Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

rindazulfikarAvatar border
TS
rindazulfikar
September Berdarah
Sudah sepekan terakhir kita diperlihatkan pada pergerakan mahasiswa-mahasiswa di seluruh Indonesia. Mereka turun ke jalan-jalan. Menuntut sebuah keadilan yang kian tajam ke bawah namun, tumpul ke atas. Puncaknya saat para mahasiswa di Jakarta merangsek masuk ke dalam gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). akan tetapi polisi memaksa rekan-rekan mahasiswa untuk mundur. Gas air mata, water cannon, hingga tembakan ke udara, semua di lepaskan untuk memukul mundur mahasiswa yang hingga malam mereka tetap berada di depan gedung dpr. Tetapi langkah yang diambil tersebut tak membuat barisan massa aksi mundur. Bahkan mereka ada yang tetap tegak berdiri, sesekali melawan meski hanya dengan tangan kosong. Ada juga yang lari menyelamatkan diri, mencari tempat aman untuk berlindung. Meskipun mereka sengaja dibuat berpencar, mahasiswa tetap solid dan saling menjaga. Bahkan mereka saling bahu membahu mengamankan kawan-kawan mahasiswi yang terjebak dan kebingungan. Walau berbeda warna almamater, walau berbeda kampus tapi tujuannya sama, untuk berjuang melawan ketidak adilan.
Saling serang tak bisa dihindarkan lagi, massa aksi hanya berbekal alat seadanya, yang mereka ambil di pinggir-pinggir jalan. Jika salah satu mahasiswa terlepas dari kawanan massa aksi akan menjadi buruan para aparat untuk diamankan. Dan digelandang ke kantor polisi. Tanpa ada ampun, meski mahasiswa sudah meminta ampun. Darah-darah itu mengucur deras dipanasnya aspal jalanan. Pukulan dan hantaman meluncur pesat di wajah-wajah. Bahkan tak terkecuali masyarakat sipilpun terkena imbasnya, seperti contoh jurnalis di Jakarta atau bahkan di Makassar yang menjadi korban pengeroyokan aparat.
Tak hanya itu yang sangat disayangkan penyerangan tersebut menyasar tak hanya kepada pria akan tetapi juga pada jurnalis wanita. Mereka mendapatkan intimidasi yang sangat besar dari para aparat untuk segera menghapus foto dan video saat meliput aksi yang dilakukan para mahasiswa. Bahkan aparatpun merampas gawai yang saat itu dipegang oleh jurnalis. Pukulan dan tendangan di dapat, mereka tak mengerti apa yang salah meskipun sudah menunjukan kartu identitas namun, tetap saja mendapatkan perlakuan represif. Padahal sudah jelas bahwa jurnalis dilindung oleh UU Pers. Tetapi disini seolah-olah aparat sendiri yang melanggar aturan tersebut. Kemudia setelah itu dengan mudah meminta maaf melalui media massa, mengatakan bahwa kejadian tersebut tidak disengaja, khilaf semata, atau bahkan berkata tak mengetahui bahwa orang tersebut adalah jurnalis, alasan klasik yang terus menerus terjadi, sampai jika sudah benar-benar jatuh korban akan diklarifikasi, supaya tidak diserang oleh masyarakat. Kemudian seakan-akan hilang dan seperti tak pernah terjadi sebelumnya. Korbannya merasakan sakit dan trauma, sedangkan aparat yang melakukan hal tersebut merasa biasa-biasa saja, seolah sudah menjadi kebiasaan yang tak salah dan melanggar hak asasi manusia seseorang.
Dada sempit, wajah panas. Mata serasa dicekik gas air mata, jiwa seperti dibentak-bentak. Suara tembakan bersautan di udara. Bahkan kekelawar tak melanjutkan perjalanannya karena takut terkena peluru yang asal-asalan. Jeritan pinta tolong mendengung. Tangisan seketika memecah kelam. Bahkan ini bukan yang sedang terjadi di jalur gaza akan tetapi di Indonesia dimana mahasiswa yang mencari keadilan dipukul mundur oleh aparat dengan tembakan-tembakan. Namun, ada hal unik justru ada dalam situasi seperti ini lahir kisah-kisah romansa dengan perantara media sebotol air mineral ataupun sekadar membantu menolong membasuh wajah yang penuh bahan kimia yang ditimbulkan oleh tembakan gas air mata. Malam kian mencekam, mahasiswa terpaksa membubarkan diri, sebagian yang lain menginap di Polda karena ditangkap. Semuanya khawatir dengan keadaan teman yang satu dengan yang lain. Tangan tak henti-henti merapal seraya melafalkan doa-doa, berharap Tuhan mendengar dan selalu melindungi apa yang dilakukan kawan-kawan mahasiswa. Rakyat indonesia juga turut andil, mereka membagi tugas membantu para mahasiswa yang sedang memperjuangkan hak mereka. Ada pedagang yang memberikan air mineral gratis, tukang ojek yang mengantarkan massa aksi yang sakit, dan yang lainnya. Begitu besar harapan rakyat kepada para mahasiswa, satu-satunya yang bisa mereka harapkan untuk menyampaikan aspirasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Mereka (rakyat) percaya bahwa harapan yang dititipkan pada pundak para mahasiswa akan menjadi kekuatan tambahan saat turun ke jalan-jalan. Tak habis pikir apa yang sedang merasuki para aparat untuk melakukan tindakan represif, menyerang dengan membabi buta, dari sipil, tim medis, jurnalis. Benarkah tugas mengayomi itu kini telah hilang? Sedang para mahasiswa murni membela negeri tanpa ditunggangi, menegakkan keadilan bukan dilenyapkan keadilannya. Ibu pertiwi menangis melihat putra-putranya terbujur kaku dengan luka-luka di sekujur tubuh. Benar kata Bung Karno “Dahulu perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Tapi perjuangan kalian lebih berat, karena melawan saudara sendiri”. Haruskah hari ini kita kawan-kawan mahasiswa membangunkan Soe Hok Gie, Munir atau bahkan Wiji Thukul. Di dalam kuburnyapun mereka pasti ingin bangkit dan bergabung dengan teman-teman mahasiswa yang saat ini masih tegak berdiri menantang, pantang untuk mundur, meski sudah banyak saudaranya yang gugur.
Menepi dari massa aksi, berjalan menuju surga. Jasadmu suci karena membela negeri. Kamis 26 September, menjadi hari tak terlupakan bagi barisan massa aksi yang berorasi di kota Kendari. Saat korlap (Koordinator Lapangan) sedang menyampaikan orasi. Hening semua menyimak apa yang disampaikan. Tetapi suasana tiba-tiba pecah tak kondusif, teriakan para mahasiswi terdengar melejit hingga ke atap-atap langit, terdengar suara tembakan membelah massa aksi. Dua mahasiswa telah tergeletak, badannya sudah tak berdaya. Dengan kesigapan teman yang lain membantu mengevakuasi ke rumah sakit terdekat. Sayang nyawa Randi (21) tak tertolong, ia meninggalkan massa aksi dan berjalan menuju surga, dengan luka tembak di dada bagian kanan. Disusul oleh Yusuf (19) yang sebelumnya sempat mengalami fase kritis karena peluru yang menembus kulit kepala bagian kiri, tetapi pada akhirnya nyawanya tak lagi bisa tertolong, ia menghembuskan napas terakhir dengan senyuman. Ia menyusul kawannya (Randi) meninggalkan massa aksi, dan berjalan menuju surga. Duka mendalam bagi negeri ini. Nyawa seperti tidak ada harganya. Sedikit cerita Ayah Randi adalah nahkoda hebat, penakluk lautan lepas, dengan jaringnya ribuan ikan berebut giliran untuk diangkat ke kapalnya. Pulang melaut, sang Ayah bingung dengan keramaian dan tangisan di sepanjang jalannya menuju rumah. Hingga kemudian yang ia temui anaknya sudah kaku, tangannya putih, badannya terbungkus kain kafan. Padahal sebelum turun ke kapal Ayah Randi sudah mempersiapkan pertanyaan “Bagaimana nak, aksi hari ini?”. Belum sempat melayangkan pertanyaan tersebut, Ayah randi sudah meneteskan air mata bagai aliran sungai yang deras, anaknya sudah menegakkan keadilan di surga. Mau sampai kapan nyawa-nyawa tak berdosa yang sedang menegakkan keadilan, melwan penindasan, dihilangkan dengan tanpa rasa penyesalan. Yang pada akhirnya hanya akan mendapatkan ucapan “Maaf kami tidak sengaja”, “Kami kira tidak ada peluru dalam pistol”, dan lain sebagainya. Kematian saudara kita di Kendari, menyulutkan api mahasiswa di seluruh indonesia. Mereka menuntut keadilan atas kematian saudaranya. Mereka juga menuntut agar membebaskan para aktivis-aktivis yang saat ini banyak di tangkap oleh kepolisian. Akankah zaman orde baru masa Soeharto terulang? Dimana banyak pelanggaran-pelanggaran HAM. Hentikan, atau semakin banyak lagi korban berjatuhan, karena mahsiswa bersama rakyat akan terus ada dan berlipat ganda. Takkan mundur, meski selalu di intimidasi. Semoga September berdarah, segera diakhiri, sehingga tak ada nyawa yang melayang dan orang tua yang cemas dengan keadaan anaknya di barisan massa aksi. Bila pemerintah hanya diam dan duduk manis melihat kekerasan aparat, maka akan banyak terjadi rentetan pelanggaran-pelanggaran. Hilangnya nyawa massa aksi mahasiswa di Kota Kendari, seharusnya menjadi catatan hitam, dan menjadi pelajaran agar tak terulang kembali. Terutama kepada kepolisian agar tidak mudah melakukan tindakan yang merugikan siapapun. Sebab jika mulut-mulut dibungkam, pemerintah sudah tidak menerima kritik dari rakyat. Maka negeri ini sudah darurat.




Yogyakarta, 27 September 2019


Ditulis oleh seorang mahasiswa di salah satu Universitas di kota Yogyakarta, bernama Zulfikar Rinda lahir di Surakarta.
Diubah oleh rindazulfikar 27-09-2019 02:45
aguswahyu86
aguswahyu86 memberi reputasi
1
1.3K
15
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.9KThread41.5KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.