AboeyyAvatar border
TS
Aboeyy
Penguatkan Eksistensi KPK Melalui Revisi UU KPK


Katadata.com




Meski di bawah ‘tekanan’ dari berbagai pihak, DPR akhirnya tetap mengesahkan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dalam rapat Paripurna, yang dilaksanakan pada hari Selasa, 17 September 2019.

Ada 7 poin utama yang bahan revisi dari UU KPK Nomor 30 Tahun 2002 tersebut, namun hanya 4 poin yang disetujui Presiden Jokowi.

Keempat poin tersebut adalah 1. Kedudukan Lembaga KPK, 2. Penghentian Penyidikan dan Penuntutan, 3. Aturan Penyadapan, dan 4. Pegawai KPK Berstatus ASN.

Kelompok yang kontra atau yang menolak revisi tersebut berpandangan bahwa revisi tersebut bukan menguatkan kedudukan KPK, malah melemahkan, mengebiri, dan mengerdilkan KPKdalam pemberantasan korupsi, sehingga para koruptor bisa bernapas lebih lega.

Pihak yang pro maupun kontra, sama-sama mengemukakan argumen yang logis. Artinya, mereka sama-sama bisa benar dan bisa salah. Yah, yang namanya logika dan hasil pemikiran logis, bisa saja logis menurut sekelompok orang, namun tidak logis menurut kelompok lain. Dan perdebatan tentang hal ini, selamanya tak akan ada ujungnya.

Maka, keluar dari pro dan kontra, saya lebih berpikiran positif, berprasangka baik terhadap pemerintah. Tuh yang membentuk, mengesahkan UU KPK dan anggota KPK adalah DPR dan Presiden, yang dipilih oleh rakyat. Maka cukuplah suara mereka yang mewakili, apakah UU KPK itu perlu direvisi atau tidak, walau bagaimana pun isi dan materi perubahannya.

Saya yakin, mereka sebagai wakil rakyat, mereka lebih tahu apa yang terbaik buat rakyat dan negara. Maka, revisi UU KPK itu seyogyanya mereka niatkan agar tugas dan peran KPK semakin maksimal dan efektif dalam memberantas korupsi.

Jika tujuannya adalah untuk melemahkan KPK, tentu tak memerlukan revisi. Sebab yang namanya revisi itu adalah perbaikan dan penyempurnaan, menuju yang lebih baik dari sebelumnya.

Mari kita lihat, 4 poin perubahan yang berkaitan dengan perubahan kedudukan dan tugas KPK, dan cermati dengan seksama, di mana letak ‘pelemahannya?’.


1. Kedudukan Lembaga KPK


Kedudukan KPK

Menurut revisi UU No 30 Tahun 2002, KPK menjadi lembaga eksekutif, seperti halnya lembaga eksekutif lainnya. Namun dalam pelaksaan tugasnya, KPK tetap bersifat independen, tanpa terikat dengan pengaruh kekuasaan dan lembaga lainnya.

Pihak yang kontra menilai, dengan status KPK sebagai lembaga eksekutif, berarti KPK bisa dikendalikan oleh pemerintah. Penilaian ini tidak sepenuhnya benar, justru dengan menjadi lembaga eksekutif, KPK memiliki kekuasaan penuh untuk melaksanakan tugas yang menjadi wewenangnya, seperti halnya lembaga peradilan, yang tak bisa diintervensi oleh lembaga lainnya. Meski tak lagi dinyatakan sebagai lembaga independen, tugas dan wewenang KPK tetaplah independen.


2. Penghentian Penyidikan dan Penuntutan


SP3

Pasal 40 UU KPK versi lama menyatakan: "Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi."

Dalam versi revisi, KPK berwenang untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan dalam perkara korupsi, apabila proses penyidikan dan penuntutan tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun.

Di mana letak pelemahan KPK dalam revisi pasal ini? Bukankah ini justru menguatkan dan menambah wewenang KPK? Ataukah mereka menduga, KPK bisa ditekan atau disogok untuk menghentikan sebuah kasus korupsi?


3. Aturan Penyadapan


Penyadapan Telepon

Jika dalam UU KPK versi lama, KPK bebas tanpa batas waktu untuk melakukan penyadapan terhadap seseorang yang diduga melakukan korupsi, maka dalam pasal revisi, penyadapan harus dilakukan setelah diizinkan oleh Dewan Pengawas, dan penyadapan paling lama 6 bulan dan bisa diperpanjang.

Sebenanya ini bukan membatasi aturan penyadapan, melainkan hanya mengatur teknis penyadapan supaya lebih terukur dan profesional. Artinya, KPK harus bisa mendapatkan bukti dari penyadapan dalam kurun waktu 6 bulan tersebut, dan jangan berlarut-larut. Karena itu, penyadapan harus dilakukan secara profesional dan perhitungan yang matang. Biaya operasional penyadapan itu sangat mahal. Berapa biaya yang terbuang jika penyadapan dilakukan secara serampangan.


4. Pegawai KPK Berstatus ASN


ASN

Revisi UU KPK menyatakan bahwa pegawai KPK berstatus ASN. Artinya, jika ada pegawai KPK yang selama ini masih berstatus non ASN, ada kemungkinan mereka akan diangkat menjadi ASN. Dan dalam pengangkatan pegawai KPK berikutnya, jika terpilih, maka yang bersangkutan akan menjadi ASN.

Bukankah ini menguatkan status pegawai KPK, sebab dengan status sebagai ASN, mereka menerima gaji tetap dan gaji pensiun seumur hidup? Di mana letak pelemahannya? Apakah karena mereka berstatus ASN, sehingga bisa ditekan dan diarahkan oleh pemerintah? Dalam hal teknis, mungkin iya. Tapi dalam pelaksanaan aturan hukum, mereka hanya taat kepada UU, bukan kepada pemerintah. Seperti halnya Jaksa dan Hakim, mereka hanya taat kepada aturan hukum dalam melaksanakan tugas. Begitu juga dengan pegawai KPK, meski mereka berstatus sebagai ASN.
*****
Dengan demikian, menurut Ane, revisi UU KPK itu bukan melemahkan eksistensi KPK, malah justru menguatkannya.(*) {No.455}
******
Ref 1, Ref 2, Ref 3, Ref 4.
Diubah oleh Aboeyy 01-10-2019 02:20
sebelahblog
infinitesoul
zafinsyurga
zafinsyurga dan 9 lainnya memberi reputasi
8
1.3K
7
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
922.9KThread82.9KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.