbaningrat. Dia sengaja mengambil cuti dua hari karena sangat rindu dengan anak-anak yayasan, khususnya Nyai. Yudi berangkat bersama Bu Sri, Ibu asuh sekaligus pemilik yayasan tersebut.

"Den, kamu tahu 'kan siapa kamu dan siapa Nyai?" Sri Sundari bertanya dengan suara rendah namun sangat serius.

"Nggih, Bu. Saya tahu," lelaki Jawa berperawakan tegap itu menjawab mantap.

"Maksud Ibu, kamu tahu 'kan jika kamu berdarah biru. Keluarga Purbaningrat pasti memiliki banyak hukum pernikahan untuk menjaga darah biru tersebut. Sementara kamu juga tahu 'kan, jika Nyai itu sebatang kara. Asul-usulnya abu-abu. Itu pasti menjadi pantangan besar bagi keluarga kamu, Den. Ibu yakin."

"Lalu, kenapa Ibu mengajarkan bahwa Allah akan memberikan naungan di hari akhir untuk tujuh golongan, di antaranya untuk sepasang suami istri yang menikah karena Allah. Bukan karena harta, keturunan atau yang lainnya. Dan Yudi, sangat ingin menjadi bagian dari tujuh golongan tersebut, Bu." Yudistira menuturkannya dengan penuh perasaan.

Sri Sundari menghembuskan napas seraya tersenyum pedih. Hati kecilnya antara bahagia dan sedih mendengar perkataan tersebut. Bahagia karena melihat anak asuhnya berprinsip dan berpengetahuan, di sisi lain sedih karena keadaan.

"Tapi, Den," lanjut Bu Sri, "Pernikahan antara orang Jawa dan Sunda itu terlarang. Melanggar pantangan. Melanggar leluhur."

Yudi malah terkekeh. Dia sudah sangat sering mendengar mitos tersebut. Yudi tak memercayainya sama sekali, "Ibu percaya mitos itu juga?"

Sri melebarkan kedua sudut bibirnya, "Itu bukan mitos. Itu adalah sejarah. Itu adalah perintah leluhur."

Yudi mengernyit, "Sejarah? Perintah Leluhur? Maksudnya, Bu?"

Wanita berkebaya itu mengangguk, "Iya, larangan pernikahan antara Jawa dan Sunda ini bukan sekadar mitos dan omong kosong semata. Semua berawal dari Perang Bubat, perang antara Majapahit dan kerajaan Pajajaran"

Sri Sundari menjelaskan bahwa perang tersebut bermula ketika Hayam Wuruk, raja mahsyur Majapahit, ingin memperistri Dyah Pitaloka. Niat tersebut bukan sekadar cinta belaka, namun juga dorongan politik karena tanah Pasundan merupakan satu-satu wilayah di Nusantara yang belum ditaklukan oleh Majapahit.

Lamaran melalui surat kehormatan dikirim ke Maharaja Linggabuana. Lamaran diterima dan pernikahan direncanakan berlangsung di Majapahit. Maharaja Linggabuana berserta permaisuri dan Dyah Pitalokasedikit pasukan, yang kemudian disambut pihak Majapahit dan ditempatkan di Pesanggarahan Bubat.

Gajah Mada dengan Sumpah Palapa-nya, mengirim pasukan untuk menyerang Pesanggarahan Bubat tanpa keputusan dan restu dari Hayam Wuruk. Pajajaran dipaksa menyerah dan takluk kepada Majapahit, namun Maharaja Linggabuana tidak sudi. Dengan jumlah pasukan yang terbatas, Pajajaran melawan pasukan Gajah Mada dengan keras, namun berakhir nahas. Hampir semua pasukan dan keluarga tewas, kecuali Dyah Pitaloka.

Dyah Pitaloka memilih bela pati atau bunuh diri sebagai simbol menjaga kehormatan dalam kasta Ksatria jika suami atau keluarganya gugur dalam perang.

Perang ini membuat hubungan Gajah Mada dan Hayam Wuruk merenggang. Bahkan, Majapahit dan Pajajaran pun menjadi kian tidak harmonis.

Pangeran Niskalawatu Kancana, yakni adik dari Putri Dyah Pitaloka, naik takhta menjadi Prabu Niskalawastu Kancana--Pangeran Niskalawatu Kancana satu-satunya keturunan kerajaan yang masih hidup karena tidak ikut berperang di Pesanggrahan Bubat.

Ia memutuskan hubungan diplomatik dengan Majapahit sekaligus mengeluarkan larangan esti ti luaran atau beristri dari luar bagi kalangan kerabat Negeri Sunda. Peraturan itu diartikan sebagai larangan menikah dengan orang Jawa.

"Itulah kisahnya, Den Yudi," tutur Sri Sundari panjang lebar.

Yudi terdiam. Merenung. Sementara Sri Sundari melanjutkan perkatannya, "Ibu merasakannya sendiri, Den. Entah kebetulan atau perintah leluhur itu yang benar. Pernikahan Ibu dengan seorang pria Jawa kandas dua pulun tahun yang lalu. Rasa sakit, penderitaan dan kesedihannya sampai saat ini masih Ibu rasakan.

Ibu hanya berharap, kamu atau Nyai khususnya, tidak mengalami apa yang Ibu rasakan."

Yudi menghembuskan napas. Bimbang. Matanya menatap Sri Sundari dengan pertanyaan besar yang mengganjal di hati, "Bagaimana jika takdir Allah yang menentang perintah leluhur itu, Bu? Takdir yang tertulis di Papan Yang Terpelihara?"

Sri Sundari membisu sesaat. Menundukan kepala. Matanya mulai berkaca-kaca, "Tak ada yang bisa menentang kehendak Gusti Yang Maha Suci, sama sekali tak ada. Apapun itu.

Yudi tersenyum haru, "Bagaimana jika seandainya, jika takdir menuliskan bahwa Raden Mas Yudistira Purbaningrat dari Jawa berjodoh dengan Nyai dari Sunda?"

"Tentu kita tak bisa apa-apa. Kita mesti menerima ketetapan Gusti Yang Maha Suci," Sri Sundari pasrah. Dia kehabisan kata-kata.

"Kalau begitu, berarti saya boleh menikahi Nyai?" tanya Yudi semangat.

"Tunggu jawaban dari Nyai langsung. Jika dia bersedia, maka Ibu tak bisa melarang."

~ TO BE CONTINUED ~
KnightDruid
someshitness
i4munited
i4munited dan 25 lainnya memberi reputasi
26
17.4K
74
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread42.1KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.