Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

storyharibawaAvatar border
TS
storyharibawa
Cerita Saat Kerokan
Siang itu saya sedang silir-silir di balai rumah, tiduran di sofa tua sembari membaca karya sastra dan mendengarkan lagu lawas.

“Lho, itu kan, lagu zaman PKI, tidak boleh diputar!”

Saya terhenyak, lalu menoleh dan mendapati biyungberjalan membawa cawan beling berisi minyak urut. Ah, pasti minta dikerok lagi.

“Memangnya kenapa?”

“Itu dilarang,” kata biyung, “Daripada kau bermalas-malasan terus, nih, kerokin biyungmu!”

Saya bilang juga apa? Biyung itu paling doyan kerokan. Lihat saja bekas kerokan di punggungnya masih tercetak jelas bak kulit macan. Lha,hari ini minta dikerok lagi. Edan!

Biyung duduk di samping saya, lantas melucuti pakaiannya. Sementara kutang putih kecokelatan dibiarkan membungkus bagian dada kepetnya.

“Memangnya kenapa, Yung, kok dilarang?” Saya pura-pura tak tahu, padahal hanya memancing pembicaraan. Biasanya, kalau biyung terpancing, biyung akan mulai berkisah.

“Ya, pokoknya dilarang, itu lagunya orang PKI!”

“Oh … begitu toh, Yung?” Saya mengernyit dan mulai mengerok perlahan punggung beliau.

Beliau bersendawa, lalu berkata, “Kau tahu makna lagu itu?”

“Memang, apa maknanya?”

“Genjer-genjer nang kedokan pating keleler … kui maksude, wong-wong nang kedokan pating keleler, kencoten, ora mangan. Orang zaman dulu itu, susah makan, banyak yang kelaparan.”

“Terus, apa hubungannya dengan PKI?”

“Ada. Dulu, lagu itu sering dinyanyikan oleh kelompok PKI terutama saat ada LEKRA. Biyung juga pernah ikut LEKRA.”

“Biyung pernah ikut LEKRA? Biyung orang PKI?”

“Yo,bukan. Lha, saat itu biyungmu masih kecil, ndak tahu apa-apa soal PKI. Yang Biyung tahu, setiap ada LEKRA, seluruh orang di kampung ikut ramai menonton pertunjukkan. Biyungmu ini waktu kecil sering menari di acara LEKRA. Biyung menari di atas kendi. Kalau biyungmu sedang tampil, wah, orang-orang pasti langsung berkerumun.”

“Jadi, kenapa lagu ini dilarang?”

“Biyung ndak tahu, yang jelas setelah ada geger PKI, lagu ini dilarang. Dulu, lurah desa ini diciduk aparat karena dituduh sebagai pengikut PKI. Jadi, apa pun yang berkaitan dengan PKI, ya jelas dilarang!”

Sembari mengerok punggung Biyung, saya terus mendengarkan kisah-kisah beliau. Kisah-kisah itu seakan menguar dari setiap ruam merah yang dihasilkan dari garukan keping koin seratus rupiah.

Berceritalah biyung soal lurah desa kami yang menghilang. Sampai sekarang, bahkan keluarganya pun tidak tahu keberadaan beliau.

Kata biyung, waktu itu banyak orang di kampung terutama tokoh-tokoh masyarakat diangkut aparat dan dibawa ke suatu tempat. Pasar di kecamatan kampung kami juga dijadikan tempat penampungan orang-orang tidak dikenal. Pasar itu ditutup, lalu dijadikan sebagai tempat tahanan. Pasar itu dibuat pagar keliling menggunakan pagar besi dengan kawat-kawat yang mencuat tajam. Sementara anggota keluarga dan sanak saudara tidak diizinkan menjenguk. Kalau pun diizinkan, pastilah barang sebentar, itu pun tidak bisa dilakukan saban hari. Dalam satu bulan, anggota keluarga hanya boleh menjenguk paling-paling dua kali. Itulah alasanya, kata biyung, salah satu anggota keluarga akan membawa nasi aking sebagai makanan anggota keluarga yang ditahan.

Tahu nasi aking? Nasi aking itu nasi yang dijemur hingga kering di bawah terik matahari. Kalau di kampung, nasi aking biasanya untuk pakan ayam atau itik. Nah, ini untuk santapan orang-orang tahanan. Alasannya karena nasi aking bisa awet untuk disimpan. Kalau ingin makan, mereka tinggal merendamnya dengan air panas hinga melar.

Kata Biyung, tiap hari ada saja truk-truk pengakut manusia melintas di jalan raya. Begitu truk-truk itu tiba di penjara pasar, ditumpahkannya orang-orang bagaikan tumpukan sampah.

Kala itu warga desa dicekam ketakutan. Takut jika salah satu anggota keluarga ada pengikut PKI. Jika ada, pastilah aparat akan mendatangi rumah mereka. Seperti yang menimpa lurah desa kami.

Biyung juga bercerita tentang daerah pesisir pantai. Kata beliau, di daerah pesisir pantai lebih mengerikan. Katannya, hampir tiap malam mendengar suara tembakan.

“Kau tahu bangunan PLTU yang sekarang berdiri di pinggir pantai?”

“Iya, memangnya kenapa dengan bangunan itu?”

“Dulu, daerah itu dijadikan tempat eksekusi para pengikut PKI. Setelah ditembak, mayat-mayat dijadikan satu dan di kubur di sana. Di daerah itu juga sering ditemukan mayat-mayat tergeletak begitu saja seperti bangkai ikan busuk.”

Saya bergidik mendengar kisah Biyung.

“Itu benar, Yung?”

“Ya benar, memangnya biyungmu ini pandai mengarang cerita, toh?”

“Terus, orang-orang di pasar itu dibawa dari daerah mana, Yung, tahu ndak?”

Kata Biyung, tidak ada satu orang pun di kampung kami tahu-menahu soal orang-orang itu. Yang mereka tahu, setelah beberapa minggu atau beberapa bulan, orang-orang itu ada yang dikembalikan ke keluarganya, tapi ada juga yang lenyap tanpa kabar berita. Di kampung kami sendiri ada dua tokoh masyarakat diciduk aparat. Itu kata Biyung. Dua orang tersebut, yakni perempuan setengah baya diduga anggota kelompok GERWANI, dan lurah desa kami.

“Dua orang itu sekarang masih hidup?”

Biyung bersendawa lagi sebelum menanggapi pertanyaan, “Mbah Sunar masih hidup. Beliau diciduk karena ikut kelompok GERWANI, kemudian dibawa ke Ambarawa. Tapi, setelah beberapa bulan dipulangkan lagi.”

Ditanya mengenai apa kesalahan Mbah Sunar, Biyung tidak bisa menjelaskan. Yang Biyung tahu, semua pengikut PKI pasti diciduk. Mungkin alasannya ya itu, karena pengikut PKI.

“Bagaimana dengan Pak Lurah, yang katanya sampai sekarang bahkan keluarga pun tidak tahu keberadaan beliau?”

Biyung berkisah lagi. Kata Biyung, lurah desa kami memang tidak ada kabar semenjak beliau diciduk aparat. Dan, kala itu tidak ada satu orang pun berani membuka mulut, apalagi bertanya ke mana anggota keluarga mereka dibawa pergi. Mereka akan tahu jika orang terciduk kembali ke rumah. Soal Pak Lurah, kini hanya tinggal nama. Beliau meninggalkan istri tercinta serta anak-anak dengan tanda tanya besar.

Suatu hari, kata Biyung, rumah keluarga Pak Lurah kedatangan aparat. Bukan kabar baik yang mereka terima, melainkan buntelan kain berisi pakaian terakhir yang dikenakan Pak Lurah, yaitu setelan seragam dinas kepala desa.

Ah, tugas mengerok biyung tuntas. Biyung mengenakan kembali pakaiannya, sementara saya lanjut silir-silir.

 

Cilacap, 11 April 2018 oleh Andre Haribawa
Diubah oleh storyharibawa 24-08-2019 06:53
KnightDruid
anasabila
someshitness
someshitness dan 13 lainnya memberi reputasi
14
5.7K
30
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.5KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.