Gubernur Anies Baswedan tidak hanya inkonsisten, tetapi juga berhati batu. Apa yang diungkapkannya tidak sama dengan yang dikerjakannya. Inilah watak aslinya.

Seperti berulang kali Gabener Anies dan para pendukungnya mengatakan kawasan reklamasi tersebut adalah milik negara yang bisa diakses oleh setiap warga.

Namun faktanya sangat berbeda, para nelayan justru dilarang mendekat saat upacara bendera memperingati HUT RI ke-74 di kawasan Pantai Maju atau pulau reklamasi, Sabtu (17/8).

Terang saja, hal itu jelas tidak konsisten. Seharusnya kalau memang pulau reklamasi itu milik negara dan rakyatnya, mereka tak perlu dilarang-larang melintas di dekat pulau tersebut saat akan upacara.

Bahkan, kalau perlu para nelayan itu diajak upacara sebagai wujud kepemilikan bersama atas pulau tersebut.

Kenyataan tersebut kontras dengan yang terjadi di Istana Negara, Jakarta. Dalam upacara kemerdekaan tersebut, Presiden Jokowi membuka akses dan kesempatan kepada seluruh warga untuk turut menyaksikan momen tahunan tersebut.

Semua kelompok masyarakat, mulai dari pegawai, sopir, nelauan, buruh, guru, dan siapapun boleh menyaksikan upacara bendera. Di sini semua pihak dianggap sama dan merasakan kegembiraan di hari kemerdekaan.

Antara Anies Baswedan dan Jokowi memang berbeda. Orientasi kebijakannya pun berbeda, satunya setuju pada politisasi agama dan pandai bertutur kata saja, satunya justru merangkul semua golongan dan pandai bekerja.

Hasilnya pun juga tak sama. Indonesia semakin Maju, sedangkan DKI Jakarta justru mundur. Itu karena kualitas pemimpinnya yang berbeda.

Dari kejadian di atas, kita tentu saja bisa membandingkan mana yang lebih baik. Yang jelas, Gabener Anies memiliki ucapan yang tak sama dengan yang dikerjakan.

Inkonsisten, cukup satu kata.