Kompas.com




Ya, negara kita ini pernah dipimpin oleh seorang ilmuan, dan siapa lagi kalau bukan B.J. Habibie, yang menjabat sebagai Presiden RI ke-3, meski dalam masa yang relatif cukup singkat, 17 bulan, tepatnya mulai 21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999.



Dan soal apa yang telah diberikan B.J. Habibie buat negara, rasanya tak cukup halaman kertas untuk menuliskannya. Bahkan boleh dikatakan, seluruh nafasnya adalah untuk nadi kehidupan negeri ini. Kalau pun ada kekurangannya, maka satu-satunya ‘aib’ beliau, ini pun kalau memang pantas disebut sebagai ‘aib’, hanyalah lepasnya Timor Timur dari pelukan Ibu Pertiwi.
***
Karena itu, banyak hal yang saya kagumi dari seorang Habibie, dan salah satunya adalah kesederhanaan dan jauhnya beliau dari ambisi untuk meraih jabatan dan kekuasaan.

Mari kita lihat.

Setelah lulus kuliah di Fakultas Teknik Institut Teknologi Bandung di tahun 1954, Habibie melanjutkan studinya sampai tingkat Doktoral di Jerman.

Beliau mengambil studi Teknik Penerbangan, Spesialisasi Konstruksi Pesawat Terbang, di RWTH Aachenelar sampai tahun 1965.

Sambil kuliah, beliau sudah bekerja di Messerschmitt-Bölkow-Blohm, sebuah perusahaan penerbangan yang berpusat di Hamburg.


Sumber

Pada tahun 1962, beliau pulang ke Indonesia hanya untuk menikahi Ibu Ainun. Setelah itu, beliau memboyong sang istri dan kembali lagi ke sana.


Foto pernikahan Habibie Ainun

Sekitar 10 tahun kemudian, tepatnya di tahun 1973, Presiden Soeharto meminta Habibie untuk pulang ke Indonesia.

Namun permintaan itu tidak serta merta dituruti oleh Habibie, meski beliau yakin bahwa jika yang meminta itu adalah seorang Presiden, pastilah akan diberikan imbalan jabatan dan kekuasaan dalam pemerintahan.

Setahun kemudian, di tahun 1974, Habibie diundang oleh Presiden Filipina, Ferdinand Marcos, di ruang tamu Istana Malacanang. Lalu sang Presiden memberikan tawaran yang sangat menggoda, yaitu mengembangkan industri dirgantara di Manila.

Seluruh fasilitas kenyamanan dan kemewahan hidup dijanjikan oleh Presiden, andai Habibie bersedia menerima tawaran tersebut. Namun tawaran ini justru ditolak oleh Habibie dengan tegas.

Mendengar tawaran Filipina tersebut, kuping Soeharto menjadi ‘panas’. Maka langsung saja beliau mengutus Ibnu Sutowoyang saat itu menjabat sebagai Direktur Utama Pertamina, untuk menjemput Habibie agar pulang ke tanah air.

Sebelumnya antara Habibie Ibnu Sutowo tidak saling kenal. Maka begitu bertemu Habibie, langsung saja Ibnu Sutowo menyemprot Habibie dengan kata-kata yang pedas.


Ibnu Sutowo

“Saudara Rudy (panggilan Habibie), Anda harus malu kepada diri sendiri sebagai orang Indonesia. Kenapa Anda membangun negara lain?”

Kata-kata itu menyadarkan Habibie akan sumbangsih dan kecintaannya terhadap tanah air. Maka beliau segera menyelesaikan urusannya dengan perusahaan tempatnya bekerja, dan memohon izin untuk pulang ke tanah air.

Beliau tidak lagi berpikir tentang jabatan atau gaji yang akan diperoleh jika bekerja di Indonesia. Tapi hati beliau sudah bulat untuk mendermakan ilmu dan tenaganya untuk kemajuan Indonesia.

Bulan Maret 1974, Habibie dan kjelurga sudah menetap di tanah air, dan beliau langsung diberikan jabatan sebagai Penasihat Direktur Utama Pertamina.

Dan setelah itu, sederet dan setumpuk jabatan, yang tak perlu saya sebutkan lagi satu persatu, baik bersamaan maupun mengantre untuk beliau emban. Dan puncaknya adalah sebagai Presiden RI yang ke-3.
*****
Nah, yang saya kagumi dari semua itu adalah Habibie sedikit pun tidak pernah berambisi untuk mencari jabatan dan kekuasaan. Tapi justru jabatan dan kekuasaan itu yang berbalik mengejar beliau.

Beliau ikhas memberikan ilmu dan pikirannya untuk bangsa dan negara, sehingga negara pun memberikan kompensasi yang setimpal, meski beliau hanya mengambil itu seperlunya saja.(*)

{No.450}
****
Baca juga:
Catatan Seorang Odapus: Pasrah

Ketika Burung Jatuh Cinta
******
Ref 1, Ref 2.