Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

  • Beranda
  • ...
  • The Lounge
  • Sambutan "Selamat Datang" dari Makluk Besar Penunggu Gunung Ciremai

berbagi274Avatar border
TS
berbagi274
Sambutan "Selamat Datang" dari Makluk Besar Penunggu Gunung Ciremai


"Udah siap, kan, Bro! Setengah jam lagi ane jemput, ya!" Rudi, teman kantor, memastikan kalau saya jadi ikut mendaki Gunung Ciremai saat cuti kantor waktu itu.

"OK, Brader. Ane dah redi dari tadi. Cuma bawa perlengkapan pribadi doang, kan?" Saya balik bertanya, memastikan soal perlengkapan untuk mendaki.

"Iya. Udah pokoknya Ente bawa perlengkapan pribadi aja. Soal peralatan kemah dan lain-lain biar urusan Ane sama Rizkon. Yang penting Ente yakin buat ikut mendaki," jawab Rudi.


Sebelumnya saya belum pernah ikut mendaki gunung manapun. Paling cuma campingdi bumi perkemahan saja. Meski saya tinggal di bawah Gunung Ciremai, tapi belum pernah sekalipun mendaki hingga ke puncaknya. Makanya, sering jadi bahan ledekan teman-teman. Mulai dari teman sekolah dulu, sampai teman kantor tempat saya bekerja.

Waktu itu saya putuskan untuk ikut. Meski ada sedikit keraguan dan ketakutan tersendiri. Saya lahir dan dibesarkan di kaki Gunung Ciremai yang hawanya sejuk, bahkan cenderung dingin. Tapi, entah mengapa saya tidak kuat dingin. Gara-gara hawa dingin saya bisa bentol-bentol, bersin, sampai sakit kepala. Makanya, berkali-kali Rudi mengingatkan agar jangan lupa membawa semua hal yang dibutuhkan. Untuk jaga-jaga barangkali terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Setengah jam berlalu, Rudi sudah sampai untuk menjemput. Waktu itu kami cuma bertiga, saya Rudi dan Rizkon. Sengaja mengambil cuti digabung dengan akhir pekan agar bisa santai melakukan pendakian. Kami bertiga mengendarai mobil, yang nantinya akan dititipkan di pos paling bawah.

"Berdoa dulu, Gaes! Biar aman dan selamat kita," seru Rizkon mengingatkan kami untuk berdoa sebelum melakukan perjalanan.

Perjalanan dari rumah saya ke pos pendakian pertama tidak begitu jauh. Hanya memakan waktu setengah jam saja. Sesampainya di Pos kami membagi tugas membawa peralatan dan perlengkapan.

Baru saja sampai di Pos pertama, kami disuguhkan dengan pemandangan alam yang luar biasa. Di sebelah selatan, nampak pantai dan laut selatan yang menyatu dengan langit. Putih kebiru-biruan. Indah. Sawah, kebun yang menghampar bersatu dengan pemukiman, berwarna-warni memanjakan mata.

Sejenak saya mengambil napas panjang, lalu melepaskannya perlahan. Menikmati indahnya alam gunung Ciremai, seraya mensyukurinya. "Ah, selama ini kemana aja?" bisik hati saya menyalahkan diri sendiri.

Sebelum memulai pendakian, Rudi yang lebih berpengalaman memberikan arahan. Rencananya kami akan menghabiskan dua hari dua malam di sini. Itu sudah termasuk waktu tempuh pendakian.

"Gak usah buru-buru, yang penting jaga kondisi. Malam pertama kita akan memasang tenda di dekat Gua Walet," ucap Rudi menutup arahan teknis pendakian. Saya dan Rizkon mengangguk, sepakat.


"Oh iya. Ane lupa menegaskan. Terutama buat ente. Selama di sini, jaga sikap baik-baik. Jangan ngomong sembarangan, apalagi kencing sembarangan. Urusannya bisa gawat." Rudi menambahkan arahannya, sambil menggendong tas besar. Sejurus kemudian ia memberi aba-aba untuk memulai mendaki.


"Jangan lupa doa!" Rizkon menyela langkah, mengingatkan untuk selalu berdoa. Matanya memandang ke arah saya. Saya balas dengan mengangguk.



Lokasi: Tanjakan Bapa Tere, Gunung Ciremai. Sumber Foto : mounture.com

Rudi dan Rizkon terlihat cukup cekatan melangkahkan kaki di antara bebatuan. Beberapa titik tanjakan cukup menyulitkan langkah saya. Maklum, belum hapal medan. Saya tertinggal beberapa meter di belakang mereka berdua. Alhasil, berkali-kali Rudi dan Rizkon berhenti sejenak untuk menunggu saya.

"Masih kuat, Bro?" Tanya Rizkon sambil memberikan tangannya. Membantu saya menaiki tanjakan.

"Masih. Ayo lanjut!


Hari mulai gelap. Kabut asap bergerak perlahan, menyelimuti sekitaran Gua Walet, tempat yang akan kami gunakan untuk memasang tenda dan bermalam.

Rudi masih terlihat cekatan memasang rangkaian Tenda. Rizkon tak kalah aktif. Tangannya terampil membuat perapian untuk memasak hidangan makan malam. Sementara saya hanya duduk sembari meluruskan kaki. Mengatur napas, kelelahan.

Mereka berdua tiba-tiba kompak melihat ke arah saya. Sambil mengacungkan jempolnya, Rudi memastikan kondisi saya, "Aman, kan, Bro!"

Saya hanya menjawab dengan acungan jempol kembali. Kemudian merebahkan badan. Mengumpulkan tenaga untuk sisa pendakian yang masih panjang.


Lokasi Gua Walet, sumber foto di sini

Semakin malam, semakin terasa hawa dingin menusuk. Rudi dan Rizkon terlihat biasa saja. Mereka hanya menggunakan jaket dan penutup kepala. Sementara saya, jaket sudah dua lapis. Kaos kaki, kaos tangan, juga selimut, tapi masih terasa sangat dingin.

"Bro, ane kedinginan banget, nih. Langsung masuk tenda aja, ya." Saya berpamitan kepada mereka berdua yang masih asyik minum kopi di depan perapian.

"OK, Bro. Ente tidur aja. Ngumpulin tenaga buat mendaki lagi besok," jawab Rizkon.

Sesuai prediksi. Saya pasti akan kedinginan berada di ribuan meter sebuah gunung. Meski demikian, masih bersyukur tidak ada gejala-gejala yang muncul. Sejauh ini aman terkendali.

Beberapa saat kemudian saya tertidur pulas. Entah jam berapa Rudi dan Rizkon masuk tenda. Tiba-tiba mereka berdua pun sudah tertidur berdesakan di tenda kecil ini, saat saya terbangun sejenak.


Malam semakin larut dan semakin dingin. Dua teman saya sudah tertidur dengan pulasnya. Sementara saya belum bisa tertidur kembali. Dari luar tenda, sayup-sayup terdengar suara obrolan juga suara-suara. Seperti orang yang sedang memasak. Semakin lama semakin kencang. Meski tidak jelas apa yang diobrolkan, tapi bunyi-bunyian dari alat masak sangat jelas di telinga.

Dari pada tak bisa tidur, saya putuskan untuk ikut bergabung sama orang yang mungkin masih memasak makan malam. Terlebih kalau terjaga sendiri malah nanti berpikir yang bukan-bukan.

Saat saya keluar dan sedikit melemaskan badan, baru tersadar kalau cuma kami bertiga di tempat itu. Saat itu bukan musim pendakian, jadi tidak banyak yang mendaki. Agak takut sebenarnya, tapi berusaha untuk dikendalikan. Saya tahu dan sadar jika ada banyak makhluk tak kasat mata tinggal di gunung Ciremai ini.

Saat saya memutuskan untuk kembali masuk, tiba-tiba ada tiga laki-laki lewat di samping tenda. Berpakaian layaknya pendaki. Berjaket tebal, tutup kepala, lengkap dengan kaos tangan. Mereka berjalan lurus saja, seperti tak tahu ada saya berdiri di situ. Saat saya mencoba menyapa, mereka hanya menoleh tanpa berkata.

Sesaat kemudian, saya tak tahu ke arah mana mereka bertiga berjalan. Tiba-tiba hilang dari pandangan. Peristiwa ini sukses membuat saya ketakutan. Segera masuk tenda, ambil selimut, dan memejamkan mata. Berharap langsung tertidur, dan saat bangun dunia sudah terang benderang.

Dalam kondisi kedingingan dan rasa takut, saya tidak bisa benar-benar tidur. Miring ke kanan, ke kiri, bahkan sampai memeluk Rudi yang tidur persis di samping saya. Berharap meredam rasa takut.

Bersyukur akhirnya bisa tertidur. Namun, belum pun lama terlelap, tiba-tiba napas terasa sesak. Seperti ada sesuatu di dada saya yang sangat berat. Saya coba membuka mata, memastikan apa gerangan yang membuat sesak.

Kaget bukan kepalang. Telapak kaki yang sangat besar menginjak dada saya, juga Rudi dan Rizkon. Kami bertiga tidak bisa bersuara ataupun berteriak, apalagi bergerak banyak. Satu telapak kaki bisa menginjak sekaligus kami bertiga. Tubuhnya menjulang tinggi, nyaris tak terlihat wajah dan kepalanya. Hanya rambut saja yang terlihat gondrong acak-acakan.

Entah berapa meter tingginya. Dalam segala ketakutan, saya berusaha berdzikir dan membaca beberapa ayat Al-Quran. Meski terbata-bata, satu dua surat pendek berhasil saya lafalkan. Hingga akhirnya saya bisa bernapas lega, lalu benar-benar terbangun.

"Astagfirullah ..." Masih mengatur napas karena kecapekan. Di samping saya, Rudi dan Rizkon melakukan hal yang sama. Kami saling memandang, tapi tak ada satupun yang bicara.

Mulut masih komat-kamit berdzikir apapun yang kami bisa. Rizkon menganggukan kepala, sambil menengadagkan tangan, memberi kode untuk terus berdzikir dan berdoa.

Setelah itu, sunyinya malam di tengah-tengah belantara Ciremai membawa kami pada tertidur lelap. Hingga saat satu demi satu dari kami terbangun, cuaca di luar sudah cukup hangat. Matahari pagi terlihat indah di bagian timur. Suara burung-burung memyambut kami dan indahnya pagi. Sedikit membuat lupa kejadian malam tadi.

Meski kesiangan, kami usahakan tetap sholat shubuh. Setelah itu Rizkon dengan senang hati menyeduh kopi untuk kami bertiga. Sarapan pagi kami secangkir kopi dan sebungkus roti yang kami beli sebelum berangkat.

Seolah tak terjadi apapun semalam, kami bertiga tenggelam dalam hangatnya obrolan pagi. Sejenak lupa dengan pekerjaan yang selalu membebani setiap hari.

Di tengah-tengah obrolan, saya refleks bercerita tentang apa yang terjadi semalam.

"Bro, tahu gak. Semalam ane ..."

Husy, ceritanya entar aja kalau kita udah pulang, sela Rudi. "Sekarang kita siap-siap lanjutkan pendakian," sambungnya.


Setelah selesai sarapan, kami segera membereskan tenda dan bekas perapian. Sedikit bersih-bersih badan dengan air seadanya, lalu bersiap untuk menuju Puncak Ciremai.

Quote:



Gresta
ceuhetty
sebelahblog
sebelahblog dan 6 lainnya memberi reputasi
7
1.7K
14
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.1KThread83.3KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.