Sebenarnya praktik pemindahan ibu kota telah dimulai pada abad ke-17. Saat itu Kekaisaran Rusia memutuskan memindahkan ibu kota dari Moskow sejak abad ke-14 telah menjadi ibu kota ke St. Petersburg dengan tujuan agar pusat pemerintahan lebih dekat dengan Eropa Barat. Namun, setelah terjadi Revolusi Rusia, pada tahun 1918, ibu kota di kembalikan ke Moskow.


Kazakhstan juga tak luput dari praktik ini. Setelah pecah dari Uni Soviet pada 1991, pemerintah Kazakhstan memutuskan untuk memindahkan ibu kota dari Almaty ke Astana yang didasari oleh faktor alam (sering gempa bumi), dan juga dinamika politik.


Pemindahan ibu kota dari Lagos ke Abuja yang terjadi di Nigeria, penyebabnya adalah faktor kepadatan penduduk.



Myanmar juga termasuk dalam daftar negara yang memindahkan ibu kotanya dari Rangoon yang sekarang lebih dikenal dengan Yangoon ke Naypydaw, sesuai instruksi pemerintah junta militer. Namun, belum ada penjelasan yang pasti mengenai pemindahan ibu kota Myanmar ini.


Brazil juga ikut dalam praktik pemindahan ibu kotanya, yang semula di Rio de Janeiro dipindahkan ke Brasilia, berlangsung selama empat tahun (1956-1960), saat pememerintaha Juscelino Kubitschek. Alasannya adalah keadaan Rio yang sudah penuh sesak.


Namun, praktik pemindahan ibu kota tidak selalu berjalan sesuai rencana. Di Argentina misalnya, sempat merencanakan pemindahan ibu kota pada tahun 1989 dari Buenos Aires ke Viedma. Rencana tersebut sudah diputuskan Kongres Nasional Argentina sejak Mei 1987. Namun sayangnya karena krisis ekonomi yang melanda sepanjang 1989, praktik itu harus terhenti dan tidak terealisasi.

Nah, di Indonesia yang masih hangat-hangatnya perbincangan mengenai pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Penajam dengan alasan persentase penyebaran penduduk di pulau jawa telah mencapai lebih dari 50% dari total penduduk Indonesia dan Pulau Jawa dianggap telah terbebani.