Iuran BPJS Kesehatan Naik, Terima Kasih Pak Jokowi...
TS
lonelylontong
Iuran BPJS Kesehatan Naik, Terima Kasih Pak Jokowi...
gbr dari : kompas.com
"Iuran BPJS Kesehatan Naik, Terimakasih Pak Jokowi", demikianlah judul berita di kompas yang saya baca.
Saya pun merasa bersyukur karena pemerintah akhirnya punya keberanian untuk menaikkan iuran BPJS, sayang kalau program BPJS mengalami masalah, hanya karena kelompok masyarakat yang harusnya memberikan subsidi pada kelompok masyarakat yang membutuhkan, tidak mau dikenakan iuran yang saya yakin, bagi kelompok mereka masih bisa mereka tanggung.
Sesuai peraturan saya sebagai karyawan, tidak punya pilihan dan masuk ke kelas yang pertama. Meskipun saya jarang sekali menggunakan fasilitas BPJS, saya pun masih rela kalau iuran BPJS saya dinaikkan, seandainya sekali lagi dinaikkan 2 kali lipat pun saya rela.
Mengapa demikian?
Karena saya melihat bahwa di sinilah letak-nya pemerataan kesejahteraan. Inilah prinsip gotong royong diaplikasikan dalam bentuk kebijakan pemerintah. Bahwa yang memiliki kemampuan lebih, hendaknya menolong yang kurang mampu.
Semoga dengan dinaikkannya tarif BPJS ini, terutama untuk yang kelas I (kalau perlu silahkan dinaikkan lagi), layanan BPJS menjadi semakin baik. Jangan lagi muncul kasus-kasus pasien BPJS yang terlantar.
Kemudian bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, saya berterima kasih, bahwa mereka menolak usulan kenaikan untuk kelas III. Yang saya sayangkan, mengapa mereka tidak punya keberanian, untuk menaikkan iuran bagi kelas I.
Sekedar pendapat pribadi, menurut saya, tidak perlu juga mereka nyinyir dengan kenaikan ini. Kenyataaan-nya keuangan BPJS tidak sehat dan perlu langkah-langkah untuk menyehatkan kebijakan yang berusaha memberikan akses kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Terutama bagi mereka yang kurang mampu.
Spoiler for Copy berita asli yang tayang di kompas.com:
Penulis Yoga Sukmana | Editor Erlangga Djumena JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah memastikan kenaikan iuran program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan tetap akan dilakukan meski banyak pihak yang mengkritik. Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengatakan rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan akan mulai berlaku pada 1 Januari 2020. Kenaikan ini untuk peserta kelas I dan II atau peserta non Penerima Bantuan Iuran (PBI) pemerintah pusat dan daerah. Berapa jumlah peserta yang terdampak? Saat ini tercatat jumlah peserta BPJS Kesehatan sebanyak 223,3 juta jiwa, dengan 82,9 juta di antaranya merupakan peserta non PBI. Peserta non PBI terdiri dari Peserta Penerima Upah (PPU) Pemerintah 17,5 juta jiwa, PPU Badan Usaha 34,1 juta jiwa, Perserta Bukan Penerima Upah (PBPU) 32,5 juta jiwa dan Bukan Pekerja (BP) 5,1 juta jiwa. Peserta non PBI yang terbanyak yakni PPU Badan Usaha alias karyawan. Saat ini iuran BPJS Kesehatan karyawan sebesar 5 persen dari gaji pokok. Rinciannya 4 persen dibayar oleh perusahaan dan 1 persen oleh karyawan. Baca juga: Iuran BPJS Kesehatan Naik 100 Persen Mulai 1 Januari 2020 Berapa kenaikannya? Sepekan lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah mengusulkan kenaikan iuran sebesar dua kali lipat, artinya, peserta JKN kelas I yang tadinya hanya membayar Rp 80.000 per bulan harus membayar sebesar Rp 160.000. Kemudian untuk peserta JKN kelas II yang tadinya membayar Rp 110.000 dari yang sebelumnya Rp 51.000. Sebenarnya pemerintah juga mengusulkan kenaikan peserta JKN mandiri kelas III yang tadinya hanya membayar iuran sebesar Rp 25.500 harus menaikkan iuran bulanannya menjadi Rp 42.000 per bulan. Namun usulan itu ditolak DPR dengan alasan masih perlunya pemerintah membebani data peserta yang carut marut. Baca juga: Akali Iuran BPJS Kesehatan, 2.348 Perusahaan Siap-siap Kena Sanksi Kenapa harus naik? Dalam pemaparan pemerintah, iuran BPJS Kesehatan saat ini masih underpriced atau di bawah perhitungan aktuaria. Hal ini menjadi salah satu akar masalah defisit berkepanjangan BPJS Kesehatan yang ditemukan dalam audit BPKP terhadap JKN. Dirut BPJS Kesehatan Fachmi Idris menyebut, bila iuran tidak di naikan, maka defisit BPJS Kesehatan akan tembus Rp 77,9 triliun pada 2024. "Kalau kita tidak melakukan upaya-upaya policy mix artinya meningkatkan iuran kemudian kaitannya dengan bauran kebijakan maka akan terjadi defisit ini semakin lebar," ujarnya dalam rapat kerja dengan Komisi XI dan IX DPR, Jakarta, Senin (2/9/2019). Ia menyebutkan potensi pembengkakan defisit BPJS Kesehatan mulai Rp 39,5 triliun pada 2020, Rp 50,1 triliun pada 2021, Rp 58,6 triliun pada 2022, Rp 67,3 triliun pada 2023 dan Rp 77,9 triliun pada 2024. BPJS Kesehatan mengatakan, dengan perubahan iuran premi, maka maka persoalan defisit anggaran bisa diselesaikan secara terstruktur. Baca juga: Jika Iuran Tak Naik, Defisit BPJS Kesehatan Bisa Capai Rp 77,9 Triliun Legacy Kenaikan iuran BPJS Kesehatan dipastikan akan menjadi warisan periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo akan dicatat publik. Rencana pemerintah menaikan iuran program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan disambut dingin DPR. Presiden Joko Widodo diingatkan bahwa kenaikan iuran BPJS Kesehatan akan menjadi warisan buruk di akhir periode pertamanya. "Saya kira dari pembantu Presiden ini harus ada cara lain mengatasi ini ya," ujar Anggota Komisi XI DPR Didi Irawadi saat rapat kerja dengan pemerintah, Jakarta, Senin (2/9/2019). "Jangan sampai kanaikan yang tidak populer ini dan membebani rakyat bawah. Ini akan menjadi legacy Pak Jokowi di era periode pertama," sambung dia. Baca juga: DPR Tolak Rencana Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Kelas III Anggota Komisi XI dari Fraksi PPP Elviana juga menolak usulan kenaikan iuran BPJS Kesehatan dari pemerintah. Ia heran mengapa pemerintah justru mengejar rakyat atas masalah defisit BPJS Kesehatan. Rakyat kata dia sudah terbebani berbagai harga kebutuhan sehari-hari mulai dari listrik hingga BBM. Menurut dia, pemerintah harusnya malu mengajukan skema usulan kenaikan iuran BPJS Kesehatan . "Atas nama fraksi tolong sampaikan ke Menteri Keuangan, malu ini skemanya ibu Menteri Keuangan ini. Enak saja nulis rakyat yang dulu iuran Rp 25.000 naik Rp 42.000," kata dia. "Mau ditombok dengan apa ya enggak mungkin Pak Jokowi enggak bisa karena hanya segitu (Rp 32,8 triliun). Untuk mindahkan ibu kota saja mampu kok, yang enggak penting-penting amat menurut saya," sambungnya.