- Beranda
- Berita dan Politik
Gereja Kami Menerima LGBTIQ karena Orientasi Seksualmu Tidak Salah
...
TS
hanna.anisa
Gereja Kami Menerima LGBTIQ karena Orientasi Seksualmu Tidak Salah
Quote:
RuPaul, maha ratu dari para drag queen, selalu menutup 'RuPaul Drag Race' dengan kalimat, “If you can’t love yourself, how in the hell are you gonna love somebody else?”
Jargon itu semacam moto hidup baginya. Semacam mantra untuk menerima diri sendiri, mencintai diri sendiri, agar bisa kuat dan nantinya berguna bagi orang banyak. Maka, selepas melempar jargon itu, RuPaul melanjutkan, “Can I get an amen?”, lalu disambut sorak amin oleh semua orang di studio.
RuPaul adalah seniman dan queer. Ia laki-laki gay yang terkenal memopulerkan seni Drag Queen sampai masuk ke ranah industri hiburan arus utama, lewat acara televisi RuPaul Drag Race. Di kalangan LGBTIQ, acara itu sering kali jadi oase sebagai mantra penerimaan diri sendiri dan komunitasnya.
Tak pernah sekali pun dalam hidup ini, saya terpikir bahwa kutipan populer dari RuPaul akan keluar dari mulut seorang pendeta, heteroseksual, dan laki-laki cisgender. Selasa siang, 3 September 2019, saya bertemu Pendeta Suarbudaya Rahadian, yang fasih dengan teori queer dan kajian teologi tentang LGBTIQ.
Rumah kerjanya di Gereja Komunitas Anugerah (GKA) Reformed Baptist adalah institusi agama pertama di Indonesia yang mendeklarasikan menerima dan mengafirmasi kelompok rentan LGBTIQ. Artinya, gereja itu tak mempermasalahkan orientasi seksual, ekspresi gender, dan ihwal lain dari kelompok tersebut—yang masih dianggap "dosa" dan "sesat" oleh komunitas agama lain.
Mendeklarasikan hal semacam itu tentu bukan tak mengundang respons-respons buruk. Dianggap sesat dan dikucilkan di kelompok Kristen sendiri bukan barang baru buat mereka.
“Banyak, kok, anggota yang masih kucing-kucingan dengan keluarganya untuk bisa beribadah,” kata Pendeta Suarbudaya sambil tersenyum.
Represi dan persekusi terhadap kelompok LGBTIQ Indonesia makin meningkat beberapa tahun terakhir. Sentimen anti-LGBT bahkan dipakai sejumlah pemerintah daerah untuk menerbitkan regulasi-regulasi diskriminatif yang meningkatkan kepanikan moral tersebut. Dengan dalih agama, Wali Kota Padang Mahyeldi Ansharullah, misalnya, membentuk tim ruqyah untuk “menyembuhkan” LGBTIQ yang dianggap penyakit.
Pertemuan saya dengan Pendeta Suarbudaya menjadi menarik karena mendengar penerimaan kepada kelompok LGBTIQ dari perspektif agama bisa dibilang masih jadi barang langka dalam konteks hari ini. Ia tak cuma bercerita tentang perdebatan homoseksualitas dalam Kekristenan, tapi juga menjabarkan fenomena “menyembuhkan” LGBTIQ yang sebenarnya bukan cuma salah kaprah tapi nirfaedah.
Kenapa Gereja Anda mendeklarasikan afirmasi kepada LGBTIQ?
Jargon itu semacam moto hidup baginya. Semacam mantra untuk menerima diri sendiri, mencintai diri sendiri, agar bisa kuat dan nantinya berguna bagi orang banyak. Maka, selepas melempar jargon itu, RuPaul melanjutkan, “Can I get an amen?”, lalu disambut sorak amin oleh semua orang di studio.
RuPaul adalah seniman dan queer. Ia laki-laki gay yang terkenal memopulerkan seni Drag Queen sampai masuk ke ranah industri hiburan arus utama, lewat acara televisi RuPaul Drag Race. Di kalangan LGBTIQ, acara itu sering kali jadi oase sebagai mantra penerimaan diri sendiri dan komunitasnya.
Tak pernah sekali pun dalam hidup ini, saya terpikir bahwa kutipan populer dari RuPaul akan keluar dari mulut seorang pendeta, heteroseksual, dan laki-laki cisgender. Selasa siang, 3 September 2019, saya bertemu Pendeta Suarbudaya Rahadian, yang fasih dengan teori queer dan kajian teologi tentang LGBTIQ.
Rumah kerjanya di Gereja Komunitas Anugerah (GKA) Reformed Baptist adalah institusi agama pertama di Indonesia yang mendeklarasikan menerima dan mengafirmasi kelompok rentan LGBTIQ. Artinya, gereja itu tak mempermasalahkan orientasi seksual, ekspresi gender, dan ihwal lain dari kelompok tersebut—yang masih dianggap "dosa" dan "sesat" oleh komunitas agama lain.
Mendeklarasikan hal semacam itu tentu bukan tak mengundang respons-respons buruk. Dianggap sesat dan dikucilkan di kelompok Kristen sendiri bukan barang baru buat mereka.
“Banyak, kok, anggota yang masih kucing-kucingan dengan keluarganya untuk bisa beribadah,” kata Pendeta Suarbudaya sambil tersenyum.
Represi dan persekusi terhadap kelompok LGBTIQ Indonesia makin meningkat beberapa tahun terakhir. Sentimen anti-LGBT bahkan dipakai sejumlah pemerintah daerah untuk menerbitkan regulasi-regulasi diskriminatif yang meningkatkan kepanikan moral tersebut. Dengan dalih agama, Wali Kota Padang Mahyeldi Ansharullah, misalnya, membentuk tim ruqyah untuk “menyembuhkan” LGBTIQ yang dianggap penyakit.
Pertemuan saya dengan Pendeta Suarbudaya menjadi menarik karena mendengar penerimaan kepada kelompok LGBTIQ dari perspektif agama bisa dibilang masih jadi barang langka dalam konteks hari ini. Ia tak cuma bercerita tentang perdebatan homoseksualitas dalam Kekristenan, tapi juga menjabarkan fenomena “menyembuhkan” LGBTIQ yang sebenarnya bukan cuma salah kaprah tapi nirfaedah.
Kenapa Gereja Anda mendeklarasikan afirmasi kepada LGBTIQ?
Ceritanya sebetulnya sederhana saja. Gereja kami banyak didatangi orang berlatar belakang LGBTIQ. Orang-orang ini sebenarnya terpental dari komunitas agama karena orientasi seksualnya.
Jadi, GKA ini berdiri tahun 2013 sebagai komunitas religius alternatif. Jadi, orang-orang yang datang ke kami 90 persen adalah orang-orang ateis, agnostik, yang dulu pernah beragama tapi meninggalkan keimanan karena dianggap Kristen itu enggak relevan, rasional, enggak manusiawi dan sebagainya dan sebagainya.
Di antara pertanyaan-pertanyaan soal agama itu muncul pertanyaan soal apa sih pandangan-pandangan Kristen yang alternatif tentang LGBTIQ? Yang normatif jelas itu ditolak, harus dikonversi ke heteroseksual. Itu secara umumlah.
Karena kami banyak didatangi teman-teman (LGBT) dan didatangi jemaat, kami dibawa pada suatu posisi untuk memikirkan ulang kondisi heteronomativitas kami. Kami juga enggak langsung pada posisi terbuka sebenarnya. Maka, sejak dua tahun, 2015 sampai 2017, kami menggali kajian teologi, sejarah Kekristenan, kajian kitab suci, sampai kajian-kajian teori queer—teori seksualitas terkini.
Selama dua tahun itu akhirnya kami menyimpulkan: heteronormativitas atau yang normal itu cuma laki-laki hetero-cisgender dan perempuan hetero-cisgender itu bukan satu-satunya pandangan Kristen dalam sejarah tentang gender dan seksualitas. Kristen itu punya perjalanan panjang yang mengungguli bagaimana gender itu dikonstruksi dan bagaimana orientasi seksual dikonstruksi.
Buat kami sendiri, ini perjalanan spiritual. Perjalanan teologis juga. Dan juga perjalanan politik. Karena bicara mengafirmasi LGBT ini berarti melawan tatanan (masyarakat) kita yang hari ini menentang LGBT. Itu semacam pernyataan sikap politik karena kita tidak bisa memisahkan seksualitas dan gender dari konstruksi sosial dan politik. Gender, kan, bentukan sosial, bentukan norma politik.
Dan, bila kita menyatakan yang berlawanan dengan yang mapan, kita jadi berlawanan dengan kekuatan yang merasa terganggu—ya anggaplah kelompok yang konservatif, Kristen dan bukan-Kristen. Ataupun kekuatan negara, yang juga, meskipun tidak melarang, tapi tidak
Respons-respons apa saja yang didapatkan setelah gereja menerima LGBTIQ?
Tentu saja penolakan dari kelompok Kristen sendiri. Bahkan dari komunitas kami sendiri enggak semua orang menerima. Jadi, pada 2015 terjadi semacam dispute, perdebatan yang tidak teratasi sehingga banyak yang meninggalkan komunitas ini karena kami mengafirmasi LGBTIQ.
Urutannya sebenarnya begini: menolak, menerima dengan syarat—misalnya menerima orang LGBTIQ tapi tidak menerima orientasi seksualnya—dan yang terakhir, mengafirmasi.
Kami bukan sekadar menerima tapi juga mengafirmasi, sampai ke tahap ketiga. Bukan sekadar menerima orangnya tapi menolak perilakunya. Karena kami melihat orientasi seksual, ekspresi gender, ekspresi seksual itu satu bagian dengan identitas manusia.
Kami tidak bisa menerima orang tapi tidak menerima orientasi seksualnya. Itu sama saja menolak orangnya, sih.
Biasanya orang-orang ada di fase kedualah: Tidak membenci, menerima tapi dengan syarat. Kami menerima dan mengafirmasi. Itu mungkin yang membedakan.
SUMBER
GAY HARUS DIBINA .... KALAU TIDAK BISA DIBINA, YA DIBINASAKAN ....
KALAU LESBI HARUS DIBINA, KALAU TIDAK BISA YA HARUS DIBINA TERUS ...
krisnadi11 dan eggnostick memberi reputasi
0
1.5K
Kutip
23
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
672.1KThread•41.8KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya