Sekarang ini sedang ramai kaskuser berdebat tentang satu video singkat yang menampilkan seorang ustad membahas mengenai salib.

Lepas dari pro dan kontra mengenai tuntutan hukum yang dilayangkan dgn dasar pasal penistaan agama, saya ingin mencermati masalah ini dari sisi yang berbeda.

Pertama, marilah semua pihak berbesar hati, untuk mengakui bahwa isi ceramah/khotbah yang membahas mengenai agama lain dan menonjolkan agama sendiri, bukanlah barang baru.

Bagi yang Kristen, kemungkinan besar tentu pernah mendengar Pdt. Yusuf Roni, atau mungkin yang sekarang sedang banyak penggemar-nya Joseph Prince.

Bagi saya, strategi pemasaran mereka, sama dengan ustad yang sekarang sedang dipermasalahkan. Mungkin beda bungkus, beda merk, tapi strategi pemasaran-nya sama.

Jadi ini bukan sesuatu yang baru, yang menggelitik bagi saya, adalah mengapa strategi seperti ini laku?

Dan mungkin yang lebih penting adalah, mengapa sebaiknya "strategi pemasaran" seperti ini sebaiknya dihindari.

Berdasarkan salah satu teori psikologi, TMT (Terror Management Theory), dinamika psikologis manusia acapkali merupakan upaya untuk mengatasi perasaan takut/was-was/kegamangan yang muncul dalam dirinya.

Ernst Becker dalam bukunya "Denial of death", menggambarkan, salah satu naluri dasar manusia seperti hewan pada umum-nya, adalah naluri bertahan hidup.

Di sisi lain, manusia memiliki kecerdasan dan kearifan melebihi hewan, dan tahu bahwa kematian adalah suatu kepastian.

Sehingga di dalam dirinya terjadilah konflik antara naluri dan akal budi.

Agama adalah salah satu bentuk perlindungan secara psikologis untuk mengatasi kegamangan hidup.

Yang artinya jika agamaku benar, secara psikologis aku akan merasa aman. Sebaliknya merasa gundah jika timbul pemikiran tentang agama lain yang berbeda.

Dalam sudut pandang itu, mungkin bisa dipahami bahwa menguatkan iman dengan cara membandingkan agama sendiri dengan agama lain, tidak lain adalah satu bentuk pencarian rasa aman dari satu ego yang belum dewasa.

Lepas dari teori-teori psikologi, marilah kita melihat ke dalam diri kita sendiri. Jika kita mau jujur dan rendah hati melihat keberadaan diri kita sebagai manusia, betapa rapuh kehidupan itu?

Seberapa sering dalam sepi, dalam pergumulan, dalam penderitaan, kemudian kita merasakan satu kebutuhan akan kehadiran Sang Maha Pengasih lagi Penyayang?

Marilah masing-masing orang beriman, apa-pun bentuk keimananmu, cobalah tengok ke dalam diri sendiri, betapa iman kita itu penting bagi kehidupan kita. Dengan iman akan Yang Maha Esa, kita beroleh keberanian untuk melewati hidup. Dengan iman akan Yang Maha Pengasih kita beroleh penghiburan dalam penderitaan. Dengan iman kepada Yang Maha Kuasa kita beroleh pengharapan dalam kesukaran.

Sulitkan untuk memahami dan bersimpati, bahwa orang lain yang memiliki iman yang berbeda dengan kita, juga merasakan hal yang sama atas iman mereka?

Sebagai penutup saya sertakan kutipan dari Immanuel Kant :

"Religion is too important a matter to its devotees to be a subject of ridicule. If they indulge in absurdities, they are to be pitied rather than ridiculed."

Atau kalau saya berusaha menerjemahkannya dalam bahasa kita:

"Tidak-lah pantas mengejek atau menjadikan satu agama sebagai bahan cemoohan, karena agama adalah sesuatu yang sangat penting bagi penganutnya.

Jika penganut suatu agama tenggelam dalam sesuatu yang ganjil dan tidak masuk akal, sepatutnya kita mengasihani mereka, bukan mengejek atau menghina mereka."

(Catt penulis : Mungkin ada yg bertanya, kenapa gbr galaksi milky way yang dipakai?

Jawab : Semoga kita semua merasakan, betapa kecil-nya kita di hadapan alam semesta.)