noldeforestasiAvatar border
TS
noldeforestasi
Sosialisme 'Pasal 33' Indonesia Dibunuh Kapitalisme Amerika di Papua


Tindakan rasis pada mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang pekan lalu, memicu amarah warga dan memperkuat narasi kemerdekaan di Papua. Para pelaku, termasuk anggota TNI, mengucapkan umpatan bernada rasialis, semisal "anjing! babi! monyet! keluar lu kalau berani! hadapi kami di depan!"

Sejumlah penduduk Manokwari bahkan dilaporkan meneriakkan yel-yel untuk mengusir warga pendatang. Ribuan warga di Papua berdemonstrasi memprotes persekusi dan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya. Aksi protes yang sempat diwarnai aksi pembakaran terhadap DPRD Papua Barat di Manokwari tersebut dengan cepat menjelma menjadi tuntutan kemerdekaan.

Kuasa Hukum Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Veronica Koman, bilang saat ini Indonesia tidak lagi memiliki banyak pilihan terkait nasib Papua. Insiden rasialis di Surabaya dan Malang dianggap melukai martabat bangsa Papua dan sebabnya memperkuat narasi separatisme yang kini ikut disuarakan dalam aksi demonstrasi.

"Dosa Indonesia ke Papua itu adalah rasisme. Dan ini sudah diidentifikasi sebagai salah satu akar konflik. Tuntutan mereka kemerdekaan. Tidak ada yang lain. Benar. Hanya merdeka,” jelasnya seperti dilansir dari Deutsche Welle, awal pekan ini.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta masyarakat Papua untuk memaafkan pihak-pihak yang telah membuat mereka tersinggung terkait insiden yang terjadi di Surabaya dan Malang.

Atas nama demi membuat situasi lebih kondusif, TNI dan Polri telah mengirimkan ribuan personel tambahan ke tanah Papua Barat. Kadiv Humas Polri Irjen Pol M. Iqbal bilang, pihaknya sudah mengirimkan 12 satuan setingkat kompi (SSK) atau sebanyak 1.200 personel tambahan untuk ditempatkan di Manokwari dan Sorong, Papua Barat.

Untuk alasan yang sama pula, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) melakukan pemblokiran akses data internet (blackout) di tanah Papua pada Rabu (21/8). Kemkominfo berdalih pemblokiran akses internet dilakukan untuk menangkal hoaks informasi yang berpotensi muncul.

Sungguh menggugah rasa keadilan apa yang dilakukan oleh pemerintah. Di tengah sakit hati masyarakat Papua akibat perlakuan rasis, sang penyelenggara pemerintahan justru malah bertindak diskriminatif! Presiden meminta agar rakyat Papua memaafkan rasisme dan persekusi yang mereka alami, tapi mengirim tentara ke kampung mereka dan menutup akses informasi!

“Ini semakin mengeraskan sikap politik di Papua. Menimbulkan perasaan senasib bagi saudara-saudaranya yang lain. Dan meyakinkan dunia bahwa Papua tidak baik-baik saja bersama Indonesia,” cuit aktivis Dandhy Laksono lewat akun Twitter-nya.

Lebih Dari Sekedar Rasisme

Apakah konflik yang kerap kali berulang semata-mata terjadi melulu karena masalah rasisme?

Tidak juga. Jika kita masih ingat, ketika Indonesia merdeka dari Belanda pada tahun 1949, wilayah Papua Barat tidak termasuk dalam negara baru, namun tetap berada di bawah kekuasaan Belanda. Setelah Indonesia mencaplok wilayah tersebut pada tahun 1963, gerakan kemerdekaan dimulai.

Dalam proses penandatanganan New York Agreement (Perjanjian New York) pada 15 Agustus 1962 di Villa Huntland Middleburg, Virginia, antara Republik Indonesia dengan pemerintah Belanda, yang difasilitasi oleh Amerika Serikat, rakyat Papua sama sekali tidak dilibatkan.

Beberapa poin Perjanjian New York antara lain Belanda harus menyerahkan Irian Barat kepada badan PBB, United Nation Temporary Executive Authority (UNTEA) selambat-lambatnya 1 Oktober 1962. Perjanjian ini juga yang menjadi landasan digelarnya Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969.

Namun, lewat perjanjian ini sesungguhnya Amerika Serikat menunjukkan perannya yang lebih dari sekedar mediator penyelesaian masalah Irian Barat, yakni turut bermain demi kepentingannya sendiri, baik demi menangkal masuknya Indonesia ke dalam jaringan komunis Uni Soviet, maupun demi kepentingan penguasaan kekayaan alam Irian Barat melalui Indonesia.

Ya, tidak lain dan tidak bukan adalah penguasaan tambang Grasberg, tambang emas terbesar dan tambang tembaga terbesar kedua di dunia, yang dioperasikan oleh Freeport-McMoRan Inc.

Bagi Hasil Jomplang di Atas Tanah ‘Rampasan’

Ironisnya, Indonesia yang secara “de jure” merupakan pemilik tanah Papua, mau-mau saja dikadali Amerika Serikat soal bagi-bagian pengolahan hasil tambang Freeport. Selama 40 tahun kita manggut-manggut saja menikmati bagi hasil pengolahan yang hanya sebesar 9,3% dari tambang tersebut.

Beruntung pemerintah akhirnya ‘sadar’ juga. Setelah melewati proses jalan divestasi yang panjang dan berliku, pada 12 Agustus 2018 pemerintah sukses meningkatkan porsi kepemilikan sahamnya di PT Freeport Indonesia menjadi 51,23%, yang akan berlangsung bertahap selama 3,5 tahun ke depan.

Dalam mencaplok saham PT Freeport Indonesia, pemerintah melalui Inalum tidak melakukan akuisisi langsung, melainkan dengan membeli participating interest (PI) milik Rio Tinto, perusahaan pertambangan asal Britania, sebesar 40% di PT Freeport Indonesia senilai US$3,85 miliar atau setara Rp55 triliun.



Presiden Jokowi sendiri memastikan masyarakat Papua, dalam hal ini melalui Pemda, akan mendapatkan 10% saham PT Freeport Indonesia plus pajak daerah. Dengan memiliki saham, Pemda Papua akan mendapatkan dividen paling sedikit sebesar US$100 juta atau Rp1,45 triliun per tahunnya setelah 2022.

Jumlah ini tentu saja sangat besar mengingat sebelumnya PT Freeport Indonesia selama ini hanya memberikan 1% keuntungan dari hasil tambang untuk masyarakat adat. Jumlah hasil keuntungan untuk masyarakat itu pun masih dibagi ‎untuk tujuh suku.

Namun relatif tidak besar jika membayangkan tanah Papua-lah sesungguhnya pemilik ‘sah’ tambang Grasberg.

Menyejahterakan Sang Pemilik ‘Gunung Emas’

Berbicara tentang Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang mengatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”, maka yang terbersit dalam pikiran adalah; bahwa sudah semestinya negara harus menaruh perhatian besar pada semua sumberdaya yang ada di segala penjuru wilayah Indonesia.

Negara juga harus memastikan bahwa pengelolaan hasil sumberdaya alam itu digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran masyarakat di sekitar sumberdaya tersebut, secara berkeadilan. Kita berikan penekanan: kemakmuran masyarakat di sekitar.

Idealnya, seharusnya masyarakat Papua sebagai ‘pemilik’ tambang Grasberg hidup sejahtera. Kalau memang selama ini kesejahteraan diberikan untuk masyarakat Papua, maka saat ini seharusnya mereka bisa merasakan harga BBM yang sama seperti masyarakat di Jawa, mendapatkan fasilitas kesehatan dan pendidikan yang baik, anak-anak yang hidup dengan asupan gizi yang baik, serta memperoleh penghidupan yang layak seperti masyarakat lainnya di luar Papua.

Papua : Sosialisme Indonesia atau Kami Merdeka!

Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Rakyat Papua merasakan kekecewaan yang mendalam akibat kerap kali mendapatkan diskriminasi.

Rakyat Papua juga kecewa karena pemerintah tidak menjalankan Sosialisme Indonesia (Marhaenisme) yang dulu dipakai Presiden Soekarno untuk merebut hati rakyat Papua, dalam kasus pengelolaan kekayaan alam Papua.

Kasus Freeport yang mengeruk kekayaan alam Papua untuk asing, dalam hal ini Amerika Serikat, bukan untuk Papua dan Indonesia, adalah akibat ketidakmampuan Indonesia mewujudkan cita-cita Sosialisme Indonesia di tanah Papua.

Jika dirunut, setidaknya ada tiga alasan mengapa orang Papua ingin merdeka.

Alasan pertama berkaitan dengan ilegalitas Kolonisasi Indonesia di Papua. Perlu dicermati, dalam proses penandatanganan New York Agreement (Perjanjian New York) pada 15 Agustus 1962 antara Republik Indonesia dengan pemerintah Belanda, di hadapan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang difasilitasi oleh Amerika Serikat, rakyat Papua sama sekali tidak dilibatkan.

Perjanjian penting membahas otoritas yang berhak memerintah tanah Papua tapi tidak melibatkan satu pun rakyat Papua, dinilai sebagai kolonisasi ilegal Indonesia di tanah Papua.

Apalagi, Referendum 1969 (Pepera/Penentuan Pendapat Rakyat) dilakukan UNTEA dengan sistem Noken, bukan One Man One Vote sebagaimana disepakati dalam Perjanjian New York 1962.

Dua poin tersebut yang hingga saat ini masih menjadi persoalan di mata rakyat Papua.

Alasan kedua, berkaitan dengan kekayaan alam Papua yang terus-menerus dihisap oleh asing. Setelah Papua yang kala itu bernama Irian Barat ‘dicaplok’ masuk menjadi bagian Indonesia pada 1 Mei 1963, Amerika Serikat menunjukkan perannya yang lebih dari sekedar mediator penyelesaian masalah Irian Barat.

Amerika Serikat turut bermain demi kepentingannya sendiri, yakni demi kepentingan penguasaan kekayaan alam Papua melalui Indonesia, dalam hal ini penguasaan tambang Grasberg, tambang emas terbesar dan tambang tembaga terbesar kedua di dunia, yang dioperasikan oleh Freeport-McMoRan Inc.

Dan alasan ketiga, rakyat Papua menilai pemerintah Indonesia tidak menjalankan semangat Sosialisme Indonesia seperti tertuang dalam Pasal 33 UUD 45 yang sejalan dengan pola hidup mereka yang didasari semangat pengelolaan bersama untuk kemakmuran bersama.

Sosialisme 'Pasal 33' Indonesia dan pola hidup orang Papua yang mengedepankan pengelolaan alam bersama-sama untuk kemakmuran bersama adalah sejalan.



Tiga poin ini yang selama ini selalu luput dari pemantauan Jakarta ketika melihat Papua. Pusat selalu melihat Papua dari kacamata Jakarta, bukan kacamata Papua.

Jadi, keinginan rakyat Papua untuk merdeka bukanlah didasari oleh sikap egois dan rakus, yang ingin menguasai dan menimbun sendiri kekayaan tanah Papua.

Orang Papua bukan orang Jakarta yang metropolis dan terbiasa berkompetisi mengejar kekayaan ala kapitalis.

Orang Papua adalah manusia yang hidup dengan nilai hutan, yakni pengelolaan bersama untuk kemakmuran bersama.

Jika saja pemerintah pusat mau mengelola bersama kekayaan alam Papua dengan porsi kepemilikan adil dan digunakan untuk kemakmuran bersama, sesuai semangat sosialisme Indonesia dalam Pasal 33 UUD 1945, maka rakyat Papua pasti pilih terus bersama Indonesia jika Referendum Papua berhasil digelar pada 2020.

Hentikan perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia demi kesejateraan rakyat Papua dan Indonesia di masa depan!

Yakinlah, Papua akan tetap ‘Merah Putih’ jika pemerintah benar-benar mewujudkan Sosialisme Indonesia yang termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945!

Papua tidak akan melanjutkan gerakan kemerdekaan, jika Indonesia bertekad mengusir Kapitalisme Amerika melalui PT Freeport Indonesia yang tak henti-henti menghisap dan merusak tanah Papua.

Papua akan tetap Indonesia jika pemerintah mampu mewujudkan Sosialisme 'Pasal 33' Indonesia.


Acuan:

Dosa Indonesia Pada Papua Adalah Rasisme

Kedudukan Orang Papua Perjanjian New York

Melihat Papua Dari Kacamata Filep Karma
Diubah oleh noldeforestasi 24-08-2019 05:15
0
1.3K
15
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670.7KThread40.7KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.