cattleyaonlyAvatar border
TS
cattleyaonly
CIUMAN PEMBAWA MAUT DI BUMI PERKEMAHAN



Aura persaingan terlihat jelas sejak Genta dan Ramadhita mengawali perjalanan sekolah mereka di kelas X MIPA-1. Konon, di kelas MIPA-1 anak-anak cerdas dan pandai sekolah itu dikumpulkan. Entah kenapa kebijakan itu diambil, banyak yang mempertanyakan tapi pihak sekolah seolah tak peduli.

Seminggu sebelum acara persami, hawa persaingan di antara keduanya semakin panas. Masing-masing ingin menjadi yang terbaik. Ketika beregu-regu pramuka diberangkatkan dari SMA Harapan Bangsa, merekalah yang paling bersemangat.

Hawa dingin bumi perkemahan di lereng Gunung Slamet segera menyergap. Kakak Pembina mengumpulkan mereka dan memberikan pengarahan. Di akhir pengarahan dia berkata, “Adik-adik, jangan lupa kita jalankan dasa darma pramuka dengan baik. Tiga terbaik di antara kalian akan mendapatkan hadiah dan penghargaan seperti yang dikatakan Bapak Kepala Sekolah. Dan ada satu pesan khusus yang juga ingin kakak sampaikan pada persami ini. Jaga sikap kalian selama pramuka di sini. Entah kalian percaya atau tidak, ada mitos di sini, jika kalian bertengkar atau berbuat amoral di sini, akan mendatangkan bencana. Bisa dimengerti?”

“Bisa, Kak,” jawab semua serempak.

Di bagian belakang barisan, Julian berbisik pada Sendry yang berdiri di sampingnya, “Yang paling aku hafal dari dasa darma adalah yang ke dua. Kasih sayang sesama manusia. Dan itu sudah aku terapkan di kamu.”

“Heleh!” Sendry menoyor kepala Julian. Yang ditoyor nyengir kuda sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

Elang yang berdiri di belakang Julian ketawa cekikikan. Untung saja angin sedang berembus kencang, sehingga suara-suara keributan kecil di barisan belakang tersamarkan oleh suara dedaunan tertiup angin.

“Hari gini percaya mitos,” bisik Narendra pada Sekar. Mereka nyengir kuda. “Woi! Neil Amstrong sudah sampai ke bulan bertahun-tahun yang lalu dan kita masih berbicara tentang mitos? Ish ish ish ....” Narendra ingin tertawa, tapi di tahan. Suasana sejenak hening. Kakak pembina memimpin doa untuk keselamatan dan kelancaran persami kali ini.

Satu jam ke depan, peserta persami diberi kesempatan mendirikan tenda, mencari kayu bakar dan beristirahat.

Ramadhita segera mendirikan tenda bersama teman seregunya. Tak dipungkiri, dia memang yang terhebat di antara yang lain. Tenda regunya menjadi tenda pertama yang berdiri dengan kokoh dan rapi. Ramaditha tersenyum puas. Sekar dan Sendry menatap dengan pandangan entah. Sebenarnya mereka agak takut dengan kepercayaan diri ketua regu mereka yang dinilai berlebihan. Meski nantinya akan diambil 3 peserta terbaik, tapi persami ini toh bukan sebuah kompetisi. Namun sebuah ajang untuk mengasah karakter. Sendry mendesah. Sebagai sahabat dia tak ingin Ramaditha terlibat persaingan terlalu jauh dengan Genta.

Sore itu berbagai lomba diadakan. Tali temali, memecahkan morse, semapore, juga sandi rumput. Regu Ramadithalah yang menjadi pemenang. Hal itu membuat Genta menjadi gerah. Satu-satunya jalan untuk menyamakan skor adalah dia harus memenangkan lomba mencari jejak. Dari jarak yang tidak telalu jauh, cowok itu memandang Ramadhita yang sebenarnya kalau dilihat-lihat lumayan cantik juga. Hidung gadis itu mancung, alis tebal, dan sorot matanya tajam, menyiratkan kecerdasan di kepalanya. Kalau saja Ramaditha tak terlalu jutek, dia bisa jadi gadis impian Genta.

What?

Genta menampar pipinya sendiri. Kenapa juga pikirannya jadi melantur?

Regu Genta berangkat lebih dulu dalam tantangan mencari jejak. Semua kepandaian mereka dikerahkan demi menjadi yang terbaik dalam permainan itu. Mereka kini telah sampai di pos pertama. Seorang kakak pembina memberikan secarik kertas berisi petunjuk jalan. Mereka kemudian melanjutkan langkah, berada di sisi tebing dan jurang. Namun, jalanan yang mereka lalui cukup lebar. Tak disangka-sangka, regu Ramaditha sudah menyusul di belakang.

“Minggir, berikan jalan bagi pemenang!” seru Ramaditha dengan pongah.

“Udah di mari aja lu bocah!” seru Elang.

“Iya, terpesona, kan, kalian?”

“Heleh, belum tentu juga kamu bisa mecahin petunjuk ini.” Genta berusaha membuat Ramaditha kesal.

“Jangan ngikut kami ya? Pecahkan sandimu sendiri!”

“Nggak akan!”

“Nah ini, kenapa kalian nggak belok aja ke jalan yang itu?” Ramaditha menunjuk jalan terpecah.

“Idih, lu aja yang ikutan, kami juga mau lewat jalan yang ini, tahu!”

Ramaditha menyeringai. Awas saja kalau mereka ndompleng sandi yang mereka pecahkan!

Senja mulai naik. Bias jingga di angkasa semakin menua. Dua regu itu masih asyik berjalan. Namun, mereka belum juga menemukan pos kedua.

“Woi, kita salah jalan nih kayaknya!” seru Rima. “Berhenti dulu. Coba kita lihat petunjuknya sekali lagi, apa ini sudah benar?”

Mereka bersepuluh berhenti serempak. Duduk di antara akar-akar besar yang menyembul di atas tanah.

“Capek gue, muter-muter nggak jelas,” gerutu Satya.

“Udah, keluarin kompas!” seru Ramaditha.

Genta mengambil ponselnya dari dalam saku. Sial! Tidak ada sinyal internet sama sekali.
Ramaditha menerawakannya. “Nggak bisa ya hidup sebentar saja tanpa internet?” Gadis itu mengeluarkan kompas dari dalam sakunya. Seingat dia, arah mereka berjalan tadi menuju selatan bumi perkemahan. Jadi jika mereka tidak bisa menemukan pos ke dua, yang harus dilakukan adalah kembali ke bumi perkemahan. Dibanding mendapatkan juara di permainan ini, keselamatan anggota regu lebih menjadi prioritas.

“Jika aku tidak salah, bumi perkemahan kita ada di sebelah sana,” kata Ramadhita seraya menunjuk ke suatu arah. “Jadi bagaimana dengan kalian, apakah akan meneruskan permainan ini atau ikut kami kembali ke perkemahan?”

Genta menatap sejenak wajah cantik di depannya. Gadis itu seperti kucing liar yang susah dijinakkan. Tapi sikapnya kali ini sungguh terlihat manis. “Baiklah, kali ini aku ikut kamu,” kata cowok yang tingginya 170 cm itu.

Mereka berjalan mengikuti arahan Ramaditha. Di barisan paling belakang, Narendra dan sekar berjalan bergandengan. Sudah sebulan mereka jadian. Dalam perjalanan itu mereka berusaha mencuri kesempatan berdua. Sebab di sekolah atau di rumah, tak mungkin mereka bisa sebebas itu. Keluarga mereka penganut agama yang taat. Pacaran itu tidak ada dalam kamus keluarga mereka. Debaran dalam dada mereka perlahan meningkat. Getaran-getaran yang mengalir melalui genggaman tangan sungguh membangkitkan gairah. Sementara yang lain sibuk meretas jalan kembali ke bumi perkemahan, mereka asyik bermesraan.

Ramadhita dan Genta memimpin di depan. Mereka saling diam, berusaha memerhatikan jalan agar tak salah arah. Keselamatan anggota regu ada di pundak mereka.

Narendra menarik Sekar ke balik pohon besar, menatap dengan penuh nafsu. Cowok itu mencium pacarnya. Tiba-tiba angin bertiup kencang, tanah bergerak, mereka berusaha berpegangan satu sama lain. Namun naas, mereka terjun bebas ke dalam jurang. Sekar tertimpa pohon besar yang ikut luruh bersama tanah yang dipijak. Sesaat sebelum kematiannya, gadis itu melihat kepala Narendra terantuk batu hitam besar, hingga retak dan mengeluarkan banyak darah.

Sementara teman-teman mereka yang telah berjalan lebih jauh ke depan terkejut dengan longsor yang datang tiba-tiba. Mereka segera terbawa tanah yang merosot melalui lereng jurang, berusaha berpegangan pada apa saja yang teraih.

Genta dan Ramaditha tersangkut di akar-akar pohon, di lereng. Kaki Genta mencapai dataran sempit sehingga dia harus berhati-hati agar tidak merosot ke dasar jurang. Cowok itu meraih tangan Ramaditha agar bisa berdiri di sebelahnya. Kini mereka terjebak di tempat yang tak mungkin bagi mereka untuk menyelamatkan diri sendiri. Butuh orang lain untuk menarik mereka ke atas. Hati mereka kini gentar oleh ketakutan akan kematian. Keringat dingin bercucuran.

Senja perlahan tergantikan oleh malam yang hitam. Genta menyalakan senternya. Udara semakin dingin, membuat tubuh Ramadhita gemetaran.

“Pakai jaketku,” kata Genta.

“Tidak, kamu juga butuh. Sebaiknya kita berdiri berdekatan.”

“Kamu bukan mau modus, kan?”

“Ish, kamu ini. Masih bisa bergurau di ujung kematian.”

“Mau apa lagi coba? Kita hanya bisa pasrah pada kaki, seberapa kuat berdiri di tebing ini dan pada mata, seberapa kuat dia menahan kantuk.”

Sejenak mereka terdiam. “Mungkinkah ini terjadi karena kita selalu bertengkar?” suara Ramadhita terdengar di antara suara binatang malam yang mulai bernyanyi.

“Kamu percaya mitos?”

“Entahlah. Tapi kita sekarang di sini, bagai telur di ujung tanduk.”

Genta menatap wajah gadis di depannya, yang berkilat ditimpa cahaya senter. “Mungkin saja mitos itu benar, tapi mungkin juga tidak. Tapi bukankah dia mengajarkan kebaikan?”

“Iya juga, sih.” Ramadhita mendesah. Dia semakin merapatkan tubuhnya ke sisi Genta.

“Maafkan aku atas sikapku selama ini yang mungkin kerap membuatmu kesal.”

“Aku juga. Maafkan atas sikapku selama ini. Aku ingin mati tanpa menanggung dosa karena memusuhimu.”

“Kenapa kamu memusuhiku?”

“Kamu juga kenapa memusuhiku?”

“Kamu saingan terberatku.”

“Sama denganmu, aku selalu cemburu dengan prestasi yang kamu raih.”

“Jika kita selamat dari kematian, maukah kamu memperbaiki hubungan kita yang buruk ini?”

“Tentu saja.”

Mereka terdiam, yang terdengar hanya suara napas mereka meningkahi dinginnya malam. Bibir mereka melafazkan semua doa-doa dan ayar suci Al-Qur’an yang dihafal. Satu yang membuat mereka belum siap untuk mati. Mereka belum membalas jasa orang tua yang telah mencurahkan kasih sayang, perhatian dan limpahan materi.

Kaki mereka mulai gemetar karena kedinginan dan lelah. Air mata perlahan menitik di pipi Ramaditha. Dia sungguh takut.

“Jangan menangis, Ditha.” Suara Genta terdengar serak. Ramaditha tak menjawab. Dia berusaha menajamkan pendengaran, lamat terdengar suara orang-orang memanggil nama mereka.

“Genta. Kirim sinyal SOS dengan sentermu. Sepertinya, di atas ada regu penolong.”

Genta segera melakukan apa yang diminta Ramaditha. Tak berapa lama dua utas tali terulur ke arah mereka. Segera mereka mengikatkan tali itu ke badan kemudian memanjat. Dengan kekuatan yang tersisa Genta dan Ramaditha berhasil naik.

Sendry memeluk sang sahabat dengan linangan air mata. “Syukurlah kamu selamat.”

“Alhamdulillah. Bagaimana teman yang lain?” Ramaditha melepas pelukannya dan mengusap air mata Sendry dengan ujung jari.

“Narendra dan Sekar belum ketemu.”

Ramaditha terduduk di tanah. Dia merasa tak becus melindungi anggotanya.

Sendry duduk di sebelahnya, mengerti apa yang ada di kepala sahabatnya itu. “Doakan mereka juga selamat.”

***

Pagi itu, tim SAR kembali dari lokasi pencarian dengan membawa dua jenazah. Ramaditha terduduk lemas. Air matanya deras menetes. Sendry dan Genta mendampingi gadis itu, berusaha memberi kekuatan dan mengingatkan bahwa itu bencana, bukan semata-mata kesalahannya. Mereka berangkat persami dengan ceria tapi pulang dengan kepala tertunduk.

Suasana berkabung pun menyelimuti upacara bendera hari Senin di sekolah. Mereka larut dalam duka kehilangan dua orang teman yang selama ini selalu ada bersama.

Ketika upacara selesai, Genta memanggil Ramaditha. Gadis itu menoleh.

Genta melangkah ke arahnya. “Bagaimana kalau minggu depan kita hunting foto? Aku tahu spot yang cantik dekat-dekat sini.”

Ramaditha berusaha untuk tersenyum. Dia berjanji pada diri sendiri untuk memperbaiki hubungannya dengan Genta. Hidup ini memang terlalu singkat untuk dilalui dengan pertengkaran.

Tamat
Palembang, 31 Agustus 2019
Diubah oleh cattleyaonly 31-08-2019 09:22
KnightDruid
anasabila
someshitness
someshitness dan 28 lainnya memberi reputasi
29
13.2K
94
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread41.6KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.